Padang, 29 September 2009
Sang mentari mulai tenggelam tertelan oleh lautan. Langit kota dihiasi ornamen warna jingga menyejukkan mata. Azan Magrib berkumandang, memanggil kaum muslim untuk melaksanakan perintah-Nya. Gedung-gedung telah bermandikan cahaya lampu, dan jalanannya telah dihiasi ornamen lampu memanjakan mata, amboi, romantis sekali kota ini!
Di tepi pantai, payung-payung besar dibentangkan. Asap dari arang untuk membakar jagung membumbung tinggi membuat orang yang lalu lalang tertarik membelinya. Berbagai macam makanan disediakan, tinggal pesan ke pemilik payung besar itu, makananmu telah sampai. Tampak sepasang muda-mudi bermesraan di bawah payung besar itu, sambil menikmati makanannya. Namun, aku tidak akan bercerita tentang muda-mudi itu. Inilah ceritaku. Aku akan bercerita si sepotong rembulan di tanah rapuh.
Sore itu, ayahku pulang bekerja. Rasa lelah menggantung di wajahnya. Namun lelah itu hilang setelah aku menyambutnya. Ayah tersenyum melihatku, melihat anak perempuannya yang cantik bagai rembulan bersinar. Aku menyuruhnya salat Magrib, lalu bersih-bersih dan makan malam bersama kami, keluarga kecil kami.
“Bagaimana sekolahmu tadi anakku? Apakah seru?” Ayah bertanya.
“Seru yah! Tadi aku dapat nilai ulangan harian kimia 100 loh!” hidungku mengembang. “Anak gadis ayah memang pintar! Siapa dulu ayahnya!” Ayah tertawa.
“Eitsss… jangan lupa juga siapa bundanya?” Bundaku menyela tak terima.
“Iya deh. Bundanya juga pintar, cantik lagi, pantesan anaknya cantik, pintar pula. Pacarnya banyak deh disekolah.” Ayah meledekku.
“Ishh… Ayah! Aku kan ga punya pacar, aku malu ih.” Bibirku cemberut mendengarnya. Keluarga itu tertawa. Menikmati makan malamnya dengan sukacita.
Setelah makan malam, mereka menghabiskan waktu di ruang tengah, menonton TV bersama. Jam 9 malam, kami beranjak tidur. Tetapi aku tidak langsung tidur. Di balik jendela kamar, aku menatap rembulan malam. Awan gelap setengah menutupinya. Angin malam berdesir menyapu wajahku. Namun, rembulan kali ini berbeda. Ada kesedihan yang memancar dari rembulan. Perasaanku mulai gelisah, ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu yang akan mengubah setengah hidupku, yang akan melukai keluargaku. Ya Allah! Lindungi aku dan keluargaku! Jangan dekati petaka buruk kepada kami! Aku membatin.
Padang, 30 September 2009
Pagi kembali menyapa. Ufuk timur menyinari, menyapu lembut bumi. Burung-burung melantunkan nyanyian paginya. Aku memulai pagiku, pergi ke sekolah.
Pagi-pagi sekali, aku terbangun. Perasaan janggal itu masih membekas di benakku. Perasaan itu mulai hilang saat aku bersiap-siap untuk ke sekolah. Setelah sarapan, aku pamit ke orang tuaku. Sambil mencium tangannya. Perasaan itu muncul kembali. Sungguh! Aku tidak tahu. Bundaku menatapku dengan air muka sedih. Entah kenapa itu muncul. Aku tidak tahu.
“Bunda…! Aku pergi dulu ya, abis pulang sekolah aku les ya.” Aku menghampiri bunda yang sedang bekerja.
“Iya hati-hati nak! Ingatlah anakku! Orang yang mengikhlaskan sesuatu dengan hati yang tulus, yakinlah, kebaikan akan datang kepadamu nak! Jika kau merasakan kehilangan, ikhlaskan nak! Jangan bersedih dengan hal itu. Percayalah, bisa jadi apa yang kau punya hari ini, akan diambil lagi oleh-Nya. Ia akan mengambilnya dengan berbagai cara yang mungkin kau tidak akan ridai. Sungguh! Dia akan datang anakku!”
Aku kebingungan, mengapa bunda bicara seserius ini. Ia tidak pernah berbicara seperti itu. Pertanda apakah ini?
