Aksi Kemanusiaan: Peran Civil Society Australia sebagai Pressure Groups dalam Konflik Israel-Palestina
Aksi Kemanusiaan: Peran Civil Society Australia sebagai Pressure Groups dalam Konflik Israel-Palestina

Aksi Kemanusiaan: Peran Civil Society Australia sebagai Pressure Groups dalam Konflik Israel-Palestina

0 Shares
0
0
0

Kemunculan Civil Society di Australia dalam Konflik Israel-Palestina

Berbicara mengenai civil society sebagai kelompok penekan (pressure group) di Australia dalam isu Israel-Palestina menjadi pembahasan yang menarik. Pendefinisian civil society adalah organisasi yang dibentuk untuk memengaruhi kebijakan pemerintah melalui advokasi atau tekanan politik. Kelompok ini biasanya menggunakan berbagai cara untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk lobi politik, kampanye melalui media massa, hingga aksi massa untuk menarik perhatian publik. Peran kelompok ini meliputi menyuarakan kepentingan kelompok tertentu dan mengadvokasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan mereka. Mereka berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah, terutama dalam hal memperjuangkan isu-isu yang mungkin kurang mendapat perhatian.

Pada 7 Oktober 2023 menjadi babak baru dalam perseteruan antara Israel-Palestina yang berkelanjutan. Dengan merespons hal tersebut, pada 19 Oktober 2023 dikeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh 77 kelompok civil society untuk menyerukan pemerintah Australia segera bertindak atas krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza. Sebagai contoh, organisasi Amnesty International Australia mengumpulkan bukti pelanggaran hak asasi manusia di Gaza, seperti serangan udara yang menghantam bangunan tempat tinggal anak-anak dan pemutusan akses kebutuhan pokok (Amnesty International Australia, 2023). Namun, menanggapi hal tersebut, Parlemen Australia memilih diam dan tidak menyalahkan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Bagi Nikita White sebagai juru bicara Amnesty International Australia, pergerakan civil society dapat membawa perubahan nyata bagi rakyat Gaza (Amnesty International Australia, 2023).

Dinamika Demonstrasi Civil Society di Australia Menuntut Kebebasan Palestina

Dengan ketidaktegasan Parlemen Australia yang memilih tidak berpihak pada Palestina, hal ini memicu aksi massa yang lebih meluas. Pada 3 April 2024, dalam konferensi CSO tentang Palestina yang diselenggarakan Komite Hak Palestina PBB, Rawan Arraf sebagai perwakilan Australian Centre for International Justice menyampaikan beberapa poin penting. Rawan Arraf menyoroti respons luas masyarakat sipil Australia terhadap serangan militer di Gaza, menekankan seruan gencatan senjata dari lebih dari 100 organisasi, tantangan yang dihadapi akibat rasisme anti-Palestina, serta kritik terhadap respons lambat pemerintah Australia terhadap perintah ICJ, sambil menyerukan embargo senjata dan sanksi diplomatik terhadap Israel (UN Palestinian Rights Committee, 2024).

Perjuangan masih berlanjut dengan adanya demonstrasi besar-besaran pada 12 Mei 2024 yang bertepatan dengan Mother’s Day. Aksi tersebut dihadiri beberapa tokoh penting seperti Gabrielle de Vietri (anggota Parlemen Green Party), Najwa Arab dan Michelle Coleman (Mums for Palestine), serta Profesor Mazin Qumsiyeh (akademisi Palestina). Kegiatan yang dilaksanakan di Sydney tersebut dihadiri sekitar 7.000–8.000 masyarakat, dengan membawa papan yang bertuliskan penderitaan ibu-ibu di Gaza (Green Left, 2024). Tak hanya itu, banyak ibu-ibu yang membawa bayi dan anak-anak mereka dengan kereta dorong. Aksi tersebut dipimpin oleh Jana Fayyad sebagai aktivis Palestina, dengan massa yang meneriakkan “Dari Sungai ke Laut, Palestina akan bebas!” (Green Left, 2024).

