Mengunci Kemenangan: Strategi CPP dan Dominasi Hun Sen dalam Pemilu Kamboja 2023
Mengunci Kemenangan: Strategi CPP dan Dominasi Hun Sen dalam Pemilu Kamboja 2023

Mengunci Kemenangan: Strategi CPP dan Dominasi Hun Sen dalam Pemilu Kamboja 2023

0 Shares
0
0
0

Abstrak

Artikel ini menganalisis faktor kemenangan Cambodian People’s Party (CPP) dalam Pemilu 2023 di Kamboja serta strategi yang digunakan untuk mempertahankan dominasinya. Sejak terjadinya transformasi politik tahun 1991 melalui Perjanjian Perdamaian Paris, Kamboja mulai mengadopsi sistem multipartai. Akan tetapi, dalam praktiknya cenderung tidak menggunakan nilai-nilai demokrasi secara optimal. CPP di bawah kepemimpinan Hun Sen berhasil mempertahankan kekuasaan melalui pengendalian institusi negara, media, lingkungan akademik, dan aparat keamanan, serta memanfaatkan praktik patronase di daerah pedesaan. Selain itu, CPP juga menggunakan strategi untuk melemahkan oposisi melalui kriminalisasi pemimpin oposisi serta pembubaran partai. Pada Pemilu 2023, CPP memenangkan 120 dari 125 kursi parlemen, disertai transisi kekuasaan dari Hun Sen kepada putranya, Hun Manet. Artikel ini menyoroti bagaimana CPP memadukan strategi otoritarian dengan program pembangunan ekonomi untuk membangun legitimasi, sambil mempersempit ruang gerak politik oposisi, sehingga mempertahankan dominasi politiknya. Artikel ini memberikan kontribusi dalam memahami dinamika politik elektoral di Kamboja, serta tantangan penerapan demokrasi dalam konteks kontrol kekuasaan yang kuat.

Kata kunci: Pemilu Kamboja 2023; CPP; Hun Sen; strategi politik; dominasi politik; konsolidasi kekuasaan


Latar Belakang

Kamboja telah mengalami transformasi politik pada tahun 1991, yaitu perubahan dari negara sosialis satu partai menjadi sistem pemilihan multipartai. Perubahan menjadi negara dengan sistem multipartai merupakan wujud dari Perjanjian Perdamaian Paris pada 23 Oktober 1991, yang bertujuan untuk mengedepankan sistem demokrasi berdasarkan nilai-nilai liberal dan menghentikan ketegangan dengan Vietnam (Hughes, 2015). Perubahan signifikan dalam struktur politik dan sosial Kamboja memberikan tantangan besar bagi keberlangsungan demokrasi yang sedang dibangun.

Setelah dua tahun berjalannya penerapan sistem multipartai, pelaksanaan pemilu mulai diadakan pada tahun 1993. Pemilu pertama dimenangkan oleh Funcinpec dengan memperoleh 58 kursi, sedangkan CPP memperoleh 51 kursi, Son Sann’s Buddhist Democrat Party 10 kursi, dan Ieng Moly’s Molika Party mendapatkan 1 kursi (Khmer Times, 2023). Kemenangan Funcinpec pada tahun 1993, menjadikan kemenangan terakhir bagi partai lainnya selain CPP.

Sosok Hun Sen dari CPP sebagai ‘Strongman of Cambodia’ melakukan berbagai strategi dengan mengontrol institusi negara, media, lingkungan akademik, proses administrasi, dan aparat keamanan, sehingga menciptakan persaingan politik yang timpang dan tidak kompetitif. Dengan dominasinya, CPP berhasil meraih enam kemenangan pemilu di Kamboja. Pada tahun 1998, CPP berhasil menang dengan 64 kursi; pada tahun 2003, CPP berhasil menang dengan 73 kursi; pada tahun 2008, CPP berhasil menang dengan 90 dari 123 kursi; pada tahun 2013, CPP berhasil menang dengan 55 kursi dari 123 kursi; dan pada tahun 2018, CPP berhasil menang dengan 125 kursi (Khmer Times, 2023). Hingga pada pemilu terakhir tahun 2023, CPP berhasil menang dengan 120 kursi dari 125 kursi (Seavmey, 2023).

Secara struktural, CPP memanfaatkan birokrasi negara untuk memperkuat basis dukungan politiknya, misalnya melakukan praktik patronase. Praktik tersebut berupa pemberian posisi jabatan, proyek pembangunan, dan akses terhadap lahan yang sering kali diberikan kepada individu atau kelompok yang loyal kepada partai. Dengan adanya hubungan timbal balik, hal ini memperkuat CPP untuk mobilisasi secara masif, terutama di daerah pedesaan di mana akses terhadap pelayanan publik dan sumber daya sangat bergantung pada kedekatan elite partai dan loyalitas partai (Un, 2013).

Pada pemilu terakhir tahun 2023, kemenangan CPP disebabkan oleh beberapa faktor seperti rencana kebijakan yang menarik, keberhasilan dalam ekonomi, pembatasan partai oposisi, kontrol terhadap media, manipulasi suara, dan penetapan revisi Undang-Undang (UU) yang menyebabkan CPP makin sulit untuk dikalahkan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kemenangan CPP pada pemilu 2023, khususnya strategi yang diambil Hun Sen. Artikel ini juga menyoroti bagaimana CPP memanfaatkan dominasi kekuasaannya dalam mengontrol institusi negara, memobilisasi dukungan dari wilayah pedesaan, membungkam kelompok oposisi, dan dinasti politik yang dilakukan Hun Sen kepada Hun Manet pada pemilu 2023.

Artikel ini memiliki urgensi karena kekuasaan CPP di Kamboja tidak dapat dilepaskan dari dinamika kekuasaan yang melibatkan militer, birokrasi, dan masyarakat. Dengan menggunakan sistem demokrasi secara formal, tetapi dalam konteks sejarahnya proses dan hasil pemilu cenderung tidak mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, tulisan ini memberikan kontribusi terhadap kajian politik pemilu di Kamboja dengan menganalisis faktor kemenangan CPP pada pemilu 2023 serta menyoroti sejauh mana sistem demokrasi di Kamboja benar-benar dijalankan.


Kerangka Teori

Pembahasan rezim CPP dalam artikel ini dikaji menggunakan teori otoritarianisme kompetitif (competitive authoritarianism) milik Steven Levitsky dan Lucan A. Way. Setelah adanya transisi dari otoritarianisme klasik, Steven Levitsky dan Lucan A. Way mengklasifikasikan kategori ini menjadi otoritarianisme kompetitif, yaitu rezim politik yang memadukan praktik kekuasaan otoriter dengan prinsip demokrasi formal. Menurutnya, terdapat beberapa rezim yang cenderung stabil dengan bentuk rezim hibrida, yaitu gabungan antara elemen otoriter dengan demokratis (Levitsky & Way, 2002).

Ciri penting dari otoritarianisme kompetitif, misalnya, adanya ketimpangan struktur kekuasaan yang menghasilkan playing field antara pihak oposisi dengan penguasa. Terdapat beberapa ciri lainnya seperti elemen parlemen, pemilu, yudisial, dan media. Pertama, parlemen yang ada hanya dikuasai oleh partai penguasa. Kedua, pemilu yang berjalan dihadiri pihak oposisi tetapi penuh praktik manipulasi seperti intimidasi pihak lawan. Ketiga, yudisial yang cenderung dikontrol oleh penguasa dengan cara kooptasi salah satunya. Keempat, media hampir tidak memiliki ruang untuk mengkritisi pemerintah dengan cara kontrol kepemilikan dan gugatan hukum (Levitsky & Way, 2002).


Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menganalisis kemenangan CPP dalam pemilu 2023. Pendekatan ini dipilih karena mampu menggambarkan secara mendalam strategi politik, relasi kekuasaan, serta dinamika sosial-politik yang memengaruhi dominasi CPP. Fokus utama penelitian ini adalah menggali bagaimana strategi Hun Sen dan struktur kekuasaan negara dimobilisasi untuk mengamankan kemenangan elektoral, bukan hanya dari sisi institusional tetapi juga dari aspek sosiopolitik dan ekonomi. Literatur yang digunakan juga mencakup karya ilmiah dari Hughes (2015), Seavmey (2023), Un (2013), Lawrence (2022), dan Cheang (2023) yang merupakan penulis aktif.

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan menelusuri berbagai sumber sekunder, termasuk laporan berita, artikel jurnal akademik, laporan lembaga internasional, serta publikasi resmi pemerintah dan partai politik. Data-data tersebut dikaji secara kritis untuk mengidentifikasi pola-pola dominasi politik, represi terhadap oposisi, serta penggunaan media dan birokrasi sebagai alat kekuasaan. Selain itu, data kuantitatif berupa hasil perolehan suara dan kursi dalam pemilu juga dijadikan pendukung untuk menguatkan temuan analisis. Analisis data dilakukan dengan metode content analysis terhadap isi dari sumber-sumber yang dikumpulkan.

Penelitian ini juga menggunakan kerangka teori otoritarianisme kompetitif milik Steven Levitsky dan Lucan A. Way untuk memahami bagaimana elemen otoriter dan demokratis di Kamboja berlangsung melalui pemilu, kesalahan pemanfaatan sumber daya, dan kebijakan partai penguasa. Penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan fakta-fakta empiris, tetapi juga mengkritisi relasi kuasa yang membentuk sistem politik Kamboja pascaPerjanjian Perdamaian Paris 1991.


Pembahasan

1. Kemenangan CPP dalam Pemilu 2023

Pada tahun 2023 menjadi pelaksanaan pemilu ketujuh di Kamboja, dengan kemenangan kembali diraih oleh CPP. Hasil ini juga menjadikan kemenangan keenam bagi CPP dalam pelaksanaan pemilu semenjak 1998 dan kekuasaan Hun Sen sebagai Perdana Menteri (PM) selama hampir empat dekade. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 1, yang memperlihatkan hasil perolehan CPP pada pemilu 2023 di Kamboja.

Gambar 1. Hasil Perolehan Suara Pemilu Tahun 2023 di Kamboja. Sumber: Open Development Cambodia (2023)
Gambar 1. Hasil Perolehan Suara Pemilu Tahun 2023 di Kamboja. Sumber: Open Development Cambodia (2023)

Bersumber pada Gambar 1 di atas, menunjukkan bahwa CPP mendapatkan 6.398.311 suara dari 8.214.430 suara, dan mendapatkan 120 kursi dari 125 kursi. Sedangkan, Funcinpec hanya memperoleh 716.490 suara dan mendapatkan 5 kursi. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa CPP sangat mendominasi kekuasaan pemilu di Kamboja hingga saat ini. Berdasarkan gambar tersebut juga menjelaskan meskipun adanya beberapa partai baru yang tampil, tetapi tidak memiliki pengaruh signifikan untuk melawan partai lama seperti CPP dan Funcinpec.

Pembahasan yang tidak kalah menarik pada pemilu 2023 adalah adanya transisi kekuasaan dari Hun Sen kepada putranya Hun Manet yang merupakan seorang Kepala Angkatan Darat Kamboja. Hal ini menandai berakhirnya juga salah satu keyakinan sederhana Hun Sen, yaitu “negara itu membutuhkannya, dan karena itu, ia tidak pernah bisa pensiun” (Wee, 2023). Peristiwa langka tersebut juga menjadikan pengalaman sekali dalam seumur hidup bagi masyarakat Kamboja dalam menyaksikan perubahan politik.

Meskipun demikian, Hun Manet tidak menunjukkan dirinya sebagai sosok reformis, melainkan dalam beberapa kesempatan Hun Manet masih berada di bawah kontrol Hun Sen. Misalnya, dalam mengusulkan program menaikkan pajak di Kamboja yang menuai kemarahan rakyat Kamboja, dikabarkan bahwa adanya interaksi dengan Hun Sen untuk meminta agar membatalkan kebijakan tersebut dan kemudian diwujudkan oleh Hun Manet (Kurlantzick, 2023). Terdapat juga pernyataan dalam salah satu pidatonya, yang mengatakan bahwa pemilu 2023 berlangsung bebas, adil, dan kredibel. Pada faktanya, proses pemilu tersebut tidak berjalan demokratis seperti pembungkaman kelompok oposisi dan para petinggi oposisi yang diasingkan (Kurlantzick, 2023).

2. Pembersihan Kelompok Oposisi Menjelang Pemilu 2023

Kembali pada pemilu 2013, di mana dominasi CPP sempat tergoyah karena kehadiran partai oposisi Cambodia National Rescue Party (CNRP) yang merupakan penggabungan dari Sam Rainsy Party (SRP) dan Human Rights Party (HRP) pada tahun 2012. Partai yang diketuai oleh Sam Rainsy dan diwakili oleh Kem Sokha tersebut berhasil mendapatkan 55 kursi, yang mengakibatkan CPP mengalami penurunan sebanyak 22 kursi. Langkah tersebut berhasil dalam memberikan perlawanan, karena CNRP dengan slogan “change” menguasai empat wilayah perkotaan penting di Kamboja, yaitu Kampong Cham, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal.

Pascaperistiwa tersebut, CPP mencoba memperkuat dominasi kekuasaan dengan berbagai cara seperti mengasingkan petinggi kelompok oposisi dengan beberapa kasus. Pertama, pada tahun 2015, Sam Rainsy sebagai mantan Presiden CNRP terkena kasus penuduhan terhadap CPP dalam pemilu tahun 2013 (Suy, 2015). Politisi oposisi tersebut dijerat hukuman selama dua tahun penjara dan memilih untuk meninggalkan Kamboja pada November 2015 untuk menjauhi urusan politik. Sehingga Sam Rainsy juga memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Presiden CNRP saat itu, digantikan oleh Kem Sokha.

Setelah dua tahun menjabat sebagai Presiden CNRP, Kem Sokha menjadi korban berikutnya dalam langkah CPP untuk mengasingkan petinggi partai oposisi. Prapemilu tahun 2017, Kem Sokha didakwa bekerja sama dengan pihak asing yaitu Amerika Serikat untuk menjatuhkan kekuasaan Hun Sen. Kem Sokha didakwa Pasal 443 KUHP, sehingga berdasarkan dakwaan tersebut Kem Sokha dijatuhi hukuman 27 tahun penjara dan tidak boleh terlibat dalam dunia politik di Kamboja (Thul, 2023). Hal ini diperparah dengan keputusan Mahkamah Agung Kamboja yang membubarkan CNRP dengan tuduhan yang sama, yaitu ingin menjatuhkan Hun Sen (Liblib & Noy, 2023).

Strategi CPP dalam memenjarakan para petinggi partai oposisi untuk mempertahankan kekuasaannya adalah langkah yang berhasil. Hal ini berpengaruh terhadap hasil kemenangan besar bagi CPP pada pemilu 2018 dan 2023. Menjelang pemilu 2023, CPP kembali menerapkan strategi dengan melakukan beberapa perubahan atas Pasal 19, 92, 106, 119, 137, dan Pasal 3 dan 4 UU Konstitusi Tambahan yang bertujuan untuk melarang jabatan penting seperti PM dipegang oleh yang memiliki kewarganegaraan ganda (Lawrence, 2022). Dengan demikian, politisi oposisi seperti Sam Rainsy yang berkewarganegaraan Prancis dan Kamboja dipastikan tidak bisa menduduki posisi penting.

Menjelang pelaksanaan pemilu 2023, terdapat keputusan kontroversial yang dikeluarkan oleh National Election Committee (NEC) terhadap didiskualifikasinya Candlelight Party (CLP) sebagai partai oposisi. Menurut NEC, hal ini disebabkan oleh masalah teknis birokrasi yaitu hilangnya dokumen pendaftaran partai asli milik CLP (Liblib & Noy, 2023). Hal tersebut merupakan salah satu strategi CPP yang mengontrol NEC, untuk menolak permohonan partisipasi partai oposisi tersebut dalam pemilu 2023. Keputusan NEC juga dibantah oleh Kim Sour Pirith selaku Juru Bicara CLP, yang mengatakan bahwa CLP telah meminta salinan dokumen pendaftaran dari Kementerian Dalam Negeri. Akan tetapi, hal tersebut ditolak (Liblib & Noy, 2023).

