Dalam sejarah panjang filsafat Barat, pertanyaan tentang “Ada” selalu menghantui kesadaran manusia. Sejak Parmenides mengucapkan kalimat yang mengguncang dunia “Yang Ada adalah, dan yang tidak Ada tidak adalah”, filsafat bergulat dengan misteri keberadaan itu sendiri. Seiring waktu, perbincangan tentang “Ada” tergantikan oleh perhatian terhadap pengetahuan, bahasa, dan representasi.
Dunia modern yang dikonstruksi melalui rasionalitas dan sains menjadikan manusia bukan lagi pengada yang terbuka terhadap misteri keberadaan, melainkan subjek yang menundukkan dunia menjadi objek pengamatan. Di sinilah Martin Heidegger hadir, tidak sekadar sebagai seorang filsuf yang mengajukan teori baru, tetapi sebagai seorang penanya yang menggugat dasar cara berpikir manusia modern.
Melalui karya-karyanya, terutama Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Heidegger mengajak kita untuk kembali mempertimbangkan kesadaran, bukan sebagai proses mental atau kognitif semata, melainkan sebagai keterbukaan terhadap “Ada” sesuatu yang melampaui sekadar berpikir tentang objek-objek dunia.
Heidegger melihat bahwa sejak Descartes, filsafat terjebak dalam apa yang disebutnya sebagai metafisika subjek-objek. Descartes, dengan ungkapan terkenalnya cogito ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”), menempatkan kesadaran berpikir sebagai dasar segala pengetahuan dan eksistensi.
Dunia menjadi sesuatu yang harus dipastikan keberadaannya melalui representasi dalam pikiran. Subjek berpikir, yaitu manusia, menjadi pusat dari segala makna, dan realitas di luar dirinya hanya sah sejauh ia bisa dipahami, dihitung, dan dikalkulasi.
Dalam kerangka ini, manusia modern kehilangan cara asali dalam mengalami dunia; ia tidak lagi tinggal di dunia (being-in-the-world), melainkan berdiri di luar dunia, memandangnya sebagai kumpulan benda yang bisa dikuasai. Kesadaran pun dipersempit menjadi aktivitas intelektual, seolah segala sesuatu yang ada hanya berarti sejauh dapat dipikirkan atau diukur.
Bagi Heidegger, inilah bentuk keterasingan yang paling mendasar. Manusia terasing bukan karena ia kehilangan nilai atau makna, melainkan karena ia telah melupakan pertanyaan tentang “Ada” itu sendiri (die Seinsfrage), pertanyaan yang menanyakan apa makna “menjadi”.
Dalam pandangan Heidegger, sebelum manusia menjadi subjek yang berpikir, ia terlebih dahulu adalah Dasein pengada yang “berada-di-dunia” (In-der-Welt-sein). Istilah ini bukan sekadar menyatakan bahwa manusia hidup di dunia secara fisik, tetapi bahwa keberadaan manusia selalu terjalin dalam jaringan makna, hubungan, dan keterlibatan praktis dengan dunia sekitarnya.
Dasein tidak memandang dunia dari luar; ia hidup di dalamnya, berinteraksi dengannya, dan memaknainya melalui keberadaannya sendiri. Dunia bukanlah kumpulan benda netral, melainkan “ruang makna” tempat segala sesuatu hadir bagi Dasein.
Kesadaran, dengan demikian, bukanlah layar mental tempat dunia diproyeksikan, melainkan cara keberadaan itu sendiri. Heidegger menggeser makna kesadaran dari sesuatu yang “di dalam” diri menuju sesuatu yang “terbuka” terhadap dunia. Dalam keterbukaan ini, Dasein tidak sekadar menyadari benda-benda, tetapi juga mengalami dirinya sebagai bagian dari keseluruhan yang bermakna.
Ia sadar bukan karena ia berpikir tentang dirinya, melainkan karena ia sudah selalu berada dalam keterhubungan dengan sesuatu yang lebih luas darinya. Heidegger menyebut keadaan ini sebagai Befindlichkeit, kondisi di mana manusia “menemukan dirinya berada” di dunia, dalam suasana, emosi, dan situasi tertentu. Kesadaran selalu bersifat situasional; ia tidak netral dan tidak bebas nilai, tetapi selalu terwarnai oleh “cara berada” manusia di dunia.
Dalam kerangka ini, berpikir tidak lagi berarti aktivitas rasional yang memisahkan diri dari dunia, tetapi sebuah cara untuk menanggapi panggilan Ada. Heidegger sering mengutip pepatah Yunani kuno bahwa berpikir sejati adalah “berterima kasih kepada Ada” (Denken ist Danken).
Berpikir bukanlah menundukkan realitas dalam konsep-konsep, melainkan mendengarkan, membiarkan yang ada menyingkapkan dirinya. Dengan demikian, berpikir sejati adalah tindakan kerendahan hati ontologis: bukan dominasi, tetapi keterbukaan. Dalam pengertian ini, Heidegger mencoba mengembalikan martabat kesadaran, bukan sebagai pusat kontrol, melainkan sebagai ruang penerimaan.
Pandangan ini memiliki implikasi besar terhadap cara kita memandang diri sendiri dan dunia. Manusia modern, yang dibesarkan dalam tradisi sains dan teknologi, terbiasa menganggap dunia sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan. Teknologi, bagi Heidegger, bukan hanya sekumpulan alat, tetapi cara berpikir yang khas, cara yang mengubah segala sesuatu, termasuk manusia, menjadi sumber daya (Bestand).
Dalam dunia teknologi, gunung bukan lagi pemandangan yang agung, melainkan lokasi potensial untuk tambang; sungai bukan lagi keindahan yang mengalir, melainkan energi yang dapat dikonversi; bahkan manusia sendiri tidak lagi dipandang sebagai pengada, melainkan “sumber daya manusia”.
Dalam dunia yang demikian, kesadaran menjadi kalkulatif, fungsional, dan kehilangan kedalaman eksistensialnya. Kita hidup dalam zaman yang penuh informasi tetapi miskin pemahaman; kita mengetahui banyak hal, tetapi jarang sekali “mengalami” sesuatu secara mendalam.
Heidegger tidak menolak teknologi atau rasionalitas secara mutlak. Ia hanya mengingatkan bahwa cara berpikir teknologis (das Gestell) telah membatasi horizon kita terhadap makna Ada. Dalam kerangka ini, segala sesuatu hanya berarti sejauh ia bisa digunakan, dimanfaatkan, atau dioptimalkan. Manusia menjadi pengelola dari sistem yang tanpa henti menuntut efisiensi, produktivitas, dan kontrol.
Di balik semua itu, sesuatu yang lebih mendasar terlupakan, yaitu keajaiban bahwa sesuatu ada sama sekali. Heidegger mengajak kita untuk berhenti sejenak, menarik diri dari hiruk-pikuk representasi dan kalkulasi, dan menatap dunia bukan sebagai objek, tetapi sebagai kehadiran yang memberi. Ia ingin agar manusia kembali mendiami dunia, bukan sekadar menggunakannya.
Kesadaran yang dipertimbangkan kembali dengan cara Heidegger adalah kesadaran yang bersifat puitis. Ia tidak menyingkirkan rasionalitas, tetapi mengembalikannya ke akar eksistensialnya. Puitis bukan berarti sentimental atau romantis, melainkan cara berada yang membiarkan sesuatu tampil dalam keunikannya sendiri tanpa segera dikurung dalam kategori.
Heidegger sering mengutip penyair Hölderlin, yang mengatakan bahwa “manusia tinggal secara puitis di bumi ini”. Bagi Heidegger, kepuitisan bukan sekadar aktivitas sastra, tetapi sikap ontologis terhadap dunia; sebuah keterbukaan terhadap misteri. Dunia tidak pernah sepenuhnya transparan bagi pemikiran; selalu ada sesuatu yang tidak dapat direduksi menjadi konsep.
Di sinilah kesadaran menemukan kedalaman sejatinya: dalam pengakuan bahwa kita tidak pernah sepenuhnya menguasai atau memahami dunia, melainkan selalu berada dalam relasi dengan sesuatu yang melampaui kita.
Dengan cara ini, Heidegger juga menantang pandangan tradisional tentang diri. Diri, dalam pandangan modern, sering dianggap sebagai inti yang tetap dan otonom, sebagai “aku” yang terpisah dari dunia. Heidegger menunjukkan bahwa diri tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu “dilemparkan” (Geworfenheit) ke dalam situasi tertentu yang tidak dipilihnya.
Kita lahir di waktu, tempat, dan kondisi yang sudah ada sebelumnya. Kesadaran kita tumbuh dari interaksi dengan dunia dan orang lain. Dengan demikian, identitas bukanlah sesuatu yang diberikan dari awal, tetapi sesuatu yang terus-menerus dipraktikkan melalui cara kita hidup. Kita bukan pengamat pasif terhadap dunia, melainkan peserta aktif dalam penyingkapan makna.
Dalam keterlemparan itu, manusia menemukan kemungkinan (Entwurf), proyek keberadaan yang terbuka. Kita tidak hanya ditentukan oleh kondisi, tetapi juga memiliki kebebasan untuk menanggapi, memilih, dan menafsirkan. Kesadaran bukan cermin yang memantulkan dunia, tetapi jendela yang dapat dibuka ke berbagai arah.
Heidegger melihat kebebasan bukan sebagai kemampuan untuk melakukan apa saja, melainkan sebagai kesanggupan untuk membuka diri terhadap Ada, untuk menanggapi panggilan keberadaan yang selalu baru. Dalam arti ini, kesadaran adalah dinamika antara keterlemparan dan keterbukaan antara fakta bahwa kita sudah berada di dunia tertentu dan kemungkinan untuk menafsirkannya secara baru.
Melalui kerangka ini, Heidegger mengundang kita untuk membingkai ulang relasi kita dengan dunia dan diri. Ia tidak memberikan teori moral atau politik, tetapi tawaran ontologis: agar manusia kembali sadar bahwa eksistensinya bukan sekadar urusan berpikir atau berproduksi, melainkan peristiwa keterbukaan terhadap makna.
Dunia bukanlah panggung yang netral, tetapi rumah tempat kita tinggal bersama yang lain, tempat di mana Ada menyingkapkan dirinya. Ketika kesadaran direduksi menjadi kalkulasi, kita kehilangan kemampuan untuk “tinggal” di dunia; kita hidup di permukaan, bergerak dari satu representasi ke representasi lain tanpa benar-benar hadir. Jika kesadaran dipahami sebagai keterbukaan, maka hidup menjadi peristiwa mendengarkan dunia, mendengarkan diri, dan mendengarkan yang tak terkatakan.
Heidegger menyadari bahwa bahasa memainkan peran penting dalam hal ini. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan “rumah bagi Ada” (die Sprache ist das Haus des Seins). Melalui bahasa, dunia hadir bagi kita. Namun, bahasa yang telah direduksi menjadi instrumen fungsional, seperti bahasa teknologi atau birokrasi yang cenderung mengeringkan makna.
Ia hanya menunjuk, menghitung, dan memerintah, tanpa benar-benar menyentuh kedalaman. Maka, berpikir puitis yang diusulkan Heidegger juga berarti memulihkan bahasa sebagai tempat tinggal makna. Dengan berbicara secara puitis, manusia tidak sekadar menyebut benda-benda, tetapi membiarkan keberadaan mereka tampil dalam ketersingkapan yang jernih. Bahasa, dalam arti ini, bukan lagi milik manusia, melainkan jalan di mana Ada berbicara melalui manusia.
Proyek Heidegger bukanlah usaha intelektual semata, melainkan panggilan untuk mengubah cara berada manusia di dunia. Ia mengajak kita keluar dari keterlenaan metafisika yang menempatkan manusia sebagai penguasa realitas, menuju cara berada yang lebih rendah hati dan terbuka.
Kesadaran, bagi Heidegger, bukan pusat dari semesta, melainkan cahaya kecil yang memungkinkan semesta menampakkan dirinya. Dalam cahaya itu, manusia tidak lagi terpisah dari dunia, melainkan menjadi bagian dari peristiwa penyingkapan yang terus berlangsung. Dalam hidup sehari-hari, saat kita menatap langit sore, mendengarkan desir angin, atau berbincang dengan sesama, Ada berbicara, jika kita mau mendengarkan.
Heidegger mengakhiri banyak tulisannya dengan nada meditatif, seolah berpikir itu sendiri harus beralih menjadi keheningan. Di hadapan misteri keberadaan, kata-kata akhirnya menemukan batasnya. Mungkin di sinilah letak kebijaksanaan terdalam dari pembingkaian ulang Heidegger: bahwa kesadaran sejati bukanlah tentang mengetahui, tetapi tentang menjadi bersama bersama dunia, bersama yang lain, bersama misteri yang tak pernah tuntas.
Di antara Ada dan berpikir, manusia menemukan tempatnya kembali: bukan sebagai penguasa realitas, melainkan sebagai penjaga kehadiran, yang menunggu, mendengar, dan bersyukur atas kenyataan bahwa sesuatu, entah bagaimana, Ada.