Kayu Pambaok Rabah
Kayu Pambaok Rabah

Kayu Pambaok Rabah

0 Shares
0
0
0

Tema: Pengaruh Globalisasi terhadap Budaya

Tokoh:

  1. Zul
    (Kemenakan Datuk Tan Painan, anak dari Nuraini, seorang pemuda berumur 17 tahun, masih bersekolah, sedikit tegas, namun agak rendah diri karena kondisi ekonominya yang tidak mendukung)
  2. Datuk Tan Painan
    (Kepala Suku Jambak, kakak Nuraini, berumur 50 tahun, mata duitan, mudah terhasut, keras kepala, dan tidak adil dalam memimpin suku)
  3. Herman
    (Mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, berumur 35 tahun, kemenakan Datuk Tan Painan, licik, dan menghalalkan segala cara agar bisa mencalonkan diri)
  4. Nuraini
    (Ibu Zul, berumur 40 tahun, lemah lembut, sering diremehkan karena suaminya sudah meninggal, janda)
  5. Yanti
    (Adik Zul, anak dari Nuraini, berusia 12 tahun, pendiam)
  6. Bukhari
    (Ayah Zul, suami Nuraini, ipar dari Datuk Tan Painan)
  7. Datuk Mangkuto
    (Datuk Suku Jambak, berada di bawah kepemimpinan Datuk Tan Painan, egois, menghasut Datuk Tan Painan agar menjual rumah gadang)
  8. Datuk Bagindo Alam
    (Datuk Suku Jambak, berada di bawah kepemimpinan Datuk Tan Painan, bersifat sama dengan Datuk Mangkuto, menghasut Datuk Tan Painan agar menjual rumah gadang untuk kepentingan Herman mencalonkan diri sebagai anggota DPRD)
  9. Warga 1 (figuran)
  10. Warga 2 (figuran)
  11. Warga 3 (figuran)

Sinopsis:

“Mambangkik batang tarandam,” itu kata Datuk mengawali perkumpulan hari itu. Namun hal itu tak bisa diterima oleh kaum, khususnya Zul, kemenakan dari Datuk Tan Painan.

“Banang dak bisa dielok suruik, langkah dak bisa ditahan, kalau iyo, jadikan iyo!” Pendapatnya tak bisa dibantah.

Bak kayu pambaok rabah, ternyata hal itu membawa celaka. Apakah Datuk menyesali perbuatannya?

Babak 1

Suasana 1
(Lampu sorot ke tengah panggung)
(Musik sedih mendayu-dayu)
(Di tengah-tengah panggung, tampak sosok pria paruh baya yang terbujur kaku ditutupi dengan kain panjang. Ia dikelilingi istri dan kedua anaknya yang menangis terisak-isak. Diiringi bacaan surat Yasin, orang-orang yang hadir berusaha menenangkan tangisan mereka yang tak kunjung reda)

