Situasi panggung
Sebuah ruang yang dihiasi oleh sepasang meja dan kursi, dan sebuah dipan tua yang sudah tak layak pakai, di atas dipan tidur seorang perempuan dengan nyenyaknya, seorang perempuan masuk lalu menghampiri sudut ruangan. Suara musik mendayu lembut sebuah lagu tempo dulu dengan manis keluar dari sebuah radio kecil di sebelah tidur perempuan itu. Perlahan lampu kelihatan redup.
Hei, Ibu, bangunlah!
(lampu mulai menyorot ke arah dipan dan perempuan yang di atas
dipan hanya diam dan yang terdengar hanya suara napas yang berat)
Hei, Ibu Tua, bangunlah! Hei, tua, kau dengar suaraku? (berjalan perlahan dan mengelilingi ruangan, sebentar duduk di kursi dan berjalan lagi), dasar nenek-nenek, kerjanya hanya bisa tidur dan memberi komentar tetapi tak pernah menyelesaikan masalah (mengguncang-guncang tubuh)
Hei … perempuan tua, lekas bangunlah dan lihatlah mentari di ufuk sana telah menyeringai mengejekmu. Kau dengar aku perempuan tua, tolong kau dengarlah aku bicara,
Perempuan tolol (mulai terlihat kesal), jawabnya.
Perempuan tua, bangunlah! Semua persoalan ini perlu kita selesaikan!
Kalau terus-menerus begini, lebih baik kau tinggalkan saja aku sendiri!
Semenjak kecil memang kau yang membesarkan aku, tapi hidupku bukan harus kau atur dengan egomu dan kehendakmu.
Kau jadikan aku noda dunia, sedangkan kau menikmati segala tangisku dan ratapku, kau jadikan bumbu dalam tawamu.
Ibu Tua, apa yang kau tatap, kapan kau bisa lihat aku tertawa dan kau membiarkan aku bergembira. Pernahkah kau rasakan itu sama dengan apa yang aku rasakan, jika saja laut dapat menampung derasnya air mata ini, aku akan mengalirkan ke sana, tetapi aku selalu saja gagal dengan titian yang pertama.
Sudah selesaikah kau meratapi hidupmu? (suara ditekan), katanya. Kau hanya bisa mengejekku, tapi kau tak pernah merasakan menjadi korban orang lain dan orang lain pula menikmati hasil itu, kau memang bajingan berkedok dewa penolong, tapi kau jadikan aku mesin pencetak uang dalam ambisimu, perempuan tua bajingan, brengsek.
Tiba-tiba Ibu itu mulai kesal, diam kau perempuan tolol, anak tak tahu diri, kau kubesarkan, kuberi makan, dan kujadikan kau hidup dengan segala kehidupanmu ini.
Aku tak butuh hidup kalau hanya dalam tawa sesaat! Dengan makin kesal ia berkata, kau hidup tapi kau merasa tak hidup, karena kau tolol. Denganku kau bisa makan dan berhias, tapi apa yang kudapat, kau mendapat segalanya hasil keringatku, kau jual aku, kau jadikan sapi perahan kaum bajingan (isak tangis mulai terdengar begitu menyayat)
“Kau kira kau bisa hidup tanpa bekerja, jangan salah, semua yang kau dapatkan telah kau rasakan. Dari mana pakaianmu itu, dari mana perhiasanmu, makanmu, dan rumahmu ini, kalau tidak dari kerjaanku.”
Aku bosan hidup dalam remang kehitaman (mulai isak tangis), cobalah kau mengerti, kau diciptakan untuk itu, menjalani hidup seperti ini, dan jalani hidupmu.
Memang aku tidak mampu menghargai dirimu selayaknya aku ingin mencoba menghargai diriku sendiri, aku selalu gagal, karena aku selalu dibayangi dosa.
Aku hanya ingin bersujud!
Aku tidak mengharapkan penghargaan itu, kau akan jadi gadis manis jika dunia ini tidak menghukumi umat manusia. Kata perempuan itu menasihati.
Kami bertengkar lagi.
“jadi aku bisa merasakan surga, biarpun aku telah banyak berbuat dosa”
“aku tidak mengatakannya demikian”
“mungkin surga akan menjadi milikku, aku terlalu kotor”
“kalaupun kau akan mendiami neraka, segalanya akan menghargaimu karena kau masih menghargai rasa yang kau miliki”
“ya… surga akan menjadi kepunyaanku”
“aku tak mengatakannya demikian”
“tadi kau katakan aku adalah tumbal dan korban dunia. Jadi dunialah yang harus bertanggung jawab. Bukan aku kan demikian seharusnya?”
“pergilah engkau terbang dan kau akan mendapatkan sebatang ranting yang di sana akan kau dapati seraut wajah yang teramat kau kenal, dia akan menuntunmu ke surga impianmu”
“bagaimana denganmu? aku akan membawamu biarpun kau yang menjadikan aku seperti ini, tapi aku harus berterima kasih karena kau biarkan aku hidup”
“jangan kau pikirkan aku, aku terlalu berdosa, karena aku, kau merasakan dosa.”
Dan kami berdua terdiam.
Bagaimana mungkin aku bisa merasa bebas bila hati ini terantai sejuta kepalsuan… aku tidak sanggup menggendong dirimu ke puncak tawadukku atau biarkan aku menjadi patung yang bisa dijamah semua orang dan kepala ini siap dipancung.
Bukan patung atau mayat hidup tetapi hati dan amarahmu telah mengalahkan sekelumit cerita yang kau miliki.
Aku sadari sepenuhnya, tetapi hati ini bukanlah batu yang diterpa hujan dan ribuan tahun kemarau akan tetap keras, aku ini sama dengan yang lain, punya rasa dan aku rindu hidup damai dan penuh tawa bersama orang yang kucintai
Carilah sebuah kedamaian di alam rasa … selami hati itu, maka di sana akan kau temui nikmatnya ke dalam hati yang ingin kau cari
Tak usah membentakku, aku masih punya pendengaran dan aku tahu apa yang ada dalam benakmu bahwa hatimu sama dengan hati ini, hanya saja kau dapat membungkus dengan rapi rupanya masih ada naluri kewanitaan dalam hatimu, kupikir hanyalah kesangsian yang bermain di hatimu (selang berapa saat lamanya hanyalah tangisan dan alunan irama yang menyayat duka dan luka itu semakin menganga).
Yang kami berikan padaku, tidak tepat kau tidak mengajukan pertanyaan bukan?
Aku adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Teruslah kau meraja dengan keegoanmu, aku bosan mendengarnya.
Belum juga kau mau menyadari kesilapanmu padaku, kau telah lancang menelanjangi hati ini, kau menjualku pada dunia ini, kau toreh pula jantungku hingga detaknya tak lagi teratur.
1 comment
Terima kasih, Bung Zal yang akrab dipanggil De-Jea. Balutan estetis yang luar biasa dalam naskah lakon “Terali”: ada semangat monolog, puitis, dan kontemplasi batin yang kental. Teruslah berkarya suarakan nilai-nilai manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan manusia.