Dengan jarak waktu kurang dari sebulan setelah dinyatakan partai CLP dilarang mengikuti kontestasi pemilu, Hun Sen melakukan perubahan UU pemilu dengan tujuan bagi yang mencalonkan diri pada pemilu mendatang harus memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, hal ini bertujuan untuk melemahkan oposisi, sehingga tidak bisa menyerukan masyarakat untuk tidak memilih (Cheang, 2023). Langkah mempersempit oposisi juga diperkuat dengan diadakannya denda sebesar 5 juta hingga 20 juta riel kepada pihak mana pun yang memobilisasi masyarakat untuk tidak memilih. Selain itu, terdapat juga denda bagi pihak mana pun yang bertindak kekerasan maupun memberikan ancaman kepada pejabat partai politik akan didiskualifikasi dari pencalonan pemilu selama lima tahun (Cheang, 2023). Perubahan ini juga disetujui oleh 111 anggota parlemen yang hadir dalam Majelis Nasional dan berasal dari CPP.

Tindakan otoriter yang dilakukan CPP tidak hanya mengarah pada partai oposisi maupun para petingginya, melainkan juga terhadap media yang menurut Hun Sen tidak sejalan dengan pemerintah. Beberapa bulan menjelang pemilu 2023, Voice of Democracy (VOD) yang menjadi media independen terakhir di Kamboja resmi ditutup oleh Hun Sen (Ng, 2023). Keputusan penutupan ini dikarenakan VOD telah memublikasikan berita di Facebook yang dianggap mengancam reputasi pemerintahan Hun Sen, dengan melibatkan Hun Manet sebagai putra dari Hun Sen. Sebenarnya VOD telah menyampaikan permohonan maaf kepada Hun Sen tetapi ditolak, sehingga polisi datang ke kantor VOD di Phnom Penh dengan membawa surat perintah pencabutan izin operasi (Ng, 2023).

Hal ini juga pernah terjadi serupa dengan adanya penutupan radio ‘Angkor Ratha’ pada tahun 2008, karena mempromosikan visi-misi pihak nonpemerintah tanpa izin pemerintah, sehingga lembaga penyiaran pemerintah menjelang pemilu mengatur siarannya untuk CPP sebanyak 84% (Krupanská & Livsey, 2008). Dalam lingkup media untuk mengontrol informasi, CPP kembali memperketat kebijakan National Internet Gateway, sehingga masyarakat pedesaan menjelang pemilu hanya memperoleh informasi yang menguntungkan rezim (UN Human Rights Office, 2022).

Tidak berhenti pada pembatasan oposisi di media, CPP juga melakukan strategi pengawasan untuk menghindari kehadiran oposisi di lingkungan akademik. CPP membangun kekuatan politik jangka panjang melalui organisasi pemuda bernama Union of Youth Federations of Cambodia (UYFC). UYFC, yang beroperasi secara luas di sekolah-sekolah dan universitas, memainkan peran sentral dalam pengawasan sosial, di mana anggotanya berfungsi sebagai “monitor kelas” yang mengawasi perilaku politik mahasiswa dan dosen (Chum, 2023). Sistem pengawasan ini menghasilkan iklim ketakutan dan mendorong budaya sensor diri, yang mempersempit ruang diskusi politik yang bebas bahkan di lingkungan akademik.

Sehingga langkah yang diambil oleh CPP untuk melakukan kontrol terhadap partai oposisi, politisi oposisi, NEC, aparat keamanan, UU, lingkungan akademik, dan media sangat berpengaruh terhadap kemenangan CPP dalam pemilu 2023. Kolaborasi antara institusi negara dengan Hun Sen menjadikan CPP sangat dominan dan tidak tersentuh hingga berakhirnya pemilu tersebut. Dengan itu, Hun Sen dijuluki “Samdech Techo Hun Sen” yang berarti “Yang Sangat Terhormat, Panglima Pejuang Hun Sen”.

