Senja bergulir, mendung menggelayut. Di ufuk barat, sesekali petir merobek awan. Tanpa guntur. Satu per satu, pengunjung pantai Ujung Batu meninggalkan objek wisata yang tidak terlalu ramai itu.
“Yok, kita cabut. Sebentar lagi Magrib!” Ajak Nyoman sambil telapak tangan kirinya menggenggam telapak tangan Anjani, membantunya gadis itu berdiri.
“Yah …. Padahal baru … setengah jam kita di sini.” Gadis itu berdiri perlahan, enggan. Namun, tidak menolak ajakan Nyoman. Selain menjelang Magrib, tampaknya hujan juga akan turun.
Seperti hari-hari sebelumnya, arus lalu-lintas pada senja hari di Kota Padang macet. Tentang peningkatan kemacetan lalu-lintas, pernah kepala daerah provinsi ini menyatakan, “Kemacetan itu pertanda naiknya tingkat kemakmuran. Sebab, semakin banyak masyarakat di daerah ini yang mampu memiliki kendaraan bermotor!” Suatu pernyataan, yang kata anak muda, amat membagongkan. Apa lagi bila disandingkan dengan ungkapan, “Ketertiban masyarakat suatu kota/daerah tercermin dari ketertiban lalu-lintasnya.”
Anjani memahami perasaan Nyoman ketika terjebak dalam kemacetan arus lalu-lintas. Cenderung uring-uringan. Bukan karena kemacetannya, tapi, menurut Nyoman adalah gaya dan sikap banyak pengendara di kota ini yang gaje, kagak jelas. Kendaraan lambat, tapi ambil jalur kanan, atau mengangkangi markah jalan, atau sein kiri jalan terus malah justru belok kanan. Banyak pengendara melawan arus, pemotor tidak pakai helm, aksesori motor tidak ada atau tidak aktif misalnya lampu rem, spion, dan knalpot tidak standar. Mungkin, ungkapan filosofis jeblog, “Guna peraturan, kan untuk dilanggar” benar-benar merasuk di kalangan orang-orang seperti itu.
Lokasi rumah yang dituju sudah dekat, di Purus. Rumah keluarga etek Anjani namun Nyoman tidak tahu tentang itu. Dalam anggapannya, itu rumah keluarga Anjani.
Menjelang simpang terakhir, gerimis menebar tipis. Nyoman dengan hari-hati mengendarai motornya memboncengkan Anjani. Tiba-tiba, bertepatan Nyoman membelokkan motornya ke kiri, dari arah kiri muncul gerobak motor (getor, menurut istilah Nyoman) yang dipacu secara ugal-ugalan. Nyoman kaget, demikian halnya pengendara getor itu. Dengan sigap, Nyoman mengerem motornya, pengendara getor itu juga, dengan serabutan mengerem kendaraannya. Untunglah, tidak terjadi kejadian fatal. Hanya senggolan. Namun, tak urung motor Nyoman jatuh, juga Anjani. Nyoman dan Anjani tertatih bangkit berdiri. Dari sudut matanya, Anjani melihat Nyoman bangkit lalu mengejar pengendara getor yang tidak bertanggung jawab itu. Namun, upaya Nyoman tak ada gunanya. Pengendara getor itu malah ngakak tertawa dan kembali memacu kendaraannya.
“Benar, kan? Makhluk paling brengsek di kota ini ya itu, pengendara getor. Makhluk terkutuk. Lihat, yang tadi ….”. Wajah Nyoman merah padam menahan amarah. Anjani mengangguk-angguk seraya mengangkat, lalu menggerak-gerakkan telapak tangan kanannya, meredakan emosi Nyoman sekaligus memberi isyarat bahwa dirinya sudah paham tentang hal itu. Tentunya, Nyoman tidak tahu bahwa Anjani memendam perasaan mendesak, marah sekaligus malu. Campur-aduk. Nyoman tidak mengetahui hal itu.
Tidak seperti sebelumnya, Anjani melarang Nyoman mengantarnya sampai ke rumah. Menurut Anjani, tanggung, sudah saat Magrib. Hanya sampai di depan pagar. Setelah bersalaman, Nyoman pun pergi. Tentunya, pulang.