Aku berpamitan dengan bunda lalu berjalan hingga ke tepi jalan raya untuk menaiki angkot kebanggaan Kota Padang. Angkot dengan modifikasi super mewah, ditambah dengan ornamen yang menarik mata membuat penumpang berbondong-bondong naik angkot ini. Setelah naik, angkot melaju kencang menembus jalanan kota. Sambil melamun, aku memikirkan kata bundaku tadi. Apa maksud perkataannya? Pertanda apalagi yang didatangkan oleh-Nya? Lamunanku membuncah ketika melihat simpang yang dekat dengan sekolahku. Akhirnya aku telah sampai di tujuanku. Kuberikan uang lembaran 2000an seraya berterima kasih kepada sopir angkot itu.
Setiba di sekolah, bel pun berbunyi, untung saja aku tidak terlambat. Aku meletakkan tas di kursiku. Pelajaran dimulai, pagi ini adalah jadwal pelajaran agama bersama ustadz Nurdin.
“Anak-anakku, apakah kalian tahu definisi dari ikhlas yang sesungguhnya?”
Kelas lengang tak bersuara
“Ada yang tahu anak-anakku?” Ustadz Nurdin bertanya kembali. Diam, tak bersuara.
“Anak-anakku, ikhlas adalah sikap kalian yang rida terhadap apa yang ditakdirkan oleh Allah. Allah akan menguji keikhlasan kalian dengan cara yang mungkin tidak kalian ridai. Tapi ingatlah wahai anak-anakku, semua peristiwa menyakitkan yang akan menimpamu akan datang tanpa sepengetahuan kalian, maka kalian harus ikhlas, ikhlaskan nak! Jika kalian ikhlas, niscaya kebaikan akan datang menghampirimu. Allah akan menolong kalian.”
Aku yang mendengarkan perkataan ustadz Nurdin terdiam. Aku merasa dejavu mendengarkan perkataan ustadz Nurdin, mirip sekali apa yang dikatakan bunda pagi tadi. Perasaanku mulai kalut marut. Ada sesuatu yang menyedihkan akan terjadi.
Setelah pelajaran agama, dilanjutkan dengan matematika dan biologi. Perasaan itu masih menghantuiku. Aku tidak bisa fokus karena perasaan ini. Tenggorokanku tersekat, hatiku seperti ada yang menusukku. Aku tetap berpikir positif.
“ Ya Allah, lindungilah aku dan keluargaku, jangan renggut semuanya dariku. Sungguh! Aku tidak akan memaafkan siapa pun yang merenggut semuanya dariku!” Batinku berbicara.
Jarum jam menunjukkan jam 4. Saatnya aku pulang sekolah. Tetapi aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku harus menuju ke bimbingan belajarku. Tidak jauh dari sini. Hanya naik angkot sebentar langsung sampai di sana. Di atas angkot, aku masih saja memikirkan perkataan ustadz Nurdin tadi, batinku bertanya, pertanda apakah ini? Petaka buruk apakah yang akan menghampiriku dan keluargaku?
Aku sampai di bimbingan belajarku, buru-buru masuk, karena telah terlambat. Aku meletakkan tasku di bawah meja, dan mengikuti pembelajaran. Pelajaran pertama adalah fisika, kami diminta untuk mengerjakan soal-soal yang ada di papan tulis. Perasaan tadi mulai membuncah saat tenggelam mengerjakan soal fisika ini. Rumus-rumus yang rumit membuatku berpikir lebih keras, perasaan itu hilang, hilang tak bersisa.
Padang, 30 September 2009, pukul 17.16 WIB.
Soal fisika yang kukerjakan selesai. Saatnya aku mengumpulkannya di atas meja guru. Lalu aku duduk kembali di kursiku, sembari menunggu buku latihanku dinilai. Tiba-tiba guncangan datang, dan mengira itu kepalaku yang pusing. Lama-lama guncangan itu terasa lebih kencang.
“GEMPAAA !” Kata Adi, temanku.
Ternyata itu gempa! Aku berseru panik. Mencoba berdiri, tidak bisa! Guncangan gempanya terlalu kuat. Berusaha menyelamatkan diri keluar dari kelas.
