Analisis Regresi Demokrasi dalam Pemerintahan Boris Yeltsin dan Vladimir Putin di Rusia Sejak 1991 hingga Kini Melalui Lensa Otoritarianisme Kompetitif
Analisis Regresi Demokrasi dalam Pemerintahan Boris Yeltsin dan Vladimir Putin di Rusia Sejak 1991 hingga Kini Melalui Lensa Otoritarianisme Kompetitif

Analisis Regresi Demokrasi dalam Pemerintahan Boris Yeltsin dan Vladimir Putin di Rusia Sejak 1991 hingga Kini Melalui Lensa Otoritarianisme Kompetitif

0 Shares
0
0
0

Abstrak

Runtuhnya Uni Soviet membuka babak baru transisi demokrasi di Rusia. Akan tetapi, perjalanan menuju sistem politik yang demokratis tidak berjalan dengan mulus. Pada era Boris Yeltsin, reformasi politik dan ekonomi telah menciptakan kompetisi politik, kebebasan sipil, dan pasar bebas. Meskipun demikian, implementasi kebijakan radikal seperti shock therapy dan loans-for-shares justru memunculkan kelas oligarki yang menguasai aset negara serta memperoleh pengaruh besar dalam politik, termasuk melalui intervensi media pada pemilu 1996. Kondisi ini mengikis kepercayaan publik dan menandai kemunduran awal demokrasi. Ketika Vladimir Putin berkuasa pada tahun 2000, arah politik Rusia semakin menjauh dari demokratisasi melalui sentralisasi kekuasaan, penguatan aktor keamanan dan Siloviki, pembatasan oposisi, reformasi pemilu yang menguntungkan partai berkuasa, serta kontrol terhadap media massa. Konsep political technologist turut memfasilitasi manipulasi realitas politik untuk melemahkan resistensi publik. Dengan menggunakan kerangka teori competitive authoritarianism Steven Levitsky dan Lucan A. Way, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Rusia berkembang menjadi rezim hibrida yang mempertahankan institusi demokrasi secara formal tetapi menerapkan praktik otoriter dalam kompetisi politik. Dengan demikian, dinamika sosial, ekonomi, dan politik sejak pemerintahan Yeltsin hingga Putin menggambarkan proses regresi demokrasi yang menyebabkan demokrasi hanya berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan, bukan sebagai mekanisme substantif untuk menjamin kebebasan dan partisipasi politik.

Kata kunci: Regresi demokrasi; otoritarianisme kompetitif; Yeltsin; Putin; Siloviki


Pendahuluan

Rusia merupakan negara super power yang mengalami pasang surut dalam menuju sistem pemerintahan demokrasi dari totalitarianisme. Menurut Juan Linz dalam buku Russia’s Capitalist Revolution karya Anders Åslund, pendefinisian demokrasi merupakan terciptanya kebebasan politik, kompetisi yang adil, keterlibatan semua pihak dalam proses demokratis, dan partisipasi yang menyeluruh (Linz dalam Åslund, 2007). Dalam perkembangannya, transisi demokrasi di Rusia mengacu pada tiga tahapan, yaitu: (1) tahap elite split atau perpecahan elite pada rezim Mikhail Gorbachev tahun 1985–1993, (2) tahap konsolidasi pada rezim Boris Yeltsin dan Vladimir Putin tahun 1993–2000, (3) tahap deepening atau pendalaman pada rezim Vladimir Putin hingga saat ini. Hal ini serupa dengan beberapa negara yang mengalami transisi demokrasi, yaitu diawali dengan adanya perpecahan dalam tubuh elite.