Semua:“Yasiin… wal-qur’anil hakiim.”
Nuraini:(Menangis terisak-isak). “Zul… Yanti… hidup kita melarat, Nak… bak bagantuang ka aka lapuak, bak bapijak ka dahan mati, kemana badan ini akan mengadu? Sedangkan bapak kalian sudah terbujur kaku…”
(Nuraini menggoyang-goyangkan tubuh suaminya)
Nuraini:“Oo uda oi… kenapa uda tinggalkan kami…? Bawa lah kami ikut bersamamu… Tidak kah uda kasihan melihat kami seperti ini…? Udaa… huhuhu…”
(Zul menahan tangis dan berusaha menenangkan ibunya. Zul berusaha tegar, ia tahu bahwa dialah pengganti ayahnya kini)
Zul:“Mak… sudah, Mak… kita tidak boleh seperti ini, arwah Bapak tidak tenang nantinya, Mak… Kasihan Bapak, Mak…” (Menenangkan ibunya)
(Datuk Tan Painan memasuki pentas. Ia berjalan pelan, pandangannya tertuju pada Bukhari yang terbujur kaku. Wajahnya tampak sedih, ia duduk di samping almarhum lalu membacakan doa. Setelah itu, ia menatap Nuraini, adiknya, yang sedang menangis terisak-isak)
Datuk:“Nur… Sudahlah… jangan seperti ini. Kita boleh bersedih, tapi jangan berlebihan…”
Nuraini: “Oi Da Kanduang… kemana kami akan bergantung, Da…? Sedangkan Zul masih bersekolah, Yanti juga masih kecil, sedangkan aku tak bisa apa-apa dengan badan lemah ini. Kemana kami akan pergi, Da…?”
(Datuk bingung, ia berpikir keras mencari solusi)
Datuk: “Nur… tak apa, sekarang apapun yang kalian butuhkan, bilang saja padaku…” (Datuk terdiam sejenak lalu melanjutkan perkataannya)
Datuk:“Dan juga, kalian tak perlu risau akan tinggal di mana. Rumah gadang ini sekarang milikmu, Nur. Sudah sepatutnya harta pusaka diberikan kepada anak perempuan di keluarga. Kalian tak perlu cemas, pergunakanlah untuk sehari-hari…”
(Tangis Nuraini pecah, memeluk kedua anaknya)
Zul: “Mak Datuak… terima kasih banyak, Mak…” (Air matanya berjatuhan) (Zul menjabat dan mencium tangan Datuk Tan Painan)
Datuk: “Iya, Zul… sama-sama… yang sabar ya, Nak…”
(Datuk memeluk Zul sambil meneteskan air mata) (Lampu sorot perlahan padam)

Suasana 2
(Lampu sorot ke tengah panggung)
(Musik menegangkan)

(Di tengah panggung, duduk 3 orang datuk sedang berdiskusi. Pembicaraan mereka tampak serius, terlihat dari kerutan di alis mereka yang mengisyaratkan bahwa mereka sedang berpikir keras. Sesekali suasana menjadi tegang karena mereka mempertahankan pendapat masing-masing)

Datuk Tan Painan:“Datuk Mangkuto, Datuk Bagindo Alam, apa gerangan maksud Datuk kemari? Tampaknya ada hal yang serius. Coba Datuk sampaikan.”
Datuk Mangkuto: “Eh eh… rupanya tak salah kita memilih Mak Datuak jadi pemimpin suku ini, betul kan Tuak Gindo? Alun takilek lah takalam! Hahaha…” (Mensanjung Datuk Tan Painan)
Datuk Bagindo Alam:“Iya, benar sekali, Tuak Mangkuto! Tak salah pilih kita!”
Datuk Tan Painan:“Hahaha… kalian terlalu berlebihan, sudah sepatutnya saya seperti ini. Sudah! tak perlu basa-basi. Jadi, apa tujuan kalian kemari?”
(Wajah Datuk Mangkuto berubah serius. Ia duduk mendekati Datuk Tan Painan)
Datuk Mangkuto:“Jadi, Mak, salah satu kamanakan kita akan mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Ini suatu pencapaian yang bagus bagi kaum kita, Mak! Kapan lagi kaum kita ada orang berpengaruh di dalamnya!” (Bersemangat)
Datuk Bagindo Alam:“Iya, Mak! Jadi dia minta izin untuk meminta dukungan dari kaum kita. Kalau bisa, dia hadir saat perkumpulan kaum yang diadakan lusa ini.”
Datuk Tan Painan: “Wah, bagus itu! Mengharumkan nama kaum! Selagi itu kegiatan yang positif, pasti saya dukung!”
(Datuk Mangkuto dan Datuk Bagindo Alam bertatapan, suara mereka berubah pelan, berbisik kepada Datuk Tan Painan)
Datuk Mangkuto: “Tapi, ada sedikit permasalahan, Mak…” (Setengah berbisik)
Datuk Tan Painan: “Permasalahan? Tentang apa?” (Penasaran)
Datuk Mangkuto: “Jadi begini, Mak… emm… saat ini dananya belum terkumpul, sedangkan dana yang kita butuhkan itu seratus juta. Hal inilah yang ingin disampaikan si Herman, ia minta bantuan kepada Mak Datuak…”
(Mendengar perkataan Datuk Mangkuto, Datuk Tan Painan terbelalak)
Datuk Tan Painan: “Seratus juta? Banyak sekali! Kemana saya akan mencari uang sebanyak itu?”
(Mereka berdua tampak panik, lalu berusaha menenangkan Datuk Tan Painan)
Datuk Bagindo Alam: “T-tenang, Mak, kami sudah memikirkan solusinya. Emm… jadi… menurut kami, bagaimana kalau rumah gadang ini kita gadaikan? Sementara saja, nanti setelah si Herman sudah duduk menjadi anggota dewan, rumah gadang itu kita tebus kembali…”
Datuk Tan Painan: “Hah?! Atas dasar apa kita gadaikan rumah gadang?! Hanya ada tiga alasan kenapa rumah gadang bisa dijual! Dan tidak ada yang sesuai di dalamnya!”
Datuk Mangkuto: “Ada, Mak! Ada alasan lain! Memang di dalam adat hanya ada tiga alasan mengapa rumah gadang bisa dijual, namun ada satu alasan yang bisa kita jadikan yang keempat, Mak Datuak!”
(Datuk Tan Painan bingung)
Datuk Tan Painan: “Apa itu?”
Datuk Mangkuto: “Yang pertama yaitu mayat terbujur di dalam rumah, artinya saat anggota kaum kita meninggal namun tak ada biaya untuk menyelenggarakan proses pemakamannya hingga mengadakan tahlilan pada malam keseratus. Yang kedua, rumah gadang katirisan, yaitu rumah gadang sudah tak layak pakai, namun tak ada biaya untuk memperbaikinya. Yang ketiga yaitu anak perempuan belum bersuami, padahal usianya sudah cukup, namun tak ada biaya untuk menyelenggarakan pernikahannya. Lalu yang keempat…”
Datuk Bagindo Alam:“Yang keempat yaitu mambangkik batang tarandam, Mak! Tentu kita perlukan untuk menaikkan martabat kaum kita! Kurasa anggota kaum pasti setuju, karena alasan kita jelas sesuai syarat adat!”
(Datuk Tan Painan terdiam, ia merenung sebentar memikirkan hal itu, lalu menjawab)
Datuk Tan Painan :“Namun… bagaimana dengan Nur? Kemana dia akan tinggal?”
Datuk Mangkuto: “Hal itu sudah kami pikirkan matang-matang, Mak. Untuk sementara, Nur dan anaknya tinggal di pondok yang di seberang jalan itu. Sudah saya sampaikan pada pemiliknya!”
Datuk Bagindo Alam :“Bagaimana, Mak? Apakah Mak setuju dengan hal ini? Tenang, Mak… Jika si Herman terpilih, pastinya kita kecipratan uangnya juga!”
(Datuk Tan Painan terdiam sejenak)
Datuk Tan Painan:“Baiklah, kalau begitu! Ayo kita bicarakan di perkumpulan kaum lusa besok!”
(Mereka tertawa dan berjabat tangan dengan Datuk Tan Painan)
(Lampu sorot perlahan padam)

Babak 2

(Suasana 3)
(Lampu sorot menyinari perkumpulan kaum di tengah panggung)
(Musik menegangkan)
(Datuk Tan Painan membuka pembicaraan dengan menjelaskan tujuan Herman datang saat perkumpulan kaum. Dengan meyakinkan, ia mengkampanyekan Herman)