“Allahuakbar!” teriak temanku yang lain.
Teriakan nama-Nya berseru jelas. Semua orang berdesakan keluar dari kelas. Tiba-tiba gedung ini retak. Kami semakin panik melihat retakan besar itu di kelas.
“Ya Allah! Selamatkan kami dari gempa ini ya Allah, jauhkan kami dari malapetaka ini ya Allah, kepadamulah aku berserah diri!” Batinku berdoa.
Jelas! Retakan itu semakin membesar, dan dinding itu tercerai-berai. Siap menimpa siapa saja yang ada di sana. Kami tertimpa. Kami tertimpa retakan bangunan itu! Bangunan itu telah rata dengan tanah. Menyisakan kami yang ada di bawahnya.
Rembulan menyinari kota, lalu gerimis datang membungkus kota, seolah langit menangisi kami. Kepanikan dimana-mana. Suara bising mobil ambulan dan pemadam kebakaran menambah haru langit kota. Anak kecil itu menangis kencang, kehilangan kedua orang tuanya. Rakyat kota panik dan kebingungan, mencari keluarganya yang hilang. Reruntuhan kota berserakan dimana-mana. Seorang ibu yang selamat dari reruntuhan bangunan menangis, anaknya tertimpa bangunan, ia tidak bisa menyelamatkannya!
Aku telah berada di bawah reruntuhan bangunan. Dengan setengah sisa kesadaranku, aku mencicit meminta tolong. Aku tidak tahu siapa yang akan mendengarkannya. Akhirnya kesadaranku mulai menurun, mataku mulai menutup, dan menyisakan harapan untuk hidup kembali.
Padang, 30 September 2009, pukul 21.49 WIB
“WOIII. ! Ada korban lagi!” Teriak salah satu tim penyelamat.
Cahaya itu datang membasuh mukaku. Akhirnya aku tersadar dari pingsan itu. Aku tidak mati! Sungguh aku tidak mati! Terima kasih ya Allah!
Dengan sisa kesadaran, aku perlahan membuka mata. Orang itu! Bagai rembulan yang bercahaya, ia mengangkat menyelamatkanku. Ia yang kelak akan menjadi sepotong rembulan itu, dan ia yang akan mengajarkan arti ikhlas dan kebaikan.
Aku terbangun sempurna dari pingsanku. Aku telah berada di sebuah tenda yang dipenuhi oleh ranjang rumah sakit. Belalai panjang menempel di tanganku. Kepalaku masih sakit, dan termenung sejenak kenapa aku bisa di sini. Lalu seorang suster datang menghampiriku.
“Wah ternyata kau sudah bangun ya.” Kata suster perawakan tinggi itu. “Di mana aku? Siapa kau? Kenapa aku di infus?”
“Aku adalah Nisa, Suster di rumah sakit darurat ini. Kau tertimpa bangunan saat gempa itu terjadi. Kau yang paling cepat ditemukan, sungguh!”
Aku hanya mengangguk lemah. Pasal gempa itu, di mana ayah bundaku? Apa kabarnya? Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka sama sepertiku, tertimpa bangunan? Apakah mereka masih hidup? Pertanyaan itu menggerunyam pikiranku. Air mata mengalir dari pipiku. Di mana mereka sekarang ya Allah? Semua sudah hilang, aku tidak mempunyai siapa- siapa. Aku sendiri di sini. Tak ada yang menemaniku.
Suster yang melihat aku menangis langsung menemaniku.
“Sudah jangan menangis, kamu tau ga? Ada orang yang ingin menemuimu. Dia akan datang saat shift kerjanya selesai.” Kata suster itu
“Siapakah gerangan yang menemuiku?” Aku menjawab tersedu-sedu. “Kau lihat saja nanti.” Suster itu tersenyum.
Hariku dihabiskan di rumah sakit darurat ini. Di atas ranjang ini aku berbaring sembari merenung apa yang terjadi olehku. Melihat dari jendela rumah sakit darurat ini, aku melihat orang-orang itu beristirahat di bawah tenda. Mereka ada yang masih menangis, kehilangan keluarga mereka yang di sayangi. Langit kembali menampakkan rembulannya. Rembulan itu memancarkan kesedihannya kepada kami. Aku ingin sekali memeluk rembulan itu, ingin sekali menangis di hadapan rembulan itu. Setelah melihat rembulan, aku pun tertidur.