Setelah keruntuhan Uni Soviet, di bawah kepemimpinan Boris Yeltsin atau dalam tahapan konsolidasi, terjadi penyatuan visi dan kebudayaan demokrasi di Rusia, seperti terbentuknya tiga pilar, yaitu state society (eksekutif, legislatif, yudikatif), political society (partai politik), dan civil society (lembaga swadaya masyarakat). Dalam tahapan ini juga ada istilah ‘agenda of change‘, yaitu bentuk kesempatan kompetisi untuk memajukan agenda kebijakan dan regulasi dari masing-masing kelompok. Presiden Boris Yeltsin, dianggap sebagai sosok reformis yang melakukan reformasi politik seperti memberikan hak-hak politik, terbentuknya pemilihan Duma dan Presiden, perlindungan hak-hak sipil, dan kebebasan media (Novian & Fauzan, 2025). Selain itu, Yeltsin juga melakukan reformasi radikal ekonomi dengan menerapkan ‘shock therapy‘ dengan privatisasi besar-besaran.

Perjalanan sistem demokrasi di Rusia tidak berjalan dengan mulus pada pemerintahan Boris Yeltsin. Terdapat beberapa permasalahan seperti krisis konstitusional, krisis militer akibat kekalahan perang melawan Chechnya, dan keberpihakan pada kelompok oligarki seperti kebijakan ‘loans-for-shares‘ dengan penguasaan aset sepenuhnya dengan hubungan timbal balik berupa membantu dukungan pemenangan Yeltsin. Kemenangan Boris Yeltsin pada 1996 yang didukung oleh para oligarki dengan julukan “pemerintah tujuh bankir” seperti Vladimir Potanin, Boris Berezovsky, Vladimir Vinogradov, Petr Aven, Mikhail Fridman, Mikhail Khodorkovsky, Alexander Smolensky, dan Vladimir Gusinsky, menjadi contoh melencengnya nilai-nilai demokrasi seperti adanya intervensi terhadap media massa (Halim, 2023).

Setelah kemunduran Boris Yeltsin akibat tidak mampu menyelesaikan beberapa permasalahan, ditunjuknya Vladimir Putin sebagai Presiden sementara dan resmi menjadi Presiden pada Maret tahun 2000. Dengan latar belakang seorang mantan Direktur Federal’naya Sluzhba Bezopasnosti (FSB) yang bergerak di bidang keamanan, Putin cenderung mempercayakan kekuasaan kepada kelompok-kelompok dengan latar belakang birokrat keamanan maupun militer yang disebut sebagai Siloviki (Novian & Fauzan, 2025). Di awal kepemimpinannya, Putin melakukan reformasi militer terbatas seperti pasukan kontrak dan menerapkan nilai-nilai militer dalam pemerintahannya. Dengan pemfokusan ‘military beyond politics‘, hal ini menunjukkan sikap antidemokrasi di mana kekuasaan dikuasai oleh segelintir pihak (Novian & Fauzan, 2025).

Dengan negara yang sedang mengalami transisi ke arah sistem demokrasi, Rusia justru mengalami perubahan regress (kemunduran) dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi. Perubahan regress dapat didefinisikan sebagai adanya transformasi yang menyebabkan kemunduran atau penurunan dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik (Smelser, 1962). Pendefinisian lainnya adalah suatu keadaan yang berubah dengan penurunan dari suatu sektor, fenomena, atau kualitas nilai politik. Hal ini biasanya mengacu pada perilaku rezim, masyarakat, demokrasi, dan kekuasaan yang dilihat secara agregat atau nilai mengalami penurunan. Artikel ini akan menggunakan teori ‘Competitive Authoritarianism‘ milik Steven Levitsky dan Lucan A. Way, untuk menganalisis kemunduran demokrasi pada era Boris Yeltsin dan Vladimir Putin di Rusia.

Pertanyaan Penelitian

  • Bagaimana dinamika perubahan sosial, ekonomi, dan politik di Rusia sejak masa pemerintahan Boris Yeltsin hingga Vladimir Putin memengaruhi proses regresi demokrasi?

