LATAR
Sebuah ruangan sederhana dengan beberapa perabot tua. Ada meja kayu berukir tua di sudut, sebuah kursi goyang di tengah, dan foto-foto keluarga yang terpajang di dinding. Di sudut lain ada sebuah lemari tua yang menyimpan dokumen-dokumen pusaka. Lantai panggung tersebar dengan kertas-kertas dan beberapa surat tanah.
TOKOH
SITI – Perempuan berusia 20 tahun, berwatak keras dan ambisius namun sebenarnya masih belum dewasa. Hidup miskin tapi memiliki harta pusako yang banyak namun tidak bisa dimanfaatkan.
(Tokoh imajiner yang dibicarakan)
MANDEH – Ibu Siti, sosok yang keras kepala.
MAMAK – Paman Siti, seorang yang berjiwa keras namun tidak stabil secara mental.
MONOLOG
(Musik tradisional Minangkabau mengalun pelan dari radio tua. SITI masuk ke panggung dengan langkah gontai, mengenakan baju kurung sederhana yang sedikit usang. Ia membawa beberapa lembar kertas—surat-surat tanah. Meletakkannya di atas meja dengan kasar.)
SITI:
(Menatap ke arah kursi kosong, seolah ada seseorang di sana)
Mandeh! Bangkiklah Mandeh! Sampai bilo Mandeh ka talalok juo? Matahari lah tinggi, langik lah tarang benderang.
(Diam sejenak)
Selalu saja begini. Mandeh hanya bisa tidur sementara hidup Siti berantakan. Seluruh tanah pusako diagadaikan, rumah gadang hampir roboh, sawah tak terurus, ladang penuh ilalang. Tapi Mandeh masih bisa tidur dengan nyenyak!
(Berjalan mengelilingi panggung, mengambil saputangan tua, menggenggamnya erat)
Sejak kecil Mandeh bilang, “Siti, kau lahir di tengah harta berlimpah. Sebagai perempuan Minang, semua akan jadi milikmu kelak.” Mana? Mana harta itu? Siti tidak melihat apa-apa!
(Mengambil foto keluarga lama)
Minangkabau… tanah pusako tinggi, tanah warisan turun-temurun dari nenek moyang, Tanah pusako Minangkabau digunakan untuk menjamin kehidupan dan kesejahteraan kaum yang lemah, khususnya kaum perempuan, dan sebagai bentuk perlindungan sosial bagi keturunan mereka. Tapi kenapa jadi begini? Harta pusako tinggi yang seharusnya tak boleh dijual, tak boleh digadai, kini tinggal kenangan. Di mana adat yang selalu mereka banggakan?
(Melempar foto itu ke meja dengan kasar)
Bagi perempuan Minang, adat telah mengatur bahwa harta pusako jatuh padanya. Siti punya hak! Tapi lihat Siti sekarang, hidup seperti pengemis di tanah sendiri. Sementara Mamak…
(Tertawa sinis)
Ah, Mamak! Mamak yang seharusnya jadi payung bagi kamanakan, jadi pelindung harta pusako, malah memperkaya anak istrinya saja.
(Mengambil surat tanah, membacanya dengan getir)
Tanah di bukik, tanah di ngarai, sawah di hilia, rumah gadang, Semua tinggal nama di atas kertas! Mandeh tahu ke mana semua hasil gadaian itu pergi? Ke kantong Mamak! Untuk berjudi, untuk minum tuak, untuk perempuan-perempuan di nagari sebelah.
(Menatap kertas-kertas itu dengan marah)
Bukan salah Mandeh sepenuhnya. Adat Minang memang begitu. “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu.” Kemenakan beraja pada mamak, mamak beraja pada penghulu. Tapi Mamak kita bukan raja, Mandeh… dia bajingan yang menjelma jadi setan!
(Mendengar suara imajiner, wajahnya mengeras)
Diam, Mandeh! Jangan selalu membela Mamak! Setiap kali Siti bicara tentang harta pusako, Mandeh selalu membungkam Siti. “Hormati Mamak kau! Dia satu-satunya saudara Mandeh yang tersisa!”
(Berjalan ke sudut lain, mengambil pisau kecil)
Di tanah Minangkabau ini, pisau ternyata bisa jadi bukti kepemilikan yang lebih kuat dari surat-surat tanah. “Pusako nan kabapulangkan,” kata Mamak waktu mengancam Mandeh. Pusaka yang akan dipulangkan… dengan kekerasan.
(Memutar-mutar pisau di tangannya)
Mandeh pernah bercerita, dulu rumah gadang kita penuh dengan keluarga besar. Perempuan-perempuan tangguh yang menjaga garis keturunan dan harta pusako. “Darah ditampuang di kuku, pusako ditampuang di dado.” Darah ditampung di kuku, pusaka ditampung di dada. Artinya, kita rela berkorban demi mempertahankan pusaka.
(Meletakkan pisau, mengambil kain songket kecil)
Songket ini satu-satunya yang tersisa dari semua kekayaan Mandeh. Benang-benang emas ini masih berkilau meski dimakan usia. Seperti harga diri yang coba Siti pertahankan di tengah kemiskinan.
(Hening sejenak, terdengar suara imajiner lagi, wajahnya berubah sedih)
Mandeh bilang Siti belum dewasa? Belum mengerti adat? Bagaimana Siti bisa mengerti adat yang membiarkan Mamak menghancurkan hidup kita? Adat yang membuat perempuan hanya jadi penjaga harta, tapi tak berdaya ketika harta itu dijarah!