Padang, 1 Oktober 2009
Pagi datang kembali. Sinar mentari lembut menyinari kota. Mentari itu membuat rakyat kota mulai memasrahkan nasibnya di atas tanah rapuh ini. Semua kembali ke aktivitasnya di pengungsian ini. Laki-laki membantu tim penyelamat mengevakuasi korban. Ibu-ibu mengemasi anak kecilnya, dan membantu pekerjaan di dapur umum. Anak-anak bermain dengan sebayanya, tetapi trauma itu masih menggantung di wajahnya.
Aku terbangun dari tidurku. Menegakkan badan di atas ranjang ini, suster yang sama membawakan sarapan kepadaku. Suster itu menebar senyum kepadaku, lalu aku balas dengan senyuman. Sarapan hari ini adalah nasi goreng. Saat sarapan, ada lelaki tinggi, berbadan besar, dan memakai seragam tim penyelamat di balik pintu. Aku merasa pernah melihat orang ini. Dia menghampiri ranjang, dan duduk di sampingku.
“Hai, aku Daniel, tim penyelamat yang menyelamatkanmu di bawah reruntuhan gedung bimbingan belajarmu.” Dia memberikan senyuman.
“Aku Rani, apakah kau yang menggendongku saat aku terjebak di reruntuhan itu?” Suara lemahku bertanya.
“Iya aku yang menyelamatkanmu. Saat ditemukan, kau sedang mengigau menyebut ayah dan bunda.” Daniel menjelaskan.
“Apakah mereka selamat?” Tanyaku penasaran.
“Aku harap begitu, karena banyak sekali yang meninggal, teman-teman di bimbingan belajarmu itu banyak yang meninggal. Kau beruntung sekali karena kau selamat Rani.”
Entah kenapa, Aku meneteskan air mata mendengarkan ceritanya. Semua temanku meninggal, ayah bundaku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Apakah mereka telah tiada? Ya Allah! Temukanlah keluargaku, hambamu ingin bertemu dengannya.
“Rani, apakah kau ikhlas dengan keadaanmu sekarang? Kau mungkin telah ditinggalkan oleh keluargamu. Apakah kau ikhlas? Apakah kau rida dengan semua ini?” Dia menanyaku dengan prihatin.
“Kalau ikhlas, aku tidak bisa. Keluargaku hilang, bagaimana aku mengikhlaskannya? Apa dosaku sehingga aku begini? Kejamkah tuhan kepadaku? Bolehkah aku mengutuk tuhan?” Mulutku seolah-olah ingin berteriak, tetapi suaraku tercekat karena aku menangis tidak tertahan.
“Rani, biarkan aku bercerita sedikit. Ibu dan adikku meninggal di reruntuhan. Hanya aku yang tinggal sendiri di sini. Meskipun aku sempat menangis, sungguh! Aku ikhlas dengan semua ini. Dengan ikhlas itulah yang membawa kebaikan untuk sekitar. Kebaikan itulah yang akan membuat tenang mereka yang pergi dari kita. Rani. Agama kita memerintahkan kita untuk ikhlas untuk membawa kebaikan di sekitar kita, Rani. Sungguh! Kau akan lebih tenang jika kau ikhlas.” Dengan suara tercekat, Daniel menjelaskan dengan air mata.
Aku hanya menangis tak tertahan, ia hanya membiarkanku. Membiarkanku meluapkan semuanya. Perlahan ia meninggalkanku, membiarkanku sampai tenang. Aku tidak mengerti, kenapa ia begitu perhatian denganku? Apakah aku kenal dengan dia? Apakah dia bernasib sama denganku, sehingga ia sangat memperhatikanku? Sungguh! Aku tidak tahu!
Karena aku hanya luka ringan, aku boleh dipulangkan. Dia menjemputku. Tetapi ke mana aku pulang? Dengan siapa aku tinggal? Apakah rumahku selamat? Apakah keluargaku selamat? Ya Tuhan! Kenapa kau munculkan pertanyaan ini?
Dia mengantarkanku ke tenda pengungsian, membawa semua pakaianku yang diberikan oleh rumah sakit itu. Setelah sampai, ia menyempatkan diri untuk mencarikan makanan untukku. Lalu ia menyuruhku untuk makan siang. Ia juga makan bersamaku.