Kerangka Teori

Teori otoritarianisme kompetitif (competitive authoritarianism) diperkenalkan secara komprehensif oleh Steven Levitsky dan Lucan A. Way dalam artikelnya yang berjudul The Rise of Competitive Authoritarianism (2002) dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam buku mereka Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes After the Cold War (2010). Setelah Perang Dingin, banyak negara mengalami transisi dari otoritarianisme klasik menuju bentuk pemerintahan yang lebih kompleks dan ambigu. Steven Levitsky dan Lucan A. Way mengategorikan jenis baru ini sebagai otoritarianisme kompetitif, yakni rezim politik yang memadukan elemen demokrasi formal dengan praktik kekuasaan otoriter. Menurut Levitsky dan Way, banyak ilmuwan dan pengamat politik mengasumsikan bahwa negara-negara pascaotoriter secara otomatis sedang menuju demokrasi hanya karena mereka telah meninggalkan kediktatoran total.

Padahal, kenyataan politik menunjukkan bahwa banyak rezim yang tidak berkembang menjadi demokrasi liberal, tetapi justru stabil dalam bentuk rezim hibrida, yakni gabungan antara elemen demokratis dan otoriter. Inilah yang mereka sebut sebagai competitive authoritarian regimes atau rezim otoritarianisme kompetitif (Levitsky & Way, 2002, hlm. 52).

Ciri penting lainnya dari otoritarianisme kompetitif adalah ketimpangan struktur kekuasaan yang menciptakan playing field yang tidak seimbang antara penguasa dan oposisi. Dalam situasi ini, penguasa memiliki akses tak terbatas pada lembaga negara, aparat hukum, dan media publik. Ini bukan sekadar ketidaksempurnaan demokrasi, tetapi bentuk sistemik yang membuat kompetisi politik tidak setara dan tidak adil. Ketika pelanggaran terhadap aturan demokratis menjadi praktik rutin, sistem tersebut tidak dapat lagi diklasifikasikan sebagai demokrasi, meskipun institusinya tetap ada secara formal (Levitsky & Way, 2002).


Pembahasan

1. Privatisasi dan Lahirnya Kelas Oligarki

Permasalahan ekonomi sudah menjadi pekerjaan rumah bagi Boris Yeltsin, terlebih pascakeruntuhan Uni Soviet yang disebabkan oleh permasalahan ekonomi. Diketahui bahwa di awal pemerintahan Yeltsin mempercayai para ekonom seperti Yegor Gaidar untuk dijadikan Menteri Ekonomi, dan mengedepankan privatisasi. Dalam perkembangannya, pertumbuhan ekonomi tidak berjalan dengan mulus, misalnya adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1994 akibat kekalahan perang melawan Chechnya dan kebijakan “shock therapy” yang mengalami kegagalan (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Pertumbuhan GDP Rusia Tahun 1992–1998. Sumber: (Åslund, 2007).
Gambar 1. Pertumbuhan GDP Rusia Tahun 1992–1998. Sumber: (Åslund, 2007).

Upaya pemerintah dalam melakukan reformasi ekonomi seperti yang dilakukan dalam pemerintahan Yeltsin menjadi pergerakan yang bersifat radikal. Dalam proses transformasinya yang mengadopsi nilai-nilai demokrasi, sekaligus melakukan mekanisme lelang penjualan perusahaan negara, Yeltsin melakukannya dengan waktu yang cepat. Pelelangan ini dilakukan terhadap 18 juta perusahaan negara yang akan diprivatisasi. Masyarakat antusias dengan melakukan pembelian kupon yang menyebabkan arus perputaran mata uang rubel sangat cepat. Meskipun demikian, dengan pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang cara menggunakan kupon, hal ini disalahgunakan oleh petinggi perusahan dengan memaksa karyawannya untuk menyerahkan kupon privatisasinya (Halim, 2023).

Seorang pakar ekonomi, Naomi Klein, dalam buku Shock Doctrine miliknya, mengatakan bahwa liberalisasi harga ini membuat banyak masyarakat Rusia jatuh miskin (Klein, 2014). Klein juga menjelaskan bahwa “terapi kejut” hanya menguntungkan segelintir elite yang disebut sebagai ‘Disaster Capitalism‘ (Klein, 2007). Program lainnya adalah “pinjaman untuk saham” yang menguntungkan para oligarki atau yang disebut ‘pemerintah tujuh bankir’, di mana program ini diciptakan untuk meningkatkan popularitas Yeltsin akibat kebijakan ekonomi yang gagal. Program ini memberikan kekuasaan penuh atas aset yang mereka dapatkan dalam ‘loans-for-share‘, dengan hubungan timbal balik memberikan dana kampanye dukungan terhadap Yeltsin (Halim, 2023). Dengan kebijakan yang hanya menguntungkan para oligarki, hal ini menyebabkan inflasi ekonomi (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Inflasi Ekonomi di Rusia Tahun 1996–1997. Sumber: (Åslund, 2007).
Gambar 2. Inflasi Ekonomi di Rusia Tahun 1996–1997. Sumber: (Åslund, 2007).

Alih-alih meningkatkan kepercayaan publik atas reformasi ekonomi yang diberlakukan, privatisasi secara cepat ini menghasilkan korupsi besar yang meruntuhkan kepercayaan publik terhadap demokrasi dan pasar bebas. Sejak saat itu, Rusia kembali diberikan janji stabilitas oleh Vladimir Putin dengan beberapa upayanya melalui penataan ulang kebebasan para oligarki dalam menguasai pasar. Putin mengembalikan sentralisasi pemerintahan pusat dan monopoli perusahaan negara atas sumber daya alam di bawah kendali pusat.

Upayanya dikatakan sebagai upaya untuk mempertahankan kekayaan dirinya secara pribadi atas keterikatannya dengan KGB yang menjadi penguasa baru pada masa Putin. Dalam perspektif ekonomi yaitu kelas kepemilikan aset, Putin dapat dikatakan sebagai oligarki yang mempertahankan kekayaannya bersama rekan-rekannya seperti Petr Kolbin, Sergei Roldugin, dan Vladimir Litvinenko yang memiliki kekayaan jutaan hingga miliaran dolar secara misterius (Halim, 2023). Sebagai negara dengan produsen minyak utama dunia, pertumbuhan ekonomi di pemerintahan Putin juga tidak berjalan mulus, di mana rasio investasi hanya di angka sekitar 18% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan negara transisi lainnya mencapai 35% dari PDB seperti di Latvia dan Estonia (lihat Gambar 3).

Gambar 3. Rasio Investasi di Rusia Tahun 1991–2006. Sumber: (Åslund, 2007).
Gambar 3. Rasio Investasi di Rusia Tahun 1991–2006. Sumber: (Åslund, 2007).

Selain itu, dengan adanya renasionalisasi, hal ini berdampak buruk bagi perekonomian Rusia. Seperti ruang ekonomi swasta yang menyempit akibat negara mengambil alih sektor-sektor strategis seperti minyak dan gas yang sebelumnya diprivatisasi pada pemerintahan Yeltsin. Dengan demikian, perusahaan Yukos memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produksi minyak Rusia hingga 50%. Pada tahun 2000 hingga 2004 yang nyaris stagnan, perusahaan Yukos memberikan kontribusi sejarah bagi perekonomian di Rusia (lihat Gambar 4).

Gambar 4. Perkembangan Oil di Rusia Tahun 1985–2006. Sumber: (Åslund, 2007).
Gambar 4. Perkembangan Oil di Rusia Tahun 1985–2006. Sumber: (Åslund, 2007).

2. Transisi Politik Pasca Runtuhnya Uni Soviet

Babak politik di Rusia dimulai setelah keruntuhan Uni Soviet yang dipimpin oleh Mikhail Gorbachev, di mana adanya aksi demonstrasi yang menyuarakan ketidakpuasannya terhadap sistem komunis, partai politik yang korupsi, dan kegagalan ekonomi. Dalam situasi ketidakstabilan politik, terdapat politikus populer dan yang juga menjadi ketua parlemen di Moskow yang bernama Boris Yeltsin, sosok yang mengedepankan paham liberalisme, demokrasi, dan menentang komunisme. Dengan kepercayaan masyarakat dan tekad kuat untuk membubarkan sistem komunis di Rusia, Yeltsin memanfaatkan parlemen untuk pemilihan Presiden Rusia yang dipilih langsung oleh rakyat (Åslund, 2007). Meskipun terdapat beberapa perlawanan dari para birokrat Uni Soviet, Yeltsin berhasil memenangkan pemilu secara dominan, yaitu memperoleh 57,3% suara (lihat Gambar 5).

Gambar 5. Perolehan Suara Boris Yeltsin Tahun 1991. Sumber: (Åslund, 2007).
Gambar 5. Perolehan Suara Boris Yeltsin Tahun 1991. Sumber: (Åslund, 2007).

Setelah Boris Yeltsin secara resmi menduduki posisi sebagai Presiden pertama di Rusia, hal yang dilakukannya adalah membubarkan partai komunis. Langkah berikutnya yang diambil oleh Yeltsin adalah membentuk pemerintahan yang dikendalikan oleh para ekonom, seperti Yegor Gaidar yang dikenal sebagai pendiri Institute of Economic Policy di Moskow dan dianggap sebagai ekonom paling kompeten (Åslund, 2017). Yegor Gaidar secara resmi diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri dan Menteri Keuangan pada November 1991.

Perubahan politik dalam unsur formal juga dilakukan dengan restrukturisasi total, misalnya pada masa sebelumnya Uni Soviet memiliki 12 Wakil Perdana Menteri dan 100 Menteri, sedangkan pemerintahan baru Yeltsin hanya memiliki 3 Wakil Perdana Menteri dan 23 Menteri. Yeltsin juga menghapuskan Kementerian Industri, dan memusatkan Kementerian Keuangan sebagaimana lazimnya dalam pemerintahan kapitalis modern (Åslund, 2007). Tujuannya adalah membentuk ‘State Property Committee‘, yaitu lembaga yang mengurusi privatisasi. Kesalahan yang dilakukan Yeltsin adalah mempertahankan sekelompok Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), yang memegang kekuasaan pada dekade berikutnya.

Pascakerusuhan tahun 1993, Yeltsin sempat membubarkan parlemen yang dianggap sebagai tindakan diktator. Akan tetapi, ia mengusulkan sistem formal baru yaitu sistem presidensial dengan parlemen dua kamar bernama Majelis Federal, yang berisi Duma Negara dan Dewan Federasi (Åslund, 2007). Sistem yang diusulkan oleh Yeltsin memperkuat kedudukan presiden yang disebut ‘super presidensial‘, seperti dapat menunjuk Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Dinas Keamanan. Selanjutnya, komposisi Duma Negara beranggotakan 450 dan Dewan Federasi 178 (Åslund, 2007).

Dengan mengedepankan privatisasi, hal ini memunculkan kelompok oligarki baru yang berlatar belakang ‘para bankir’. Menurut Jeffrey A. Winters, pendefinisian oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (Winters, 2011). Kemunculannya bersamaan dengan kebijakan reformasi ekonomi radikal Yeltsin yaitu “Shock Therapy“. Dalam perspektif politik, para oligarki berperan membantu kemenangan Yeltsin dalam Pemilu 1996 (Halim, 2023). Kemenangan Yeltsin pada tahun 1996, menunjukkan kelompok “pemerintah tujuh bankir” memiliki pengaruh besar dalam kompetisi politik. Para oligarki membantu Yeltsin dengan memerintahkan media massa untuk mengangkat citra baik Yeltsin yang mengalami kekalahan strategi perang melawan Chechnya (Halim, 2023).

Pada akhirnya, demokratisasi tidak berjalan mulus di pemerintahan Yeltsin, di mana kebijakan liberal ekonomi dianggap hanya menguntungkan para oligarki, sehingga ada istilah ‘pseudo democracy‘, di mana kebijakan Yeltsin hanya membawa kemunduran, kekacauan, manipulasi, meningkatnya kasus korupsi, dan mengabaikan kepentingan rakyat (Pushkov, 2004). Kegagalan untuk menghadapi dinamika yang ada, Yeltsin menunjuk Vladimir Putin sebagai Presiden sementara dan secara resmi menjadi Presiden pada tahun 2000, dengan 53,4% kemenangan suara (lihat Gambar 6) (Åslund, 2007).

Gambar 6. Perolehan Suara Vladimir Putin Tahun 2000. Sumber: (Åslund, 2007).
Gambar 6. Perolehan Suara Vladimir Putin Tahun 2000. Sumber: (Åslund, 2007).

Terpilihnya Vladimir Putin pada tahun 2000, telah menciptakan harapan baru dalam melawan kelompok oligarki. Harapan ini muncul ketika Putin mengatakan antioligarki dalam aksi kampanye (Halim, 2023). Meskipun demikian, adanya kelas politik baru yang dinamakan Siloviki, yaitu para elite dengan latar belakang militer maupun birokrat keamanan yang menduduki posisi strategis seperti di perusahaan negara. Keputusan Putin memilih Siloviki dalam pemerintahan adalah untuk melawan para oligarki kolektif yang menolak tunduk pada Putin, seperti Vladimir Gusinsky dan Mikhail Khodorkovsky yang berhasil diasingkan (Novian & Fauzan, 2025). Beberapa pengamat juga melihat adanya kelas oligarki baru yaitu ‘Silovarch‘, yakni pergabungan antara kata Siloviki dan oligarki (Halim, 2023).

Semenjak Putin menjadi Presiden, regresi demokrasi di Rusia mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) menerapkan strategi ‘Managed Democracy‘ yang dianggap ekstrim, visioner, dan tidak mempedulikan kritik masyarakat, (2) reformasi institusi dengan menjadi Kepala Daerah yang butuh persetujuan dari Presiden dan partai pendukungnya, (3) memanfaatkan birokrasi melalui kelompok Siloviki, (4) membatasi kebebasan pers dan media, (5) reformasi pemilu dengan meningkatkan ambang batas perwakilan menjadi 7% yang menguntungkan partai-partai besar (Suwanti, 2015).

Kondisi di Rusia tidak dapat dikatakan demokrasi, karena peran Siloviki yang semakin menguat hingga saat ini. Bahkan, dapat dikatakan satu dari lima elite berpengaruh di Rusia saat ini adalah berasal dari Siloviki. Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan juga bahwa Rusia adalah negara yang dikuasai jenderal-jenderal militer. Faktanya, hanya sistemnya yang semakin tidak demokratis. Hal yang paling tepat adalah merujuk pada istilah ‘Two-Headed Eagle‘ oleh Daniel Yergin dan Thane Gustafson, di mana Rusia mengadopsi sistem demokratis tetapi tetap melambangkan sikap otoriterisme (Åslund, 2007).

3. Pola Relasi antara Negara, Swasta, dan Masyarakat

Runtuhnya Uni Soviet mendatangkan tantangan baru Rusia dalam sektor sosialnya. Fase transisi menuju demokrasi didominasi oleh munculnya kelas oligarki yang menguasai aset negara. Penguasaan aset negara tersebut telah menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi sehingga yang terjadi pada saat itu adalah berkuasanya segelintir individu yang memiliki aset dan kekayaan yang tidak dimiliki oleh mayoritas masyarakat Rusia. Pengaruhnya mencakup penguasaan terhadap media massa seperti yang dilakukan oleh Vladislav Surkov dalam pemerintahan Yeltsin. Surkov melakukan pengendalian media dengan mengeluarkan narasi ketidakpastian politik yang dapat memberikan keuntungan bagi dirinya (Åslund, 2007).

Dalam melihat perubahan sosial yang terjadi selama kepemimpinan Boris Yeltsin dan Vladimir Putin, terlihat bahwa adanya pola hubungan yang berbeda dalam pemerintahannya. Yeltsin yang kental hubungannya dengan para oligarki dan Putin yang berupaya untuk menghilangkan dominasi oligarkinya dengan mendatangkan kekuatan baru yakni Siloviki, telah mengubah hubungan negara dengan pihak swasta. Dalam transisi demokrasi pada masa Putin, hubungan swasta (oligarki) dengan negara tidak lagi kuat, bahkan kedudukannya kini diatur oleh negara (Sakwa, 2008, hlm. 188). Oleh karena itu, perubahan sosial dapat dilihat melalui pola hubungan antaraktor yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan dan nonpemerintahan, sehingga mampu menciptakan pengaruh yang signifikan terhadap transisi demokrasi di Rusia.

Fenomena sosial yang menjadi menarik di Rusia juga adalah adanya ‘political technologist’ yang dikembangkan oleh Vladislav Surkov yang berlatar belakang dalam dunia teater. Dengan kemampuannya sebagai sutradara yang telah berhasil melakukan teater dalam dunia politik Putin (Breunesse, 2017). Hal yang dimaksud adalah adanya pemahaman bahwa setiap agenda politik bisa hanya bagian dari skenario, untuk melihat instabilitas sebagai peluang untuk memanipulasi realitas politik. Vladislav Surkov berhasil membuat kebingungan di masyarakat dan pihak oposisi, atas realitas politik sebenarnya. Fenomena ini juga terjadi di Amerika Serikat, di mana adanya kebingungan di masyarakat dan pihak oposisi untuk mengetahui realitas politik yang terjadi pada Donald Trump (Breunesse, 2017). Fenomena sosial ini juga menunjukkan adanya kemunduran demokrasi, akibat manipulasi yang dilakukan oleh para elite untuk membungkam peran kritis masyarakat dan pihak oposisi.


Analisis Teori

Kasus Rusia di bawah kekuasaan Boris Yeltsin dan Vladimir Putin merupakan contoh nyata dari praktik otoritarianisme kompetitif sebagaimana dijelaskan oleh Levitsky dan Way. Dalam struktur kekuasaan yang didominasi kelompok Siloviki, telah menciptakan ketimpangan struktur kekuasaan atau ‘playing field‘ yang tidak seimbang antara penguasa dan oposisi. Pada pemerintahan Vladimir Putin juga terdapat beberapa cara yang digunakan untuk membungkam pihak oposisi, seperti pembatasan media massa dan adanya political technologist atau teater yang menunjukkan realitas politik bisa dimanipulasi dengan tujuan menciptakan kebingungan di pihak oposisi maupun mengurangi sikap kritis di masyarakat, dengan alasan menjaga stabilitas politik.

Pemerintahan keduanya juga menciptakan kelas politik baru, yaitu oligarki. Pada rezim Boris Yeltsin, kelompok oligarki didominasi oleh para bankir yang loyal terhadap Yeltsin dengan mendukungnya dalam pemilu. Hubungan keduanya telah menggeser nilai-nilai demokrasi, seperti kebijakan “Shock Therapy” dan “loans-for-share” yang hanya menguntungkan segelintir elite. Para oligarki juga memiliki kekuasaan terhadap media seperti mendorong agar memperbaiki citra Yeltsin sebelum pemilu. Sedangkan pada rezim Vladimir Putin, kelompok oligarki seperti “Silovarch” telah mengabaikan kepentingan-kepentingan individu. Hal ini disebabkan oleh latar belakang militer mereka yang terbiasa dengan komando.

Pada hakikatnya, regresi demokrasi telah dimulai sejak pemerintahan Boris Yeltsin, seperti praktik korupsi, revolusi ekonomi radikal, dan pemeliharaan oligarki. Selanjutnya, pada pemerintahan Vladimir Putin, regresi demokrasi semakin meningkat, seperti menerapkan sistem managed democracy, perubahan peraturan dalam ambang batas yang menguntungkan partai pendukungnya, mengedepankan prinsip musuh dan senjata, dan penguatan pada Siloviki. Hal ini relevan dengan rezim hibrida, di mana secara formal menggunakan sistem demokrasi, tetapi pada praktiknya menggunakan sikap otoritarianisme.