Pada keesokan harinya, 13 Mei 2024, demonstrasi dihadiri sekitar 500–600 mahasiswa yang memprotes serangan terhadap mahasiswa di Monash Clayton. Namun, Anthony Albanese justru mengancam para mahasiswa yang melakukan unjuk rasa (Green Left, 2024).

Demonstrasi besar-besaran tersebut terulang kembali pada 6 Oktober 2024, yang bertepatan dengan satu tahun perang di Gaza dan penyerangan di Lebanon. Aksi tersebut dihadiri oleh ribuan demonstran pro-Palestina yang berlokasi di Sydney, Melbourne, dan Adelaide dengan pengamanan ketat, mendesak pemerintah untuk memutus hubungan diplomatik dengan Israel (TEMPO, 2024). Aksi tersebut sempat terjadi ketegangan di Swanston Street, Melbourne, di mana adanya penangkapan seorang anggota komunitas Yahudi yang sengaja memprovokasi para demonstran. Aksi demonstrasi yang berulang kali terjadi di Australia menunjukkan bahwa masyarakat peduli terhadap kebebasan genosida di Gaza. Bahkan para pengunjuk rasa rela hujan-hujanan untuk tetap menjalankan aksi di Sydney (WearThePeace, 2024).

Kemenangan Civil Society Pro-Palestina di Australia

Pada akhirnya, Parlemen Australia telah mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menegaskan ‘kedaulatan permanen’ Palestina di Wilayah Palestina yang Diduduki, menandai pergeseran yang signifikan dari sikap sebelumnya. Pada Kamis, Australia bergabung dengan 158 negara, termasuk Inggris dan Selandia Baru, dalam mendukung resolusi komite PBB yang menegaskan “kedaulatan permanen rakyat Palestina di Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan penduduk Arab di Golan Suriah yang diduduki atas sumber daya alam mereka” (TEMPO, 2024).

Alasan persetujuan tersebut diungkapkan oleh Penny Wong sebagai Menteri Luar Negeri, yang menyoroti keprihatinan atas tindakan Israel yang merusak prospek solusi dua negara, seperti aktivitas kekerasan terhadap warga Palestina (TEMPO, 2024). Keputusan tersebut merupakan kemenangan bagi civil society di Australia yang selama ini berjuang untuk kebebasan Palestina. Dengan adanya aksi yang mendesak pemerintah secara berulang, menunjukkan bahwa civil society sebagai pressure groups di Australia berjalan dengan baik sehingga keputusan tersebut dikeluarkan.

Kesimpulan

Kehadiran civil society di Australia sebagai kelompok penekan dalam isu Israel-Palestina memainkan peran penting dalam memengaruhi kebijakan pemerintah, meskipun mendapat tantangan seperti rasisme anti-Palestina dan tekanan politik. Demonstrasi besar-besaran dan aksi advokasi terus digelar sejak Oktober 2023 hingga Oktober 2024, dengan dukungan berbagai tokoh, mahasiswa, dan organisasi internasional, menuntut pemerintah Australia untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Gaza. Hasilnya, Australia akhirnya mendukung resolusi PBB yang menegaskan “kedaulatan permanen” Palestina di Wilayah Palestina yang Diduduki, mencerminkan keberhasilan tekanan civil society yang konsisten dalam memperjuangkan kebebasan Palestina.

Referensi

Siniar Audio

1 comment
  1. Menurut saya, tulisan ini sangat menggambarkan bagaimana civil society di Australia memainkan peran krusial dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait konflik Israel-Palestina. Aksi-aksi massa yang terus dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat Australia sangat peduli dengan kebebasan Palestina dan mendesak perubahan yang lebih tegas dari pemerintah. Meskipun awalnya Parlemen tidak menunjukkan sikap yang jelas, keputusan mendukung resolusi PBB akhirnya bisa dianggap sebagai kemenangan bagi gerakan pro-Palestina di Australia. Ini menunjukkan bahwa melalui tekanan terus-menerus, kelompok masyarakat sipil dapat mendorong perubahan yang signifikan dalam kebijakan luar negeri suatu negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *