Kumpulan Puisi Leni Marlina: "Di Jalan Panjang Bernama Luka"
Kumpulan Puisi Leni Marlina: “Di Jalan Panjang Bernama Luka”

Kumpulan Puisi Leni Marlina: “Di Jalan Panjang Bernama Luka”

0 Shares
0
0
0

Di Jalan Panjang Bernama Luka


Di jalan panjang bernama luka,
mereka melangkah,
sejauh cakrawala nestapa
sejauh ufuk yang koyak,
di bawah langit yang kehilangan wajahnya,
di atas tanah yang tak lagi mengenal musim.

Malam menggigil tanpa matahari,
bintangnya mengusung doa yang terbakar,
sementara Gaza-Palestina, tubuhnya terbalik,
paru-parunya sesak oleh debu mayat dan keperihan yang meledak.

Mereka pulang,
bukan ke rumah,
tetapi ke luka yang telah membangun dinding-dindingnya sendiri,
ke jendela yang kini hanya lubang menganga,
ke atap yang roboh seperti tulang belulang sejarah.

Anak-anak - yatim-piatu siang - malam,
meniti puing yang berbisik, tentang nama-nama yang telah dicuri angin,
mereka bertanya kepada reruntuhan dan dunia yang masih terjaga:
Di mana tangan ibu yang dulu membimbing langkah kami?
Dimana ayah yang dulu mengantar kami pulang?

Langit kehilangan suaranya,
di sana hanya besi dan api yang bercakap-cakap,
sementara di bawahnya,
jalanan telah lupa caranya menyambut mereka pulang.

Langkah terus berlanjut,
di antara baja yang melengkung seperti punggung kota yang dipaksa bersujud,
di bawah tiang lampu yang kini hanya bayang-bayang hantu,
di lorong-lorong yang bernapas dalam derak dan gemetar.

Mereka pulang,
bukan karena aman,
tetapi karena tanah ini,
telah menjadikan mereka akar, yang berpegangan pada sunyi,
karena nama-nama mereka,
kini tertulis,
di dada angin,
di bara waktu,
di nadi tanah,
yang menolak melupakan.

Padang, Sumatera Barat 2025

Jalanan yang Masih Menyimpan Nafas

Jalanan ini bukan sekadar batu dan debu,
tetapi saksi bisu dari nyawa yang disapu,
yang tergeletak di bawah bayang-bayang api,
tanpa nisan,
tanpa upacara duka.

Tiang listrik berdiri seperti mayat yang tak dikubur,
menatap kosong ke arah angin yang tak membawa kabar,
sementara seorang ibu masih berdiri di ambang pintu,
menunggu suara yang telah ditelan waktu.

Jalanan ini adalah urat nadi yang terpotong,
merahnya bercampur dengan langit,
dan di antara serpihan kaca yang berkilau,
terpantul wajah-wajah yang tak lagi bisa menangis,
mereka bertahan dan mengadu kepada Tuhan,
tentang kemanusian dan keadilan.

Padang, Sumatera Barat 2025

Kota yang Menjadi Hantu

Gaza - Palestina,
bukan lagi kota,
ia seperti tubuh yang terbujur di altar perang,
tulang-tulangnya menjulur seperti reruntuhan doa,
dan nadinya tersumbat oleh sisa-sisa kenangan,
yang tak bisa dihapus siapa saja.

Angin melolong seperti anjing lapar,
menyeret debu yang dulu adalah dinding,
merayap kesunyian yang telah menggantikan suara anak-anak,
kapan perampasan masa getir ini berakhir.

Gaza - Palestina seolah tak lagi bernapas,
tetapi di antara puing-puing yang masih hangat,
ada tangan kecil yang menggenggam tanah,
mencoba mengingat bagaimana cara memeluk dunia.

Dengarlah suara Gaza-Palestina!

Kami ada,
karena kami manusia seperti Anda;
dimana nyawa manusia hanya milik Tuhan Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan.

Kami bertahan karena doa, dan bantuan kemanusian dari sahabat nun jauh di sana,
meskipun sangat susah dan sulit sekali sampainya.

Kami bertahan di kota hantu.
Hantu yang berwujud -
luka dan darah,
yang jadi rebutan mereka yang serakah.

Kami bertahan di kota hantu.
Hantu yang berwujud -
sedih dan perih,
yang menuangkan hari-hari mendidih.

Kami bertahan di kota hantu.
Hantu yang berwujud -
lapar dan dahaga,
yang tak lagi mampu menguras air mata,
yang menunggu uluran tangan dari engkau yang juga manusia.

Padang, Sumatera Barat 2025

Mata yang Tak Bisa Tidur

Bahkan dalam tidur,
mereka masih berjalan di antara puing,
menyusuri lorong-lorong tanpa pintu,
mengetuk jendela-jendela yang telah hilang.

Bahkan dalam tidur,
mereka melihat atap-atap terbakar,
dinding-dinding mencair seperti lilin,
kasur-kasur yang hanya berisi bayangan.

Bahkan dalam tidur,
mata mereka tetap terbuka,
sebab malam telah kehilangan batasnya,
sebab gelap telah belajar cara merasuk
melalui celah-celah di tulang mereka.

Padang, Sumatera Barat 2025

Mereka yang Tak Bisa Dihitung

Di halaman berita,
mereka hanya angka yang berbaris rapi,
tetapi siapa yang bisa menghitung
seorang ibu yang kehilangan lima putra-putrinya?

Siapa yang bisa menghitung
seorang anak yang pulang ke rumah
dan hanya menemukan langit, tak ada lagi keluarga yang tersisa?

Mereka berkata:
"Hanya seratus yang mati hari ini."
"Hanya seribu yang mati tahun kemaren".
Tetapi bagaimana jika kematian bukan angka?
Bagaimana jika kematian adalah rumah
yang telah kehilangan semua penghuninya?

Bagaimana jika kematian adalah kota
yang kini hanya dipenuhi bayang-bayang mereka, yang pernah berjuang sampai titik darah penghabisan?
yang mati terkapar kelaparan?
yang tewas menggenaskan kena ledakan?
yang terus bertanya tentang kemanusian dan keadilan,
walaupun hayat mereka tak lagi dikandung badan.

Padang, Sumatera Barat 2025

Siapa yang Bisa Pulang?

Di tanah yang telah kehilangan cahaya,
langit menyusun luka menjadi peta,
menunjukkan jalan pulang yang telah lenyap,
menuntun langkah-langkah yang tak lagi bermakna.

Besi menggerogoti jalanan yang tersengal,
asap mengunyah waktu hingga habis,
sementara rumah-rumah—
dulu pelukan,
kini lubang menganga,
dulu janji,
kini serpih belulang sejarah.

Mereka berlari,
tetapi ke mana?
Di belakang, pintu-pintu menjelma batu nisan.
Di depan, udara bersenjatakan sunyi.
Di dalam, tubuh mereka adalah peta,
yang digoresi batas-batas yang tak kelihatan.

Siapa yang bisa pulang,
bila rumah telah menjadi abu yang berserakan
di telapak kaki sejarah?

Siapa yang bisa pulang,
bila kedamaian sementara hanya sebuah permainan?

Siapa yang bisa pulang,
bila lautan tangisan masih deras menghantam hati dan pikiran?

Siapa yang bisa pulang,
bila ancaman dan ketakutan masih ditumpahkan?

Siapa yang bisa pulang,
jika tidak ada sambutan kemanusiaan?

Padang, Sumatera Barat 2025

Siniar Audio

Citation is loading...
5 comments
  1. Puisi Di Jalan Panjang Bernama Luka, sangat menyentuh hati. Kita jaadi dapat merasakan penderitaan penduduk Gaza. Rasanya sangat salut sekali dengan mereka. Penduduk gaza berani melawan rasa takut demi mempertahankan tanah air mereka.

  2. Menurut saya, puisi ini berhasil menyampaikan luka kolektif masyarakat Palestina dengan bahasa yang sangat kuat dan imajinatif. Setiap metafora terasa hidup dan menjadikan penderitaan di Gaza bukan sekadar berita, tetapi pengalaman emosional yang bisa dirasakan pembaca. Puisi ini juga memperlihatkan bahwa “pulang” bagi mereka bukanlah tempat, melainkan rasa kehilangan yang telah menjadi bagian dari identitas. Saya merasa penyair mampu menghidupkan suasana muram dan getir tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya. Secara keseluruhan, karya ini menyentuh, menggugah, dan mengingatkan pembaca bahwa tragedi kemanusiaan tidak boleh dianggap sebagai hal yang jauh atau biasa saja.

  3. Puisi-puisi ini sangat kuat secara emosional dan penuh daya visual. Bahasa yang digunakan puitis namun tajam sehingga pembaca dapat merasakan ketegangan, kehilangan, dan harapan yang rapuh di Gaza. Karya ini tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi sastra, tetapi juga sebagai seruan moral untuk mengingatkan pembaca tentang pentingnya kemanusiaan. Secara artistik, metafora dan personifikasi dipakai dengan efektif untuk menggambarkan perang sebagai luka kolektif yang tak dapat diabaikan.

  4. Teks tersebut menilai puisi itu sangat kuat karena mampu menggambarkan trauma perang di Gaza dengan bahasa puitis yang tetap menghantam emosi. Puisi menunjukkan bahwa penderitaan warga tidak hanya terjadi saat terjaga, tetapi juga dalam mimpi. Gambaran seperti rumah meleleh dan lorong tanpa pintu menegaskan bahwa kehilangan dan ketakutan sudah menjadi bagian hidup mereka. Secara keseluruhan, puisi ini dianggap memilukan dan menjadi pengingat bahwa perang meninggalkan luka yang jauh lebih dalam dari yang tampak.

  5. puisi ini memberikan penekanan bahwa meski mereka hidup dalam ketakutan dan kehancuran, masyarakat Gaza tetap memiliki keteguhan untuk bertahan. Identitas mereka tertanam kuat pada tanah yang terus menyimpan jejak perjuangan dan kesedihan mereka. Penulis menampilkan bahwa kepulangan mereka bukan karena keamanan, melainkan karena tanah itu adalah bagian dari nadi kehidupan yang menolak dilupakan. Dengan demikian, puisi ini bukan hanya karya sastra, melainkan seruan kemanusiaan yang mengajak pembaca untuk mengingat dan peduli.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ringkasan Komentar

Belum ada ringkasan komentar. Klik tombol untuk melihat garis besar diskusi.