Kesimpulan

Perjalanan transisi demokrasi Rusia sejak runtuhnya Uni Soviet menunjukkan bahwa proses demokratisasi tidak berjalan linier menuju konsolidasi, melainkan mengalami kemunduran (regresi) yang signifikan. Pada masa Boris Yeltsin, reformasi politik dan ekonomi yang semula bertujuan membangun demokrasi justru melahirkan kelas oligarki yang menguasai aset negara serta memanfaatkan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan ekonomi dan politiknya. Praktik seperti shock therapy dan loans-for-shares menimbulkan ketimpangan sosial, korupsi, serta hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.

Memasuki era Vladimir Putin, regresi demokrasi semakin dalam melalui penguatan kekuasaan eksekutif, sentralisasi otoritas negara, serta dominasi kelompok Siloviki yang berasal dari militer dan birokrasi keamanan. Meskipun Putin menampilkan stabilitas politik dan ekonomi, hal ini dicapai dengan membatasi oposisi, mengendalikan media, dan memanipulasi proses politik melalui political technologist. Dalam konteks teori otoritarianisme kompetitif (competitive authoritarianism) dari Levitsky dan Way, Rusia menunjukkan ciri khas rezim hibrida: mempertahankan institusi demokrasi secara formal, tetapi mengosongkan esensi kompetisi politik yang bebas dan setara.

Dengan demikian, dinamika sosial, ekonomi, dan politik Rusia sejak Yeltsin hingga Putin memperlihatkan transformasi dari harapan demokratis menuju bentuk otoritarianisme kompetitif, di mana demokrasi hanya berfungsi sebagai instrumen legitimasi kekuasaan, bukan sebagai sistem pemerintahan substantif yang menjamin partisipasi dan kebebasan rakyat.

Daftar Referensi
  • Åslund, A. (2007). Russia’s capitalist revolution: Why market reform succeeded and democracy failed. Institute for International Economics.
  • Breunesse, G. (2017). Extract from HyperNormalisation [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=lI27qk1irg0
  • Halim, D. L. (2023). Dinamika relasi negara dan oligarki di Rusia dan Ukraina [Skripsi, Universitas Indonesia]. Repositori Universitas Indonesia. https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=9999920523852
  • Klein, N. (2007). The shock doctrine: The rise of disaster capitalism. Penguin Books.
  • Klein, N. (2014). The shock doctrine: The rise of disaster capitalism. Penguin Books Limited.
  • Levitsky, S., & Way, L. A. (2002). The rise of competitive authoritarianism. Journal of Democracy, 13(2), 51–65. https://doi.org/10.1353/jod.2002.0026
  • Levitsky, S., & Way, L. A. (2010). Competitive authoritarianism: Hybrid regimes after the Cold War. Cambridge University Press.
  • Linz, J. J. (1978). The breakdown of democratic regimes: Crisis, breakdown, and reequilibration. Johns Hopkins University Press.
  • Novian, L., & Fauzan, I. (2025). Peran kelompok elit Siloviki pada politik kontemporer Rusia. POLIEIA: Jurnal Ilmu Politik, 17(1), 41–49. https://doi.org/10.32734/politeia.v17i1.16092
  • Pushkov, A. K. (2004). Putin and his enemies. The National Interest, (52), 73–77. https://www.jstor.org/stable/42897504
  • Sakwa, R. (2008). Putin and the oligarchs. New Political Economy, 13(2), 185–191. https://doi.org/10.1080/13563460802018513
  • Smelser, N. J. (1962). Theory of collective behavior. The Free Press.
  • Suwanti, I. (2015). Kekuasaan Vladimir Putin dalam perkembangan demokrasi Federasi Rusia. Transformasi, 1(28), 1–88.
Citation is loading...
1 comment
  1. Artikel ini memberikan analisis yang sangat komprehensif tentang perkembangan demokrasi di Rusia. Sebagai pembaca, saya merasa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perbedaan kepemimpinan Yeltsin dan Putin. Penulis menyampaikan argumennya dengan sistematis sehingga mudah dipahami meskipun topiknya cukup kompleks. Teks ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang sedang mempelajari politik internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ringkasan Komentar

Belum ada ringkasan komentar. Klik tombol untuk melihat garis besar diskusi.