Lalu setelah sarapan ia pamit melanjutkan pekerjaannya. Aku hanya mengangguk. Hariku di tenda aku habiskan dengan merenung. Bosan merenung di tenda, aku pindah ke bawah pohon dekat tenda. Aku merenung dengan hal yang sama, tentang keluargaku. Setelah itu, seperti biasa aku menangis kembali. Bagaimana aku bisa menghentikannya?
Setelah lama merenung, sore pun datang. Dia kembali ke sini, sekedar menemaniku.
Kami duduk di dekat batu besar itu, sembari melihat mentari itu akan hilang ditelan bumi. “Apakah kau baik-baik saja?” Dia memecah lamunanku.
“Menurutmu?” Aku bertanya balik.
“Apakah kau masih memikirkan keluargamu yang telah meninggalkanmu?”
“Tentu saja, entah di mana mereka sekarang. Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka sudah makan? Apakah mereka ingat padaku? Aku tidak tahu.” Air mataku berlinang.
“Apakah kau sudah ikhlas?” Dia bertanya hal itu lagi.
“Ikhlas? Kenapa kau selalu menanyakan aku tentang hal itu? Kenapa kau selalu perhatian denganku? Apakah kau kenal denganku sebelumnya? Kenapa kau selalu memberikan ceramahmu yang membuatku semakin bersedih hah!” Aku tidak kuasa menahan emosiku.
“Karena aku kehilangan adikku, Rani! Aku sangat menyayanginya. Gempa itu merenggut semuanya dariku. Hanya aku yang tersisa. Kau Rani, kau sangat mirip dengan adikku, adikku sangat menyayangi ayah dan bundanya persis dengan kau. Wajahmu hampir persis sama dengan adikku. Aku masih bisa melihat adikku di sini. Sungguh! Aku tidak berbohong, Rani!” Matanya berlinang air mata.
Ternyata aku salah. Bukan hanya aku saja yang seperti ini. Ya Allah, maafkanlah hambamu ini. Daniel, orang yang menyelamatkanku, dia mirip dengan ayahku. Daniel, dia merangkulku, menganggap aku adalah adiknya. Oh tuhan! Perasaan apalagi yang kau munculkan?
“Rani, kau tahu definisi ikhlas? Ikhlas adalah rida kita dengan sesuatu, Rani. Jika kau rida dengan yang ditakdirkan oleh tuhan, maka itulah yang ikhlas itu, Rani. Sungguh Rani, ikhlaskan keluargamu yang hilang itu, Rani. Ikhlasmu itulah yang mendatangkan kebaikan untuk mereka dan sekitarmu, Rani.” Dia berbicara kembali.
“Kau bagai kakakku, Daniel. Meskipun aku tidak punya kakak, sungguh aku merasa mempunyai seorang kakak di sini. Kesedihanku membuat mata hatiku tertutup. Aku tidak memikirkan bagaimana keluargaku di sana karena kesedihanku. Keikhlasanku perlu untuk mereka, untuk kebaikan mereka, untuk kebaikan di sekitarku. Sungguh Daniel, memang aku tidak bisa mengikhlaskannya sekarang, tetapi aku akan mendoakannya, aku tidak mau berlarut dalam kesedihan
“Kau bagai adikku yang telah pergi itu, Rani. Maukah kau menjadi adik sambungku? Sungguh! Jika kau mau, aku akan sangat berterima kasih kepadamu.” Daniel tak kuasa menahan tangis.
Aku mengangguk.
“Memang kau akan tidak akan mengikhlaskan dengan begitu saja. Berdoalah untuk mereka. Agar mereka pergi dengan tenang. Kakakmu ini akan melindungimu dari semua gempuran di tanah rapuh ini. Sungguh! Aku berjanji.”
“Kau adalah kakakku, aku tak pernah mempunyai seorang kakak. Sungguh! Kau bagai rembulanku yang kupandang setiap malam.”
Mereka diam sejenak. Sambil terisak, Rani berbicara kembali.
“Sepotong Rembulan, di Tanah Rapuh, itulah kau Daniel.” Suara Rani tercekat. Mereka melihat rembulan. Di bawah rembulan, mereka menangis.
Daniel, dialah Sepotong Rembulan di Tanah Rapuh.
Siniar Audio
*) Teks cerita pendek yang ditulis oleh Mufrih Nabil Zulhilmi ini mendapatkan Juara 2 pada Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FL2SN) se-Kota Padang Tahun 2024
9 comments
Cerpen ini membuat saya mengenang peristiwa gempa yang terjadi di SUMBAR tahun 2009, saya tidak ingat jelas kejadian saat itu karna masih kecil. Namun, saya tahu itu adalah gempa yang sangat dahsyat. Saya merasa sedih membaca cerita kehidupan Rani ini, memang ikhlas tidak semudah yang dikatakan. Namun, saya yakin waktu dapat mengobati rasa kehilangan itu. Sosok Daniel menjadi rembulan bagi kehidupan Rani juga membuat saya terharu.
Amanat dari cerita di atas adalah tentang keikhlasan dan kebersamaan dalam menghadapi kesedihan dan kehilangan. Cerita ini menunjukkan bagaimana kehilangan keluarga dapat menyebabkan kesedihan yang mendalam, tetapi dengan keikhlasan dan kebersamaan, orang-orang dapat menemukan kebaikan dan keamanan dalam kesedihan.
Nama: Suci Indah lestari
Nim: 23016048
GWA: GTBI-NS-2110
Cerita ini begitu menyentuh. Ada keindahan dalam perasaan ikhlas dan hubungan yang terjalin antara Rani dan Daniel di tengah-tengah tragedi yang melanda. Rani dan Daniel menemukan dukungan dan kekuatan satu sama lain di saat-saat sulit. Keikhlasan dan kebaikan hati mereka menjadi cahaya di tengah kegelapan.
Nama: Silvia Giofani
Nim: 23016112
GWA: GTBI-NS-2110
Cerita diatas sangat apik karena memiliki pesan yang bisa menjadi pembelajaran dalam kehidupan yaitu keikhlasan dan kebersamaan dalam menghadapi kesedihan dan kehilangan.
Nama : Hidayatun Aliya
Nim : 24042369
GWA : BI-NS-0970
NUA : 14
Cerita ini mengingatkan saya tentang gempa di padang 2009. Saya terharu membaca cerita ini. Setelah membaca cerita ini saya menyimpulkan kalau saja kita ikhlas dengan apa yang terjadi pada kita. Maka, sesuatu yang baik akan datang pada kita. Contohnya saja Rani diselamatkan oleh Daniel yang dia pun tidak kenal itu siapa, tetapi mau mengangkat Rani menjadi adik sambungnya karena mirip dengan adik kandungnya.
Nama: Fefinta Dwi Erianti
Nim : 24032366
BI-NS-0970 NUA 22
Nama: Fefinta Dwi Erianti
Nim : 24032366
BI-NS-0970 NUA 22
Izin menanggapi Cerita ini menggambarkan perjalanan hidup seorang remaja yang penuh emosi. Dia mulai dari momen bahagia bersama keluarga, lalu merasakan ketegangan saat ada firasat buruk menjelang bencana. Suasana romantis saat senja terasa kontras dengan kecemasan yang mengganggu pikirannya. Pesan tentang pentingnya ikhlas dan menerima takdir sangat terasa, terutama saat bencana datang. Ketika gempa mengguncang, harapan dan rasa syukur jadi kunci untuk bertahan, menunjukkan betapa kuatnya semangat manusia saat menghadapi cobaan.
Amanat dari cerita di atas adalah tentang keikhlasan dan kebersamaan dalam menghadapi kesedihan dan kehilangan. Cerita ini menunjukkan bagaimana kehilangan keluarga dapat menyebabkan kesedihan yang mendalam, tetapi dengan keikhlasan dan kebersamaan, orang-orang dapat menemukan kebaikan dan keamanan dalam kesedihan yang mendalam terhadap suatu peristiwa
Cerpen *Sepotong Bulan di Tanah Rapuh* menginspirasi saya untuk memahami makna ikhlas, sabar, dan peduli sesama dalam menghadapi musibah. Kisah Rani dan Daniel menunjukkan bahwa kehilangan dapat menjadi jalan menuju kekuatan baru, harapan, dan rasa syukur.