Kota Depok adalah salah satu kota penyangga Jakarta yang dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman dan pendidikan. Kota Depok memiliki permasalahan khas perkotaan yang sama dengan Jakarta, seperti permukiman padat, kemacetan, dan masalah lingkungan, misalnya pengelolaan sampah yang belum optimal—termasuk TPA ilegal di Limo. Tercatat hingga tahun 2024, Kota Depok hanya memiliki satu TPA resmi di daerah Cipayung, yang kondisinya sudah overload. Sementara itu, produksi sampah di Kota Depok per hari diperkirakan dapat mencapai 1.500 ton. Keberadaan TPA ilegal tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar, terutama dalam hal kesehatan dan aroma tidak sedap.
Kemunculan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ilegal di Kecamatan Limo
Perkembangan TPA ilegal di Limo bermula pada tahun 2010, yang sudah terlihat melalui Google Earth sebagai tumpukan sampah. Pada tahun yang sama, lokasi tersebut mulai terpantau untuk pengelolaan TPA liar. Lahan itu sebenarnya dimiliki oleh PT Megapolitan, tetapi sekitar tahun 2010–2012 sebagian di antaranya dimanfaatkan oleh penduduk liar untuk membangun rumah, warung, dan masjid. Namun, lahan tersebut semakin berkembang, sehingga pada tahun 2013 PT Megapolitan mengirimkan petugas pengamanan untuk menjaga lokasi yang digunakan sebagai TPA ilegal. Seiring bertambahnya armada pengangkut sampah, meluasnya lokasi pembuangan, dan meningkatnya jumlah sampah, PT Megapolitan menaruh perhatian lebih guna mengawasi kepemilikan lahan hingga Agustus 2024.
Praktik yang dilakukan oleh oknum pengelola berbentuk bisnis penyewaan lahan maupun tempat pembuangan sampah. Keuntungan yang diperoleh bisa mencapai puluhan juta rupiah setiap bulan. Menurut salah satu informan, penyewaan lapak dilakukan per tahun dengan harga bervariasi, misalnya 5–10 juta rupiah dan 1–5 juta rupiah. Sementara itu, armada pengangkut sampah disewakan per bulan dengan kisaran harga 2,5 juta rupiah. Dengan demikian, TPA ilegal ini menjadi praktik yang menguntungkan segelintir pihak.
Dampak TPA Ilegal terhadap Masyarakat Sekitar
Keberadaan TPA ilegal di Limo yang terus berlanjut membawa dampak signifikan bagi masyarakat sekitar, salah satunya Perumahan Panorama Bukit Cinere yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Pembakaran sampah di area itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga Panorama Bukit Cinere. Menurut Bagas Shafa, salah satu informan warga perumahan, pembakaran sampah dilakukan pada malam hari, sekitar pukul 23.00 hingga pagi hari. Hal ini mengganggu aktivitas warga, misalnya saat mencuci pakaian, karena pakaian yang dijemur menjadi bau asap.
Selain itu, warga juga mengeluhkan masalah kesehatan yang dialami. Dalam percakapan grup WhatsApp, banyak anggota keluarga mengaku terkena sakit tenggorokan setelah setiap hari menghirup bau asap sampah. Karena pengelolaan sampah masih berbentuk open dumping, gas metana yang dihasilkan kerap memicu kebakaran, yang berdampak pada masyarakat sekitar.
Gerakan Masyarakat Sekitar dan PT Megapolitan Melawan Oknum TPA Ilegal
Kemarahan yang dirasakan masyarakat sekitar memicu aksi demonstrasi sebagai bukti bahwa mereka tidak bersikap diam. Gerakan tersebut difasilitasi oleh pihak PT Megapolitan pada tanggal 22 dan 23, bertujuan mengajak warga sekitar untuk melawan oknum-oknum yang berkeliaran. Melalui itikad kuat warga setempat, dibentuklah ‘Forum Warga Terdampak’ yang beranggotakan warga Griya Cinere, Graha Cinere, Bukit Cinere Indah, Bukit Pesanggrahan, dan Panorama Bukit Cinere. Forum ini bertujuan menyuarakan aspirasi warga terdampak TPA liar dan bersifat independen, tanpa afiliasi dengan gerakan perkotaan lain. Salah satu anggota ‘Forum Warga Berdampak’ menuturkan bahwa kendala utama dalam membentuk gerakan perlawanan ialah keterbatasan sumber daya yang kalah jumlah jika dibandingkan pengurus TPA liar.
Setelah forum terbentuk, warga segera bertindak memasang spanduk di beberapa titik bertuliskan ‘Forum Warga Berdampak Melawan’. Puncak aksi terjadi pada tanggal 24 Agustus, ketika Forum Warga Berdampak bersama PT Megapolitan melakukan unjuk rasa melawan pengelola TPA liar. Aksi tersebut turut dihadiri pihak kepolisian dan intelijen untuk menjaga situasi. Tujuannya adalah menuntut penutupan TPA ilegal yang masih beroperasi. Meskipun sempat terjadi ketegangan antara pengelola dan masyarakat sekitar, pembangunan portal akhirnya membuahkan hasil. Menurut seorang petugas pengamanan PT Megapolitan, dapat dipastikan tidak ada lagi aktivitas TPA ilegal di lokasi tersebut. Ia menambahkan bahwa setiap warga yang hendak memasuki area portal wajib melapor kepada petugas di pos penjagaan. Penjelasan ini sejalan dengan teori Community Power yang dikemukakan oleh Judge, Stoker, dan Wolman (1995), yakni kekuatan komunitas tampak ketika masyarakat berkumpul untuk membentuk aksi bersama dan memengaruhi keputusan pemerintah atau otoritas.
Respons Walhi Jawa Barat (Jabar) terhadap Permasalahan Sampah di Limo
Persoalan sampah liar kerap terlihat di berbagai kota urban, dengan pola yang sama: ada pihak yang diuntungkan dan ada pula yang melindunginya. Menurut informan dari Walhi Jabar, pemerintah semestinya melakukan mitigasi lahan-lahan terbuka di sejumlah daerah urban agar tidak dijadikan tempat pembuangan sampah liar oleh oknum tak bertanggung jawab. Selain itu, kasus TPA ilegal di Limo menjadi sorotan lantaran Depok merupakan area urban yang minim sarana dan prasarana pengelolaan sampah. Walhi Jabar menilai, masyarakat terdampak sebaiknya melaporkan masalah TPA liar kepada kelompok gerakan perkotaan seperti Walhi, yang sudah dikenal luas dan memiliki relasi langsung dengan pemerintah. Dengan demikian, kasus lingkungan bisa lebih cepat ditangani.
Merujuk teori Community Power (Judge, Stoker, & Wolman, 1995), Walhi Jabar dapat diposisikan sebagai kekuatan komunitas yang mengandalkan partisipasi warga, baik secara formal maupun informal, untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Namun, dalam kasus TPA ilegal di Limo, Walhi Jabar tidak mendapat informasi apa pun terkait permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, community power dalam kasus ini lebih relevan mengacu pada komunitas ‘Forum Warga Berdampak’ yang diinisiasi oleh warga setempat.
Respons Pemerintah Usai TPA Ilegal Limo Viral
Viralnya pemberitaan mengenai TPA ilegal di Limo memengaruhi kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Divisi Penegakkan Hukum (Gakkum) mengambil alih penanganan tersebut untuk diproses secara hukum. Berdasarkan keterangan informan KLHK, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Depok serta Komando Rayon Militer (Koramil) pernah berdiskusi dengan oknum berinisial ‘J’ untuk menutup TPA ilegal tersebut. Namun, KLHK merasa hasil diskusi itu kurang dapat dipercaya karena diduga terjadi manipulasi data. Selain itu, DLHK, Satpol PP, dan Kepolisian sempat memasang police line di lokasi, tetapi garis kuning tersebut akhirnya dicabut oleh oknum pengelola.
Usai aksi demonstrasi pada 24 Agustus, pemberitaan semakin meluas dan penegakan hukum pun semakin dipercepat. Pada perkembangannya, ditetapkan empat tersangka pengelola TPA ilegal, salah satunya berinisial ‘J’ yang videonya sempat viral. KLHK menegaskan bahwa tindakan tersebut masuk kategori ‘extraordinary crime’ yang setara dengan terorisme, sebab asap yang dihasilkan dapat menimbulkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), yang berpotensi membahayakan jiwa masyarakat sekitar. Akhirnya, pada 4 November 2024, TPA ilegal di Limo resmi ditutup dalam acara yang dihadiri Hanif Faisol Nurofiq selaku Menteri Lingkungan Hidup. Gakkum turut menjelaskan bahwa rencana pembersihan total lokasi tersebut masih dicari solusinya.
Melalui proses yang cukup panjang, KLHK bersama Gakkum menetapkan inisial J (58) sebagai tersangka pengelolaan sampah liar. Tersangka akan dikenakan beberapa hukuman, di antaranya denda maksimal 10 miliar rupiah dan pidana penjara maksimal 10 tahun sesuai Pasal 98 ayat (1). Selain itu, pelaku open dumping terancam denda hingga 3 miliar rupiah dan pidana penjara maksimal 3 tahun sesuai Pasal 104 (Santoso, 2024).
Kesimpulan
Permasalahan TPA ilegal di Kecamatan Limo memperlihatkan betapa kompleksnya pengelolaan sampah di wilayah urban seperti Kota Depok, yang merupakan penyangga aktivitas Jakarta. Dimulai dari penggunaan lahan milik PT Megapolitan sebagai lokasi pembuangan sampah liar sejak 2010, TPA ini berkembang menjadi bisnis ilegal yang menguntungkan segelintir oknum, meski berdampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan warga setempat. Aksi masyarakat dan kolaborasi dengan PT Megapolitan pada akhirnya berhasil menutup TPA ilegal tersebut setelah melalui unjuk rasa dan intervensi pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Forum Warga Berdampak’, sebagai community power, memiliki peran penting dalam menekan otoritas agar lebih tanggap terhadap kebutuhan mereka. Peran ini tidak hanya diwujudkan melalui aksi lapangan, tetapi juga melalui advokasi di jalur komunikasi dan media. Penanganan KLHK dan Gakkum terhadap oknum pengelola sampah ilegal menegaskan pentingnya upaya mitigasi dan pengawasan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Referensi
- Judge, D., Stoker, G., & Wolman, H. (1995). Theories of urban politics. SAGE Publications.
- Santoso, A. (2024, November 9). Pengelola TPS liar di Limo jadi tersangka, KLHK: Pelajaran bagi yang lain. detiknews. Retrieved December 9, 2024, from
https://news.detik.com/berita/d-7629809/pengelola-tps-liar-di-limo-jadi-tersangka-klhk-pelajaran-bagi-yang-lain