Malam Minggu, malam panjang. Benar-benar terasa panjang secara harfiah dalam batin dan pikiran Anjani. Nyoman tidak bisa datang malam ini karena ada acara dengan keluarga, yaitu megebagan. Menurut Nyoman, acara megebagan identik dengan takziah di rumah duka, di rumah orang sekampung dengan keluarga Nyoman yang juga tinggal di Padang.
Benar-benar malam yang panjang. Sudah lewat tengah malam. Namun, Anjani belum bisa berbaring memicingkan matanya untuk tidur. Rumah cukup besar dan mewah ini sudah senyap, penghuni yang hanya tiga orang sudah lelap, kecuali Anjani. Ingatannya kembali melayang menerawang kenangan pertemuan dan persahabatan dirinya dengan Nyoman. Rekan-rekan sekampus memberi label bahwa hubungan antara dirinya dengan Nyoman bukan sekadar persahabatan tetapi sudah pacaran.
Pertemuan dirinya dengan Nyoman disebabkan oleh salah-duga. Nyoman menduga dirinya berasal dari keluarga Bali. Saat itu, satu setengah tahun yang lalu, ada Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Daerah (Peksimida), di ISI Padangpanjang. Ia memilih tangkai lomba penulisan naskah lakon, sedangkan Nyoman melukis. Aneh, memang. Ia kuliah di prodi ekonomi, sedangkan Nyoman hukum. Tapi, itulah hobi.
Saat itu, jelang lomba dimulai, Anjani dan dua orang rekannya sedang berada di kafe ISI. Sekadar minum teh panas dan panganan ringan. Seorang perempuan, Tifany, masuk ke dalam kafe dan memanggilnya dengan suara cukup lantang, “Hai, Anjani …. Aku join ya!” Biasa, Tifani, peserta tangkai lomba baca puisi orangnya memang periang. Kiranya, teriakan itu menarik perhatian seorang pemuda, Nyoman, yang juga sedang berada di kafe tersebut. Pemuda itu memandangi dirinya penuh selidik. Anjani merasa agak jengah.
Senja hari, lomba pun usai. Anjani dan rombongan menunggu bus kampus untuk kembali ke Padang. Saat itu, saat Anjani sedang memisahkan diri untuk menerima telepon dari Etek. Baru saja mengakhiri telefon, Nyoman menghampirinya.
“Maaf, Mbak. Boleh kenalan? Aku Nyoman, dari tangkai lomba melukis. Mbak, Anjani, kan?” Seraya nyerocos, Nyoman mengulurkan tangan meminta bersalaman.
Anjani agak kaget. Sejurus, ia ingat bahwa pemuda ini yang tadi pagi memandangi dirinya dengan penuh selidik. Namun, ia pun menyambut uluran tangan Nyoman.
“Iya, Bang. Aku Anjani, dari tangkai lomba penulisan naskah lakon”. Anjani agak enggan namun dalam hatinya memuji keberanian dan kejantanan pemuda gagah itu. Santun lagi.
“Iya, sudah Aku selidiki lho. Tapi, maaf, boleh bertanya? Mbak berasal dari Bali?” Tatapan Nyoman penuh rasa ingin tahu yang justru membuat Anjani merasa geli.
“Enggak, Bang. Aku asli Padang. Namaku Anjani Putri Rahmi. Bidan yang menolong kelahiranku mungkin orang Bali. Ibu ngefans. Diambilnya potongan nama bidan itu jadi pangkal namaku.” Anjani heran. Kok, bisa selancar itu ia ngomong dengan pemuda yang baru ia kenal?
Nyoman tertawa renyah sambil kembali meminta maaf dan melambaikan tangan, berlari kecil ke rombongannya. Hanya sampai di situ pertemuan Anjani dan Nyoman.
Pertemuan berikutnya, di Jakarta. Di UNJ. Saat Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS). Aneh. Padahal mereka satu tim plus menaiki pesawat yang sama. Ternyata, setelah di Jakarta, Anjani baru tahu bahwa Nyoman terlambat datang ke BIM saat keberangkatan tim dari Padang.
Tim dari Sumatera Barat ditempatkan pada dua mes berdampingan. Saat itulah, mereka memiliki banyak kesempatan untuk berkomunikasi. Termasuk saat kepulangan tim ke Padang. Baik Anjani maupun Nyoman sama-sama meraih predikat yang sama pada pekan seni itu. Hanya juara harapan.
