Banjir Hoaks dan Rendahnya Kualitas Literasi Digital Masyarakat
Banjir Hoaks dan Rendahnya Kualitas Literasi Digital Masyarakat

Banjir Hoaks dan Rendahnya Kualitas Literasi Digital Masyarakat

0 Shares
0
0
0

Salah satu fenomena populer di dunia maya adalah hoaks. Konon, istilah hoaks itu berasal dari bahasa Latin, hocus yang berarti mengelabui. Dalam bahasa Inggris, hoax berarti tidak asli. Dalam KBBI, hoaks berarti berita palsu. Fenomena penyebaran hoaks sebenarnya sudah sangat lama, yaitu tahun 1808. Namun, sejalan dengan perkembangan internet dan media sosial (medsos), di Indonesia hoaks mulai populer di Indonesia pada tahun 2012. Saat diadakannya pemilihan gubernur atau pilgub suatu wilayah) dan pilpres 2014. Merebaknya teknologi berbasis intelegensi buatan (AI) semakin menyuburkan penyebaran hoaks.

Untuk menyederhanakan pandangan tentang hoaks, diajukan rumusan sederhana bahwa hoaks itu adalah fitnah. Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Nah, pembuat hoaks adalah pembuat fitnah atau pembunuh dan penyebar hoaks, orang-orang yang hobi share-share hoaks, juga penyebar fitnah. Pembunuh juga. Tidak berlebihan, rasanya, dalam https://www.liputan6.com, 21 April 2021 ada artikel yang berjudul “Hoaks Dianggap Lebih Kejam dari Pembunuhan”.

Meskipun demikian, penyebaran hoaks di Indonesia tetap marak. Jika diintip, apa motif para content creator penyebar hoaks, jawabannya sederhana: demi algoritma platform dan demi, cuan. Ungkapan bijak “Berani membela yang benar”, dibengkokkan menjadi “Berani membela yang bayar”. Yang diidam-idamkan para content creator adalah kuantitas views, like, dan subscribe selain upah tinggi dari para pemesan. Ujung-ujungnya juga, cuan. Pihak penyedia aplikasi (YouTube, TikTok, dan IG, misalnya) juga cenderung mendukung content creator karena mampu mengetahui kecenderungan para penikmat hoaks melalui metrik dan interaksi-sinyal. Tidak mengherankan, jika penikmat membuka aplikasi tersebut langsung muncul berbagai hoaks yang di-suggested dalam berbagai format, berita atau video. Akibatnya, berkembanglah gejala kecanduan.

Kecanduan hoaks dimanfaatkan, selain untuk memperoleh cuan, juga untuk menanamkan kebencian. Hal ini merebak ketika masa-masa kampanye menjelang pemilu, baik pilpres, pilgub, maupun di jajaran yang lebih rendah seperti pilkada. Tentu, saja tujuan tersebut seperti pisau bermata dua: menanamkan kebencian kepada pihak lawan di satu sisi dan di sisi lainnya menebar simpati kepada pihak kawan. Lebih tragis lagi, hoaks dapat dimanfaatkan untuk menebarkan kebencian terhadap pihak pemerintah yang sah. Silakan lacak kembali, misalnya di SindoNews, bagaimana kejinya Pemerintah AS menebar hoaks terhadap Saddam Hussein, Presiden Irak bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal (tahun 2003). Untuk masyarakat di dalam negeri sendiri (Irak), AS menebar berita kebencian agar penduduk Irak membenci presidennya sendiri. Akibatnya, AS dan sekutunya seakan-akan memperoleh restu dari sebagian penduduk Irak untuk menumbangkan Presiden Saddam Hussein. Setelah Saddam Hussein tumbang, kesengsaran justru merebak di kalangan penduduk Irak. Senjata pemusnah massal yang diteriakan AS tidak pernah ditemukan dan dibuktikan keberadaannya. 

Pemerintah Indonesia sudah berupaya keras memerangi hoaks melalui berbagai upaya. Mulai dari disahkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Ekonomi (UU ITE) yang selalu diperbaharui (hingga 2024), kerja sama dengan penyedia platform seperti YouTube, TikTok, hingga kolaborasi Komdigi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang penangkalan fitnah dan hoaks (misalnya MAFINDO, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia). Ratusan hingga ribuan konten dihapus dan situs atau channel-channel penyebar hoaks diblokir. Namun, kenyataannya, penyebaran hoaks masih masif hingga sekarang. 

Padahal, untuk mengecek suatu berita itu palsu (hoaks) atau fakta itu sangat mudah. Yang paling praktis, silakan ketik di Google, misalnya “Cek fakta, Kim Jong-Un masuk Islam”. Sangat mudah. Namun, pengecekan tentang kebenaran berita yang “aneh, provokatif, sarat dengan ujaran kebencian” cenderung tidak dilakukan oleh masyarakat yang masih rendah kualitas literasi digitalnya. Ungkapan sederhana “Saring sebelum Sharing” merupakan hal bijak agar tidak terbawa arus untuk menyebarkan hoaks di medsos. Penyebar hoaks, seperti diungkapkan sebelumnya, ya identik dengan penyebar fitnah.

Untuk kalangan masyarakat awam, yang kurang melek permasalahan informasi, motif, pengolahan, dan penyebaran, rasanya pesimis untuk memerangi kecanduan akan hoaks. Kasarnya, mereka, apalagi yang sudah berusia 50 tahun ke atas, relatif gaptek, pikirannya sudah terenkapsulasi (meminjam istilah bidang farmasi). Ibarat kapsul: sudah dipenuhi dengan keyakinan subjektif yang susah diubah. Bagi seseorang yang sudah seperti ini, menemukan dan menikmati hoaks akan menimbulkan kepuasan. Untuk berbagi rasa puas, orang tadi akan share ke grup-grup tertentu. Tanpa disadari, sebenarnya bukan kepuasan yang berdampak positif terhadap kesehatan jiwanya tetapi justru menimbun kebencian dalam dirinya. Kebencian terhadap seseorang, suatu pihak atau kelompok yang sebenarnya orang atau pihak itu tidak mengenal, tidak ada sangkut-paut dengan dirinya. Benar-benar sia-sia. Tips untuk orang-orang seperti ini sebenarnya sangat sederhana: pikir ulang, apa keahlian khusus yang dimiliki. Misalnya, seorang guru Mapel Bahasa Indonesia (atau pensiunan). Nah, tentu bidang politik, bidang ekonomi, bidang kesehatan seperti masalah vaksinasi adalah bukan bidang yang dikuasai. Untuk apa, kita menikmati, membahas, dan akhirnya memprovokasi orang lain tentang bidang yang tidak kita kuasai? Ingatlah, ungkapan “Man behind the gun”, atau Jika sesuatu dikerjakan oleh orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancuran”. 

Permasalahan hoaks dan literasi digital adalah permasalahan pola pikir. Permasalahan akademik di lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan, terutama pendidikan menengah ke atas hingga perguruan tinggi, hendaknya juga memiliki andil untuk menangkal, memerangi, serta memberantas hoaks dan meningkatkan literasi digital. Poster-poster seperti “Saring sebelum Sharing”, “Hoaks adalah Fitnah dan Penyebar Hoaks adalah Penyebar Fitnah” merupakan alat yang cukup ampuh untuk memerangi hoaks dan meningkatkan literasi digital. Itu hanya salah satu contoh tindakan pengelola institusi pendidikan.

Pada akhirnya, permasalahan hoaks dan literasi digital sebenarnya kembali berpangkal pada kehidupan rumah tangga. Komunikasi yang bernas dan kritis tentang permasalahan hoaks dan literasi digital dengan anak-anak dan anggota keluarga hendaknya merupakan salah satu menu pada saat tertentu dalam komunikasi tersebut. Masyarakat terbentuk dari keluarga-keluarga. Jadi, keluarga yang sehat, terbebas dari penyebaran hoaks, dan memiliki literasi digital yang selalu up to date akan membentuk masyarakat yang sehat pula. 

Semoga, akhirnya para pembuat dan penyebar hoaks serta klik bait (clickbait) di negeri ini merasa jenuh karena dagangannya tidak laku lagi, lalu bangkrut. Di pihak lain, semoga masyarakat selalu memperbaiki kualitas literasi digitalnya. Dengan demikian, kehebohan, kerusuhan dan keresahan dalam masyarakat akibat hoaks-hoaks yang menguras energi, menghabiskan waktu, dan menghambat pembangunan tidak muncul lagi.

Siniar Audio

Citation is loading...
13 comments
  1. Nurzikri_25016149_NU : 09
    SIMAK-NS-025
    Teks ini memberikan penjelasan yang luas dan mendalam mengenai penyebab, dampak, serta solusi penyebaran hoaks. Penyampaian informasinya jelas dan argumentatif, dengan contoh konkret seperti kasus politik internasional dan kondisi masyarakat Indonesia. Bagian akhir teks yang mengaitkan peran keluarga sangat relevan, karena pendidikan dasar mengenai etika berinformasi memang bermula dari rumah.

  2. Shereen Aulia Deam (25016166) NU: 22
    Teks menggambarkan secara jelas bagaimana hoaks menyebar, dampaknya bagi kehidupan sosial, serta pentingnya literasi digital untuk menanggulanginya. Alur penjelasannya sistematis dan disertai contoh nyata yang membuat pembaca mudah memahami pesan yang disampaikan. Teks ini bukan hanya informatif, tetapi juga bersifat edukatif dan persuasif karena mengajak pembaca untuk lebih bijak serta bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial.

  3. Hoaks lebih cepat menyebar karna rendahnya kualitas literasi digital masyarakat. Hoaks dengan cepat menyebar melalui berbagai media sosial dan mempengaruhi banyak orang. Tentu hal ini sangat perlu diberantas dengan meningkatkan kualitas literasi digital masyarakat.

    1. Teks ini menjelaskan berapa cepatnya hoaks tersebar berita berita yang belum tentu benar, bagaimana dampaknya, penyebab, dan hal hal apa yang dapat mencegah hoaks terjadi, dan banyak orang menggunakan berita yang tidak benar demi viewers dari media sosial

  4. RAHMAT AFDAL 25016153
    SIMAK 025 no urut 12
    Teks ini Menjelaskain bagai mana hoaks dapat menyebar secara cepat,hoaks bukan hanya sekedar informasi yang dibuat hanya ntuk dibaca semata tetapi pada saat ini telah menjadi kebiasaan untuk mencari cuan,melalui berita hoaks yang diseabarkan seseorang tersebut akan mendapatkan viwers y banyak,karena tanggapan pembaca seolah olah percaya terhadap informasi tersebut,namun hal ini bisa di hindari dengan meningkatkan minat literasi digital di setiap kalangan agar padasaat kita menerima informasi kita dapat menganalisis nya apakah informasi itu benar dan tidak menerimanya secara menta-mentah.

  5. Menurut saya, teks ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, di mana hoaks menjadi ancaman serius bagi persatuan dan kesehatan emosional publik. Penjelasan penulis mudah dipahami karena menggunakan contoh nyata, baik dari lingkungan global maupun pengalaman dalam negeri. Teks ini juga menyoroti peran media sosial dan motivasi ekonomi yang membuat kreator konten rela menyebarkan kebohongan demi cuan dan popularitas. Penyampaian pesan bahwa penyebar hoaks identik dengan penyebar fitnah terasa kuat dan menyentakkan kesadaran pembaca.
    Selain itu, solusi yang ditawarkan cukup realistis, baik dari sisi pemerintah, lembaga pendidikan, maupun keluarga. Penulis menegaskan bahwa literasi digital harus dibangun sejak lingkungan terdekat, termasuk komunikasi kritis dalam keluarga. Ajakan untuk berpikir sebelum menyebarkan informasi menjadi pesan moral penting agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Secara keseluruhan, teks ini efektif mengajak masyarakat lebih bijak dalam bermedia dan tidak menjadi bagian dari penyebaran kebencian.

  6. RATI PUTRI UTAMI 25016155
    SIMAK-025 NU: 13
    Isi teks tersebut sangat menekankan bahwa rendahnya literasi digital menjadi akar utama maraknya penyebaran hoaks di masyarakat. Penyajian informasinya jelas karena menunjukkan hubungan langsung antara kurangnya kemampuan verifikasi informasi dengan cepatnya hoaks menyebar. Teks ini juga memberikan gambaran bahwa solusi yang diperlukan bukan hanya teknologi, tetapi juga peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat. Secara keseluruhan, isi teks relevan dan menggugah pentingnya membangun budaya digital yang lebih kritis dan bertanggung jawab.

  7. Cerita ini menyoroti masalah penting di era digital, yaitu mudahnya hoaks menyebar karena rendahnya kemampuan masyarakat dalam memilah informasi. Penulis berhasil menunjukkan bahwa kurangnya literasi digital membuat orang cepat percaya tanpa memeriksa kebenaran, sehingga hoaks terus berkembang. Pesannya kuat dan relevan: masyarakat perlu lebih kritis, berhati-hati, dan belajar memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Cerita ini efektif sebagai pengingat agar kita menjadi pengguna digital yang lebih cerdas dan bertanggung jawab.

  8. teks ini menggambarkan dengan jelas betapa seriusnya masalah hoaks di Indonesia dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh kepentingan pribadi para pembuat konten. Saya merasa upaya pemerintah memang penting, tetapi kesadaran tiap individu untuk lebih kritis juga tidak kalah berpengaruh. Bacaan ini membuat saya semakin sadar bahwa menjaga literasi digital adalah kunci agar kita tidak ikut terjebak dalam arus informasi palsu.

  9. Teks ini secara tajam mengkritisi rendahnya literasi digital yang menjadi biang keladi masifnya penyebaran hoaks, yang didefinisikan sebagai fitnah berujung cuan. Masalah utama bukan pada kurangnya regulasi, melainkan pada keengganan masyarakat untuk melakukan cek fakta, menunjukkan adanya kecanduan dan preferensi terhadap konten yang provokatif. Solusi yang paling efektif adalah mengatasi masalah ini sebagai isu akademik dan pola pikir, dengan lembaga pendidikan dan, yang paling penting, komunikasi kritis dalam keluarga, menjadi benteng utama untuk menanamkan budaya “Saring sebelum Sharing”.

  10. Menurut saya, teks tersebut menunjukkan bahwa hoaks bukan hanya masalah teknologi, tetapi juga masalah pola pikir masyarakat. Banyak orang masih mudah percaya tanpa mengecek kebenaran, sehingga hoaks terus hidup dan berkembang. Rendahnya literasi digital membuat masyarakat rentan dimanipulasi oleh pihak yang ingin mencari keuntungan. Karena itu, sikap kritis sangat diperlukan agar kita tidak menjadi bagian dari penyebarnya.
    Saya juga setuju bahwa pendidikan dan keluarga memegang peran penting dalam memerangi hoaks. Kebiasaan sederhana seperti “saring sebelum sharing” harus dibiasakan sejak dini. Selain itu, masyarakat perlu lebih sadar bahwa menyebarkan hoaks sama saja memperkuat kebencian dan merugikan banyak orang. Dengan peningkatan literasi digital, harapannya hoaks tidak lagi mudah meresahkan masyarakat.

  11. Dalam teks ini dijelaskan bahwa hoaks adalah berita palsu yang sangat berbahaya karena bisa memicu kebencian dan menyesatkan banyak orang. Penulis menunjukkan bagaimana hoaks mudah menyebar lewat media sosial dan sering dimanfaatkan dalam politik. Walaupun pemerintah sudah berusaha menangkal hoaks, masyarakat tetap perlu meningkatkan literasi digital dan membiasakan diri untuk mengecek kebenaran informasi sebelum membagikannya. Secara keseluruhan, teks ini mengingatkan pentingnya berpikir kritis agar tidak menjadi penyebar fitnah di dunia maya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ringkasan Komentar

Diskusi di kolom komentar artikel tentang "Banjir Hoaks dan Rendahnya Kualitas Literasi Digital Masyarakat" menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap penyebaran hoaks dan pentingnya literasi digital. Pembaca seperti Nurzikri dan Shereen Aulia Deam menyoroti bagaimana hoaks dapat merusak kehidupan sosial dan menekankan perlunya pendidikan etika informasi sejak dini, terutama dalam keluarga. Maharani Syakhiya dan RAHMAT AFDAL menekankan bahwa rendahnya literasi digital menjadi akar masalah, sementara Suci Ramandha Putri menambahkan bahwa motivasi ekonomi sering mendorong penyebaran berita palsu. Suasana diskusi hangat dan konstruktif, dengan banyak komentator sepakat bahwa solusi harus melibatkan pendidikan dan kesadaran individu untuk lebih kritis dalam menerima informasi.

Diringkas oleh AI pada 2 December 2025 pukul 18:10 WIB