(Dengan nada menantang)
Memangnya Siti salah kalau ingin hidup lebih baik? Salah kalau ingin sekolah tinggi? Salah kalau tidak ingin dijual ke laki-laki kaya seperti yang Mamak rencanakan?
(Berjalan mendekati kursi yang dikosongkan untuk “Mandeh”)
Mandeh selalu bilang, “Hiduik baraka, mati bariman.” Hidup berakal, mati beriman. Tapi akal Siti mengatakan semua ini salah! Salah besar!
Ketika Mandeh tiada nanti, Siti akan sendirian menghadapi Mamak dan keserakahannya. Siti akan jadi perempuan Minang tanpa senjata, tanpa pelindung. Bukankah selalu begitu? Perempuan diberi harta tapi tidak diberi kuasa.
(Mengambil seperangkat sirih, mulai menata dengan gerakan yang dipelajari)
Di Minangkabau, menyusun sirih adalah seni. Ada aturannya, ada filosofinya. Seperti adat kita, semua sudah diatur. Kapur sebagai dasar, pinang sebagai inti, gambir sebagai penguat. Tapi Siti sudah lupa mana yang mana. Seperti hidup Siti yang sudah tak beraturan.
(Melempar sirih itu dengan frustasi)
Mandeh! Dengarkan Siti! Mamak mau menjual tanah terakhir kita di Bukik! Tanah satu-satunya yang masih bisa jadi harapan! Katanya untuk bayar hutang judi, tapi Siti tahu dia cuma ingin uang untuk menikah lagi! Istri keempat, Mandeh. Keempat!
(Mulai menangis)
Siti sudah mencoba bicara dengan Mamak. Siti sudah mengancam akan melaporkannya ke Penghulu Adat. Tapi apa yang Siti dapat? Tamparan! Siti, perempuan pemilik sah harta pusako, ditampar di tanah sendiri!
(Mengusap pipinya, seolah masih terasa sakit)
“Kamanakan kini indak tahu diampek jihaik.” Begitu kata Mamak. Kemenakan sekarang tidak mengerti empat penjuru. Maksudnya, Siti tidak mengerti adat. Tapi adat mana yang membenarkan Mamak merampok kamanakan? Adat mana yang membiarkan harta pusako jadi abu?
(Berjalan ke tengah panggung, mendadak tenang)
Seminggu lalu, Siti menghadap Penghulu Adat. Membawa semua surat-surat ini. Memohon keadilan. Tahu apa yang dia katakan?
(Menirukan suara berwibawa)
“Anak gadih, pusako memang milik padusi, tapi pengurusan di tangan mamak. Pulangkan saja surat-surat itu pada mamak kau. Jangan membuat malu kaum.”
(Tertawa pahit)
Jangan membuat malu kaum? Sementara Mamak menjual-gadaikan tanah pusako keluarga, Siti yang harus menjaga malu? Ini yang dinamakan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah? Hukum adat bersendikan agama, agama bersendikan kitab Allah?
(Terdiam, wajahnya berubah tegang)
Kemarin… Mamak datang dengan beberapa orang. Mereka membawa parang dan golok. Mereka minta surat-surat ini. Katanya, kalau Siti tidak menyerahkan, mereka akan…
(Suaranya tercekat)
Mereka akan mengambil secara paksa. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.
(Mengambil kertas-kertas itu, memeluknya erat)
Mandeh bilang Siti perempuan lemah. Mandeh bilang Siti tidak akan bisa melawan Mamak. Tapi Mandeh salah. Hari ini Siti sudah memutuskan.
(Mengambil pisau lagi)
Mamak bilang akan datang sore ini. Dia akan datang dengan teman-temannya. Mereka akan membawa parang dan golok, seperti kemarin. Tapi kali ini Siti sudah siap.
(Menatap sekeliling dengan tajam)
Tanah pusako memang milik perempuan di Minangkabau. Tapi ternyata, untuk mempertahankannya, perempuan harus belajar menjadi laki-laki.
(Mencengkeram pisau dengan tekad)
“Sadantuang bagaluang, sapikua babaoan.” Sekuat tenaga harus dipikul. Seberat apa pun beban ini, Siti akan memikulnya. Demi Mandeh, demi leluhur, demi diri Siti sendiri.
(Suara ketukan pintu imajiner, Siti tersentak)
Ah, itu pasti Mamak! Dia datang lebih cepat dari yang Siti kira.
(Berdiri tegak dengan pisau di tangan, berbicara dengan keteguhan)
Mandeh, lihat Siti sekarang. Perempuan Minang sejati tidak akan menyerah begitu saja. Kalau adat tidak bisa melindungi Siti, maka Siti akan melindungi diri sendiri.
(Menoleh ke belakang, berbicara pelan namun tegas)
Untuk mendapatkan surat-surat ini, Mamak harus melangkahi mayat Siti dulu.
(Melangkah mantap ke arah pintu imajiner, pisau tergenggam erat)
Ado rajo ado linguang, ado penghulu ado maling. Ada raja ada penjahat, ada penghulu ada pencuri.
(Tertawa getir)
Dan hari ini, Siti akan membuktikan, ada pencuri pusako… ada pula perempuan yang berani melawannya.
(Berhenti, memandangi pisau di tangannya dengan ragu sesaat, lalu membulatkan tekad lagi)
Tanah pusako tinggi yang berlimpah… atau kubur yang sempit dan gelap. Hari ini Siti akan mendapatkan salah satunya.
(Musik Minangkabau mengeras, lampu perlahan meredup, meninggalkan siluet Siti yang berdiri tegak dengan pisau di tangan)
TAMAT