“Apakah Abang meyakini adanya reinkarnasi?” Perkataan itu meluncur begitu saja, pada saat mereka menikmati malam Minggu di Taman Budaya Padang. Anjani tiba-tiba merasa kikuk. Khawatir, Nyoman tersinggung atas pertanyaan itu.
“Ya, tentu. Kami meyakini bahwa kelahiran dan kematian itu suatu siklus. Sama dengan keyakinan umat Hindu di India ….” Jawab Nyoman yang langsung dipotong Anjani, merasa dirinya mendapat angin dan Nyoman tidak tersinggung atas pertanyaannya.
“Jadi, agama Hindu di Bali itu sama dengan Hindu India?” Tanya Anjani dengan kening berkerut menandakan kejujuran atas ketidaktahuannya.
“Ya, beda. Memang, kitab suci, akar kami sama. Weda. Namun ritual keagamaan Hindu Bali agak berbeda meskipun ada yang sama dengan ritual umat Hindu India. Tapi, tentang itu tidak mungkin Abang jelaskan. Nanti, Adek malah tambah bingung.”
“Kok, bisa beda?” Tanya Anjani keheranan.
“Iya. Beda. Leluhur kami meyakini bahwa agama juga ditentukan oleh kondisi geografis serta sosial budaya. Termasuk nilai-nilai luhur kami sebelum ajaran Hindu itu berkembang di Bali. Jadi, ada enkulturasi nilai-nilai tradisi dengan agama.” Nyoman, tampaknya menguasai konsep-konsep spiritual, religi, sosiologi, dan antropologi masyarakat Bali. Maklum, ia mahasiswa fakultas hukum yang saat itu hanya menunggu saat wisuda. Sebaliknya, Anjani baru memasuki semester ke lima.
Anjani mengangguk-angguk. Terlintas dalam pikirannya, enkulturasi antara sosio-geografis plus antropologis inilah yang dijadikan dasar pemikiran bagi beberapa orang untuk menumbuhkembangkan Islam Nusantara. Ia ingin melanjutkan pertanyaan, tapi Nyoman mengangkat tangan kanan dan menggoyang-goyangkannya. Isyarat untuk menghentikan topik pembicaraan yang terlalu berat pada malam itu. Memang, pada awal kedekatan mereka, sudah ada kesepakatan agar perbedaan agama jangan sampai memicu perdebatan. Tidak mungkin akan ada titik temunya.
“Tidak akan ada titik temunya …. Agama, keyakinan kita beda” Desah Anjani malam itu. Makin larut. Sudah lewat pukul satu. Ya, tidak akan ada. Apa lagi, jika Anjani merenungi siapa dirinya. Anak dari keluarga miskin sehingga ia dititipkan sejak kecil kepada etek, adik perempuan ibu Anjani yang kebetulan tidak dikaruniai keturunan. Bukan masalah kemiskinan yang mengganggu pikiran dan perasaan Anjani. Masalah pekerjaan orang tuanya. Bapaknya hanya buruh pengangkutan barang untuk menafkahi istri dan tiga orang adik Anjani. Satu-satu kendaraan yang dimilikinya adalah getor. Malahan, ibunya juga terampil mengendarai getor, menggantikan suaminya jika suaminya itu kurang sehat. Tergambar dalam ingatan Anjani, kondisi sepeda motor yang dijadikan getor itu memprihatinkan, tidak layak pakai, persis sama dengan apa yang pernah diomongkan Nyoman. Nyoman, pembenci bahkan pengutuk pengendara getor di kota ini.
Getor di kota ini memang hampir selalu membuat Nyoman meradang. Seperti sore itu, ketika ia menjemput Anjani di kampus. Bawa mobil. Sebenarnya, bisa saja Nyoman setiap hari membawa mobil jika saja emosinya sanggup bertoleransi dengan kemacetan lalu-lintas di kota ini. Maklum, Nyoman memang berasal dari keluarga berada. Keberadaannya di Padang itu mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan dari Surabaya ke Padang. Kepala Pengadilan Tinggi. Sementara, dua orang kakaknya sudah bekerja di Jakarta dan Bali. Bulan depan, ayahnya juga akan dipindahkan ke Jakarta. Agak bertepatan waktunya dengan acara wisuda Nyoman. Konon, Nyoman akan melanjutkan kuliah, S2, di Unud, Universitas Udayana.
Saat itu, sore menjelang senja. Nyoman mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Alunan musik lembut dari perangkat audio mobilnya tidak mampu menghilangkan wajah tegangnya. Di depan Basko Grand Mall, kemacetan bertambah parah. Tiba-tiba, … brakkk …. Terdengar suara benturan cukup keras. Mobil Nyoman terguncang. Segera ia mengerem mobilnya, dan menyelidik melalui kaca spion. Lalu, ia membuka pintu mobil dan bergegas ke belakang. Anjani pun penasaran dan menolehkan kepalanya, menyelidik apa yang sebenarnya terjadi.
Anjani tercekat. Wajahnya menegang. Ternyata getor yang menabrak mobil Nyoman. Anjani memucat. Tampak, Nyoman sedang marah-marah membentak pengendara getor yang ketakutan dan berulang-ulang minta maaf. Beberapa orang berusaha menyabarkan Nyoman dan meminta agar Nyoman melanjutkan perjalanannya. Orang-orang berkerumun. Namun, di sela-sela kerumunan itu, Anjani melihat sosok pengendara getor. Ayahnya.
Nyoman kembali memasuki mobil. Nafasnya tersengal-sengal menahan marah. Tampaknya, ia sedang mengatur nafasnya, meredam emosi. Sejenak, kepalanya menekur, kedua tangannya berteletekan memegangi setir mobil. Sekitar setengah menit. Dengan masih agak gugup distrarternya mobil dan perlahan melaju.
“Hhhhh. Bajingan terkutuk. Selalu getor. Selalu getor celaka ….” Serangkaian ucapan kasar terlontar dari mulutnya. Anjani hanya menekur. Air mata menetes di kedua pipinya. Cepat-cepat ia seka dengan tisu. Hal itu tidak terperhatikan oleh Nyoman yang sedang kacau menghalau rasa marah.
Malam makin hening mengusap perih di hati Anjani. Iseng, Anjani menekan nomor telepon Nyoman. Tidak menunggu lama. Nyoman ternyata juga belum tidur. Setelah berbasa-basi, Anjani mohon agar Nyoman benar-benar mencermati apa yang akan diomongkan.
“Maaf, Bang. Yakinlah. Hubungan kita tidak akan ada titik temunya. Terlalu banyak perbedaan di antara kita. Lagi pula, bulan depan Abang sudah berangkat ke Bali”. Ucap Anjani pelan, agak tersendat.
“Maksud, Adek? Agama kita beda? Atau ….” Terdengar suara Nyoman, juga berat lambat yang langsung dipotong oleh Anjani.
“Bukan hanya itu. Maaf. Sebenarnya Adek tinggal di rumah etek, adik perempuan ibu yang tidak punya keturunan. Adek mereka asuh sejak balita karena keluarga Adek amat miskin. Lebih dari itu, ….” Perkataan Anjani segera dipotong Nyoman.
“Abang tidak pernah membeda-bedakan status. Tidak peduli kaya atau miskin. Yang kaya atau miskin itu kan orang tuanya. Itu bukan masalah. Abang tidak ….” Kembali Anjani memotong perkataan Nyoman.
“Tunggu. Tunggu. Ada yang penting Abang ketahui. Orang tua, bapak, bahkan ibu Adek ini … pengendara getor. Itulah satu-satunya cara orang tuaku menafkahi keluarga. Benar, Bang. Adek ini keturunan makhluk yang paling Abang benci. Adek keturunan makhluk terkutuk!” Anjani memberi penekanan khusus pada pernyataan terakhir. Sejenak senyap. Tidak ada tanggapan dari seberang, dari Nyoman.
“Maaf, ya Bang. Emh …. Besok sore tolong jemput Adek. Kita tuntaskan masalah ini besok. Ditunggu, pukul empat sore ya Bang. Maaf, terima kasih, salam”. Tanpa menunggu tanggapan Nyoman, Anjani menutup teleponnya. Bukan sekadar menutup, ia mematikan ponselnya.
Semilir getir hawa malam menggulir melewati batas tabir tengah malam. Banjir air mata di kedua kelopak matanya menderas, Anjani terkulai lunglai hingga malam pun usai.
2 comments
Waw keren….dengan adanya .siniar audio memudahkan kita untuk memahami cerpennya..👍💓
Cerita yang menyedihkan 🥹