3. Tekanan Pemilih di Wilayah Pedesaan oleh CPP

Manipulasi suara dalam pemilu 2023 berlangsung secara sistematis dan menyeluruh. Berbagai bentuk kecurangan seperti praktik ‘gerrymandering’ yang merancang pembagian distrik elektoral untuk menguntungkan CPP serta memerlemah basis pendukung oposisi (Chum, 2023). Selain itu, intimidasi terhadap pemilih menjadi taktik yang umum, dengan laporan tentang kehadiran aparat keamanan dan pejabat lokal di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal tersebut menciptakan tekanan sosial terhadap pemilih yang hendak mendukung partai lainnya.

Wilayah pedesaan menjadi penting untuk CPP, karena sejak 1998 partai penguasa tersebut belum pernah kalah di wilayah pedesaan. CPP juga melakukan mekanisme pembelian suara di mana bantuan sosial, hadiah tunai, atau fasilitas umum dijanjikan sebagai imbalan atas dukungan terhadap CPP (Comfrel, 2022). Hal ini memperparah ketidaksetaraan dalam kompetisi elektoral, mengingat masyarakat pedesaan yang rentan terhadap insentif ekonomi. Mereka yang dianggap mendukung oposisi berisiko mendapatkan diskriminasi atau bahkan penindasan administratif.

Tekanan sosial ini diperparah dengan keterlibatan kepala desa dan pejabat administratif lokal, yang hampir seluruhnya merupakan anggota atau afiliasi CPP. Aparat ini tidak hanya menyampaikan tekanan secara langsung kepada pemilih, tetapi juga bertindak sebagai mekanisme pengawasan informal terhadap perilaku politik warga (Springman et al., 2021). Dengan pendekatan ini, hak untuk memilih secara bebas menjadi hampir tidak mungkin dilakukan di sebagian besar wilayah pedesaan Kamboja.

4. Program Kebijakan Kampanye CPP sebagai Modal Kemenangan

Sebagai partai politik yang sudah lama berkuasa di Kamboja, langkah yang dilakukan CPP tidak hanya terkait sifat otoriter dalam perjalanan politiknya. Dalam rezim Hun Sen, membangun legitimasi dalam ekonomi juga dilakukan. Pada awal tahun 2000-an, pertumbuhan ekonomi secara perlahan meningkat 6% per tahun. Selain itu, CPP juga mengedepankan peningkatan investasi asing, pembangunan infrastruktur, dan penurunan tingkat kemiskinan untuk menjaga citra positif pemerintah di masyarakat. Pembangunan ekonomi menjadi syarat untuk menekankan stabilitas keamanan nasional dan politik, sehingga masyarakat cenderung memilih ekonomi ketimbang preferensi politiknya (Vu, 2017).

Dalam salah satu kesempatan menjelang pemilu 2023, tepatnya pada kampanye pemilu dan memperingati hari terbentuknya CPP ke-72, Hun Sen menyampaikan beberapa kebijakan politik maupun program prioritas yang mampu mewujudkan visi Kamboja sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas pada tahun 2030 dan negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2050 (AKP Phnom Penh, 2023). Dengan rasa optimis, Hun Sen menyampaikan bahwa CPP akan melaksanakan beberapa program efektif dalam melindungi keamanan dan kedamaian serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Program pertama adalah berfokus pada pelayanan publik dengan mengedepankan transparansi, kemudahan, dan keandalan. Seperti pemberian layanan gratis untuk pendaftaran pernikahan, kematian dan kelahiran, buku keluarga, serta kartu identitas Khmer. Program kedua adalah berfokus pada penghapusan pajak bagi para pedagang di seluruh pasar yang hak kepemilikan lahannya diakui. Program ketiga adalah berfokus pada keamanan di wilayah pedesaan, seperti pembangunan infrastruktur jalan, memastikan adanya ketersediaan listrik, serta terus meningkatkan layanan telekomunikasi di wilayah pedesaan (AKP Phnom Penh, 2023).

Selanjutnya, program keempat adalah berfokus pada pelayanan kesehatan yang mengedepankan kualitas adil, efektif, aman, dan berkualitas. Program tersebut juga berencana untuk meningkatkan pembangunan sekolah dasar di wilayah pedesaan, dan meningkatkan kualitas sekolah menengah atas di wilayah perkotaan. Program kelima adalah berfokus pada peningkatan kesejahteraan pekerja seperti kenaikan gaji untuk pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata, serta melanjutkan program bantuan tunai untuk masyarakat miskin dan perempuan hamil (AKP Phnom Penh, 2023).

Mengetahui kelima program yang ditawarkan oleh CPP dalam beberapa tahun ke depan, hal tersebut berhasil mencuri perhatian masyarakat Kamboja untuk kembali mempercayai partai penguasa tersebut. Misalnya, Chan Thim, seorang mahasiswa hukum di National University of Management (NUM), menurutnya dari 18 partai yang tampil pada pemilu 2023, tetap CPP yang paling menarik perhatian karena mengangkat program ‘Satu Desa, Satu Sekolah Negeri’ (Minea, 2023). Sebagai mahasiswa, menurutnya pendidikan adalah segalanya. Jika tidak ada pendidikan, maka tidak ada pembangunan.

Permasalahan ini juga dirasakan oleh sekelompok mahasiswa dari University of Health Sciences, yang mengatakan bahwa CPP sering memulai banyak proyek cerdas untuk kepentingan bangsa. Bagi mereka, CPP telah menghadirkan rasa kedamaian (Minea, 2023). Selanjutnya, hal ini juga dirasakan oleh seorang pedagang di Phnom Penh yang bernama Ka Chan. Menurut Ka Chan, kebijakan CPP sangat menarik dan ia hanya mempercayai para petinggi CPP dalam konteks politik karena mereka patuh pada janji-janji yang diberikan, seperti Hun Sen sebagai PM dan Sar Kheng sebagai Menteri Dalam Negeri (Minea, 2023).

Penjelasan mengenai kebijakan politik maupun program prioritas yang disampaikan oleh CPP menjelang pemilu 2023 berpengaruh terhadap preferensi pemilih masyarakat Kamboja. Meskipun dalam proses politiknya cenderung otoriter dan membatasi kebebasan pers, tetapi bagi masyarakat Kamboja partai penguasa dan kepemimpinan Hun Sen tersebut memiliki daya tarik sendiri sehingga terus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian, rencana kebijakan CPP mengarah pada hal yang positif dan tepat sasaran bagi kondisi masyarakat pedesaan maupun perkotaan di Kamboja.


Kesimpulan

Kemenangan CPP dalam Pemilu 2023 tidak dapat dilepaskan dari strategi politik yang sistematis untuk mempertahankan dominasinya. Pembersihan kelompok oposisi menjelang pemilu, termasuk kriminalisasi dan pengasingan tokoh-tokoh penting seperti Sam Rainsy dan Kem Sokha, serta pembubaran partai oposisi, secara efektif menghilangkan kompetisi politik yang berarti. CPP juga melakukan strategi di wilayah pedesaan untuk memberikan tekanan sosial melalui kontrol aparat desa dan keamanan.

Faktor kemenangan besar CPP juga tidak lepas dari keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas akses infrastruktur, memperbaiki pelayanan publik, dan menawarkan program-program yang menarik bagi masyarakat, terutama di wilayah pedesaan yang rentan. Dukungan ini menunjukkan bahwa di tengah pembungkaman oposisi dan keterbatasan kebebasan politik, banyak warga tetap memandang stabilitas ekonomi dan keamanan sebagai prioritas utama.

Artikel ini menunjukkan bahwa keberlangsungan demokrasi di Kamboja hanya sebatas prosedural. Melalui kacamata teori otoritarianisme kompetitif, fenomena ini menunjukkan meskipun demokrasi di Kamboja tetap hadir seperti parlemen dan pemilu, tetapi substansi demokrasi tidak benar-benar hadir, karena kompetisi politik berlangsung tidak setara. CPP cenderung mengelola ketegangan antara otoritarianisme dan demokrasi formal melalui manipulasi suara, kontrol media, pengawasan lingkungan akademik, kontrol pihak oposisi, dan kontrol terhadap institusi negara/

Daftar Referensi
Citation is loading...
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ringkasan Komentar

Belum ada ringkasan komentar. Klik tombol untuk melihat garis besar diskusi.