Datuk Tan Painan:“Jadi, ibu-ibu bapak-bapak, kedatangan kamanakan kita, Herman, ke sini yaitu untuk meminta dukungan kita semua. Herman mencalonkan diri sebagai dewan. Tentu kita sebagai kaum pastinya mendukung suatu pencapaian ini! Namun ada satu hal yang ingin saya sampaikan, yaitu Herman meminta bantuan materil pada kita. Bagaimana, semuanya setuju?”
Warga 1: “Memangnya, berapa yang perlu kami bantu, Mak Datuak?”
Datuk Tan Painan:“Seratus juta.”
(Semua mata terbelalak. Suasana yang sebelumnya bersemangat seketika ciut. Herman yang hadir pun tak kuasa menahan malunya, mukanya merah padam. Lalu ia menjelaskan apa saja yang diperlukan dalam seratus juta itu)
Herman:“T-tunggu! Seratus juta itu sudah termasuk baliho, kartu nama… d-dan pencalonan ke partai… lalu… emm…” (Panik)
(Semua masih terdiam. Lalu Mak Datuak menyambung perkataan Herman)
Datuk Tan Painan:“Seratus juta itu bukan uang dari kita masing-masing, ibu-ibu bapak-bapak. Tetapi kita menggunakan harta pusaka kita. Yaitu kita akan menjual rumah gadang…”
(Nur ternganga mendengar hal itu)
Datuk Tan Painan: “Memang ini tidak termasuk dari ketiga syarat adat, tetapi ada syarat keempat yang bisa kita pakai! Yaitu mambangkik batang tarandam! Bagaimana, setuju ibu-ibu bapak-bapak?”
(Semuanya terdiam. Tiba-tiba Zul menjawab perkataan Datuk Tan Painan)
Zul:“Saya tidak setuju, Mak Datuak.”
(Mak Datuak terkejut. Ia tak menyangka Zul yang masih remaja berani ikut campur)
Datuk Tan Painan: “Apa yang kamu maksud, Zul?”
Zul: “Ini tidak adil, Mak! Bagaimana kami sekeluarga akan tinggal?”
Datuk Tan Painan:“Alah dirintang kaji panjang. Itu sudah kami pikirkan matang-matang. Nanti kamu, adikmu, dan ibumu pindah ke pondok yang di seberang jalan sana. Sudah dibicarakan dengan pemiliknya!”
(Zul berkata dengan tegas)
Zul:“Bak kabau dicucuak iduangnyo, kenapa Mak seperti ini?! Gelap mata karena uang?!” (Datuk Tan Painan murka, matanya membelalak)
Datuk Tan Painan:“Bak manggadangkan anak ula! Umpamo mamaliharo anak harimau! Kurang ajar! Sudah dikasihani, tapi masih juga keras kepala! Ini bukan cuma kepentinganmu seorang! Kepentingan kaum yang ditanggung!”
(Nuraini berusaha menenangkan anaknya dan meminta maaf pada Datuk Tan Painan)
Nuraini: “Nak! Nak! Sudah, sudah, tak apa kita mengalah saja… Mak Datuak, kami mohon maaf…”
Datuk Tan Painan:“Langkah den pantang diputuih! Kalau iyo, katokan iyo! Tidak ada yang bisa mengganggu gugat keputusan ini!”
(Zul terdiam sejenak. Lalu menatap Datuk Tan Painan dengan tajam)
Zul :Baiklah. Kalau itu mau Mak Datuak. Mulai hari ini, kami pergi dari rumah ini!” (Lampu sorot padam)

(Suasana 4)
(Lampu sorot di tengah panggung)
(Musik mencekam)
(Warga 1, Warga 2, dan Warga 3 berlarian berkumpul memasuki pentas. Mereka membicarakan Mak Datuak)

Warga 1 :“Ooi Uni, apa sudah dengar kabar terbaru?” (Berlari)
Warga 2:“Apa itu, Ni?” (Setengah berbisik)
Warga 1:“Itu… ternyata Herman tidak terpilih jadi anggota dewan!” (Warga 2 dan 3 terkejut)
Warga 1:“Iya, Ni…! Dan sekarang kabarnya Mak Datuak sudah gila! Lagian! Seenaknya saja mengusir adiknya dari rumah gadang. Sekarang apa yang terjadi, pasti dia menyesal sekali sudah menyalahgunakan adat!”
(Lalu terdengar tangisan seseorang. Mereka panik dan berhamburan keluar)
Warga 1:“Itu sepertinya suara Mak Datuak yang sudah gila! Ayo kita pergi!”
(Mereka panik berhamburan keluar pentas. Masuk Mak Datuak di tengah panggung. Ia berbicara sendiri layaknya orang gila. Bajunya compang-camping. Ia berkata sambil mengacung-acungkan keris pusakanya)
Mak Datuak:“Saya adalah Datuk Tan Painan! Saya datuk yang disegani siapapun… hahaha…” (Mengacung-acungkan kerisnya)
(Mak Datuak terdiam, lalu wajahnya berubah menjadi sedih memikirkan adiknya dan kemenakannya)
Mak Datuak: “Tapi… apa yang terjadi sekarang… salahku mengambil keputusan itu… seharusnya jangan begini… adikku kemana… tak ada yang peduli denganku sekarang… dasar bodoh, dasar bodoooh! Huhuhu…”
(Terdengar suara orang-orang ramai meneriakkan Datuk Tan Painan)
Semuanya: “Orang gila… orang gila… orang gila… tega kau mengusir adikmu… kau harus tanggung jawab dengan keputusan adatmu… orang gila…”
(Lama-lama suara itu semakin kencang semakin cepat. Ia semakin tertekan dan berteriak)
Datuk Tan Painan: “Tidaaakk! Tidaaakkk! Aku minta maaaf… Nur… adikku… aku minta maaf pada kalian… demi kepentingan orang lain aku mengusirmu… tidaak…”
(Lalu matanya membelalak pada keris pusaka yang dipegangnya)
Datuk Tan Painan:“Nur… aku tahu bagaimana cara menebus dosaku… jika… jika aku mati sekarang… dan aku menemui suamimu untuk meminta maaf, pasti kau mau memaafkan aku… ha… haha… hahahaaa…”
(Suara itu terdengar semakin keras. Perlahan ia membuka keris, dan mengarahkannya ke lehernya)
Datuk Tan Painan:“Haha… ayo… mati… mati… matiii…! Aaaaagghhh…!”
(Datuk Tan Painan bersimbah darah. Ia jatuh tersungkur ke lantai. Lambat laun suara-suara itu mulai hilang. Dan Datuk Tan Painan pun meninggal dunia)
(Lampu perlahan padam)

Siniar Audio

13 comments
  1. Alur cerita ini sangat menarik,saya sempat geregetan membacanya, tersampaikan dengan baik kepada pembaca situasi dalam cerita😊

    1. Septiyan fadilah akbar
      24136133
      BI-NS-0970
      Nua:49

      Alur ceritanya sangat menarik sekali

  2. nama : faizah mutmainnah
    nim: 24042364
    BI-NS 0970 NUA 20
    “Saya sangat terkesan dengan cara menggambarkan emosi dan ketegangan dalam cerita ini”

  3. Nama: Aziz Malik
    Nim: 22016090
    Microteaching 0063

    Tema yang diangkat sangat dekat dengan realita kehidupan masyarakat di Minangkabau terutama sifat mamak yang sering kali mementingkan diri sendiri dan tidak menghiraukan saudara dan kemenakan.

  4. Nurain syafiatul aqsa, BI-NS-0532 NUA 19
    Ceritanya bagus banget, ada part dua nya ga pak.
    akibat ketamakan sendiri, datuak tan painan jadi gila dan bunuh diri.
    Janganlah jadi orang yang tamak dan gelap mata, pikirkanlah orang lain janang pernah memikirkan diri sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *