Lelaki Istimewa
Lelaki Istimewa

Lelaki Istimewa

0 Shares
0
0
0

Tengah malam. Kelam berkabut tebal menyelimuti dusun Padang Tinggi, Kabupaten Agam. Salah satu dusun yang terletak di antara dua kaki gunung, Merapi dan Singgalang. Namun, jika diukur jarak, dusun itu lebih dekat ke lereng gunung Singgalang. Udara dingin menunggangi sepi. Mengusik gemersik dedaunan rumpun kecil bambu di belakang sebuah rumah sederhana dengan dinding anyaman bambu yang dibalut semen. 

“Sudah saatnya,” gumam Adul.

Perlahan dia bangkit dari tempat tidur, dipan kecil berkasur tipis dengan alas kasur yang sudah lusuh. Kamar itu hanya berukuran 2 X 3 meter. Isinya pun hanya dipan kecil dan lemari baju. Tidak ada meja atau kursi. Dijangkaunya kunci pintu gerendel berkarat. Pelan, dikuncinya pintu itu. Lalu, ia menuju jendela. Dibukanya, hanya ternganga agak 3 cm. Ia pun mundur dua langkah. Memberi ruang, entah untuk siapa.

Persis seperti yang ia harapkan. Secercah cahaya putih seperti meloncat masuk. Entah dari mana. Yang jelas, dari luar jendela. Cahaya itu berpendar tanpa berbunyi. Seperti kembang api tanpa letikan bunga api. Adul tersenyum. Cahaya itu berubah menjadi sosok perempuan seusia dirinya, atau mungkin lebih tua sekitar dua atau tiga tahun. Berdiri cukup tegap dengan wajah agak menengadah, sejengkal di hadapan Adul

Seperti biasanya, perempuan itu memakai daster putih-bersih. Ada ikat pinggang hitam terbuat dari kain melilit pinggangnya yang ramping. Kepalanya ditutupi topi kupluk rajut berwarna hitam. Leher berbalut sejenis syal berwarna hitam sehingga rambut perempuan itu sepenuhnya tersembunyi. Kakinya ramping dibungkus kaos kaki hitam. Tanpa alas kaki. Tubuhnya sedikit lebih rendah dibandingkan Adul. Tatapan matanya dingin, tarikan bibirnya hambar. Tubuhnya mengeluarkan aroma kembang setaman yang didominasi harum kembang kenanga. Namun, Adul tidak takut. 

Adul tidak takut. Karena, malam itu mungkin malam ke-1000 ia berhadapan dengan perempuan itu. Bukan perempuan itu yang mendatanginya. Tapi, Adul yang menginginkan perempuan itu datang. Atau, mungkin juga perempuan itu ingin selalu menemui Adul. Pernah, pada malam ke-7 awal pertemuan malam, Adul menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia mendatanginya.

Jawabnya sederhana, “Karena kau lelaki istimewa.”

“Istimewa? Apanya?” Sergah Adul ingin lebih melacak alasan perempuan itu.

“Ya, istimewa. Sebab … kau tidak bisa bergaul dengan orang lain. Sama halnya denganku. Aku tidak punya teman. Engkaulah satu-satunya sahabatku. Akulah satu-satunya sahabatmu.” Jawab perempuan itu.

Adul tidak mau lagi menanyakan hal-hal lain. Bahkan, menanyakan nama perempuan itu pun tidak pernah. Sama dengan perempuan itu. Tidak pernah menanyakan nama Adul. Itu tidak penting. Yang penting, Adul merasa bahagia. Juga perempuan itu. Setiap perjumpaan, hanya diawali dengan “Hai”. Demikian juga untuk meminta, menyuruh, atau mengajak. Misalnya, “Hai. Kita menari ya! Untuk menghangatkan tubuh”. 

Pertemuan Adul dengan perempuan itu bukan hanya pada setiap malam. Setiap sesudah dipaksa emaknya untuk mandi dan makan pagi, Adul pergi ke pojok gang yang terletak sekitar 30 meter dari rumahnya. Hingga sore menjelang Magrib. Di pojok itu, ada rumah gedung berpagar teralis. Nah, di pojok pagar, batas antara pekarangan rumah dan gang itulah Adul selalu menjumpai perempuan itu. Atau, mungkin, perempuan itulah yang sudah menunggu kedatangan Adul.

Acara pada pertemuan Adul dengan perempuan itu pada pagi hingga sore hari berbeda dengan acara mereka ketika pertemuan tengah malam. Pagi hingga sore untuk bercanda-ria, malam untuk berbincang-bincang. Tentang apa pun. Seperti pada siang tadi. Adul meminta perempuan itu untuk menyanyi.

“Lagu, apa?” Tanya perempuan itu.

“Itu, lagu piala dunia.” Usul Adul yang diam-diam gemar menonton pertandingan sepak bola.

“Emh, Waka Waka yang dinyanyikan Shakira atau Dreamers-nya Jeon Jung-kook? Atau, We Are the Champions-nya Queen?” Tanya perempuan serbatahu dan serbabisa itu?

“Ya. Yang cocok. Kau perempuan. Waka Waka saja. Aku menari!” Seru Adul bersemangat.

 Mereka pun bergembira-ria. Perempuan itu menyanyikan Waka Waka lengkap dengan iringan musik ceria yang entah dari mana asalnya. Adul menari, melompat-lompat. Perempuan itu memang luar biasa. Kadang-kadang, ia memamerkan kehebatannya, melesat dari tempatnya berdiri, terbang menembus awan. Tiba-tiba muncul lagi, berdiri di belakang Adul yang terkejut namun kemudian menyeringai girang. Pernah, perempuan itu terbang, lalu menukik terjun dan mendarat di kolam di sisi gang. Mengapung melambai-lambaikan tangan. Adul menyambut lambaian itu dengan melompat riang menggerakkan kedua tangannya seperti selebrasi pemain sepak bola berhasil membobol gawang lawan.

Gang itu memang sepi. Sesekali orang lewat. Orang-orang yang lewat di gang itu pun tidak menghiraukan Adul. Mungkin, beberapa orang hanya menatap sekilas. Hanya jika ada orang baru, seperti sore tadi. Si empunya rumah berpagar teralis itu kedatangan tamu. Sepasang suami-istri paruh baya.

“Emh. Bu. Itu orangnya gini, ya?” Kata perempuan tamu kepada Ibu tuan rumah seraya membelintangkan telunjuk kanan di dahinya.

“Iya, sudah lima tahun ….” Jelas ibu tuan rumah yang segera dipotong perkataannya oleh sang suami.

Ndak, ah. Baru tiga tahun seperti itu. Yang seperti itu, ya. Lima tahun lalu, dia mengalami kecelakaan hebat ketika pulang sekolah, SMP kelas dua. Tabrakan, sepeda motor. Mungkin gegar otak. Konon, langit-langitnya juga sobek sehingga tidak bisa berbicara lagi. Tangannya juga. Kedua tulang sikunya meleset sehingga tangannya cengkok.” Tambah bapak tuan rumah.

“Tidak ada upaya keluarganya?” Tanya ibu tamu.

“Ada. Dulu. Seadanya. Orang tuanya kurang mampu. Malah sudah bercerai.” Jawab ibu tuan rumah.

 Pertemuan malam itu mungkin pertemuan ke-1000. Seperti malam-malam sebelumnya, mereka duduk bersila di lantai. Berhadap-hadapan. Namun, Adul merasa ada yang aneh. Perempuan itu lebih banyak diam.

“Hai. Kita lanjutkan pembicaraan yang kemarin. Tentang filsafat. Eksistensialisme. Malam kemarin, belum jelas apa beda antara esensi dan eksistensi.” Usul Adul mencoba memecah kebisuan.

Perempuan itu hanya menggeleng. Pelan. Tanpa semangat.

“Ada apa?” Tanya Adul penuh rasa ingin tahu.

“Yah. Sebab, mungkin kita merasa yakin kita punya esensi. Namun, sejatinya kita tidak punya eksistensi”. Jawab perempuan itu lesu.

“Tapi, bukan hanya itu. Ada yang harus kukatakan”. Lanjut perempuan itu yang melihat Adul ingin mengajukan pertanyaan lagi.

“Apa, ya?” Kata Adul penasaran.

“Maaf, mungkin malam ini malam terakhir aku menemuimu.” Kata perempuan itu lesu.

“Nah, besok?” Tanya Adul.

“Tidak, besok siang pun tidak. Malam ini malam terakhir.” Ujar perempuan itu lirih namun tegas.

“Ada apa, sebenarnya?” Tanya Adul.

“Aku sudah jenuh. Alam ini makin panas. Aku tidak tahan. Aku ingin pergi ke tempat lain.” Kata perempuan itu pelan namun amat jelas.

“Tidak. Tidak. Kau satu-satunya sahabatku. Aku satu-satunya sahabatmu. Kita harus selalu bertemu.” Pinta Adul pilu.

“Tidak bisa. Seperti yang kemarin kita bahas. Eksistensi kita mungkin sama. Tapi, esensi kita berbeda. Tidak mungkin ….” Perempuan itu mencoba menjelaskan, namun Adul memotong.

“Tidak. Mungkin, kita berbeda. Tapi ada satu persamaan. Kita bersahabat!” Tegas Adul.

Tarik-ulur antara keduanya tampaknya tidak ada titik temunya. Malam kelam bergulir. Adul benar-benar terpukul.

“Baiklah. Kalau begitu, silakan kau pergi. Namun, aku ikut bersamamu.” Kata Adul menahan isak tangis.

“Benar? Benarkah kau mau pergi bersamaku?” Tanya perempuan itu terperanjat.

“Tidak ada keraguan. Apa gunanya hidupku tanpa engkau.” Jawab Adul dengan suara dalam. Pelan tapi tegas.

“Baiklah. Mari kita pergi. Jangan khawatir. Aku akan membimbingmu. Aman!” Kata perempuan itu sambil tersenyum. Senyum itu. Senyum itu yang membuat Adul merasa tegar dengan keputusannya. Senyum yang tidak pernah muncul, kecuali malam itu. 

Kecuali malam itu. Baru kali itu. Perempuan itu menggenggam kedua telapak tangan Adul, membantunya untuk berdiri. Genggaman sehalus kapas namun sekuat baja. Mungkin, juga untuk pertama kali dalam hidupnya Adul tersenyum.

Kedua insan itu melangkah menuju ke jendela. Bergumpal kabut tipis tiba-tiba menyelimuti tubuh mereka. Kabut berputar tanpa getar memudar menghilang melalui celah jendela.

Pagi-pagi. Mak Uwin, tetangga keluarga Adul terkejut ketika dalam perjalanannya ke sawah, ditemukan Adul tergeletak. Di sebuah kuburan tua. Di daerah bajolang. Lima ratus meter dari rumah keluarga Adul. Mak Uwin menduga Adul dipatok ular kobra. Tubuhnya kaku membiru namun ada senyum memudar di kedua bibirnya. Ular itu memang tidak banyak, namun beberapa kali dijumpai berkeliaran di sekitar kuburan itu.

Di kamar Adul yang jendelanya sedikit terbuka, kabut tipis menebar. Dingin hambar. Burung kulik memekik menandai lelaki istimewa telah pergi. 

Siniar Audio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *