Ali, Akal Imitasi, dan Guru Ilmu Gaib
Ali, Akal Imitasi, dan Guru Ilmu Gaib

Ali, Akal Imitasi, dan Guru Ilmu Gaib

0 Shares
0
0
0

Gerimis pada malam Minggu. Aku tersenyum sendiri. Entah mengapa ada rasa senang karena Bang Edi dan Bang Don sepertinya terkurung di rumah Kakek. Mereka membatalkan acaranya untuk kongkow-kongkow. Rencana itu Aku ketahui Sabtu siang, ketika Bang Edi meminta izin Ayah dan Ibu. Ternyata, sejak sore hari tadi hujan lebat. Menjelang Magrib teduh, namun gerimis kembali turun sesudah itu.

Sesudah Isya, Aku menuju ruang tengah. Setelah mengucapkan salam serta mencium punggung  tangan Kakek dan Nenek, Aku menghampiri Bang Edi dan Bang Don untuk menyalami mereka. Lalu, Aku letakkan gelas minuman, susu cokelat, di atas meja. Enggan, merepotkan Nenek terus. Tampaknya Bang Edi sedang sibuk memelototi laptop. Mungkin, ada tugas atau entah apa. Malahan, sejurus kemudian, Bang Edi minta izin ke ruang lain untuk melanjutkan kesibukannya. Beda dengan Bang Don, yang justru mematikan laptop dan menutupnya.

Seperti dikomando, Kakek dan Nenek menutup novel yang dibacanya seraya memasukkan kertas pembatas penanda halaman akhir yang telah dibaca. Sepertinya, Kakek dan Nenek juga ingin memberi tahu apa novel yang dibacanya. Kedua orang sesepuh ini memperlihatkan sampul novel yang dibacanya. Kedua-duanya karya John Grisham. Novel yang dibaca Kakek “Para Pelindung (The Guardians)” sedangkan Nenek “Pulau Camino (Camino Island)”. Jenis novel yang tidak kusukai karena ceritanya terlalu kompleks dan menyangkut kehidupan orang-orang dewasa. Aku lebih suka karya-karya Rick Riordan atau John Green. Ya. Membaca itu memang sangat menyenangkan.

“Kiriman dari Agil tiga hari lalu”, kata Kakek. Agil itu panggilan keluarga besar kami untuk adik ibuku. Mungkin, Agil itu diserap dari Bahasa Jawa, Ragil, yang artinya bungsu. Anak Kakek dan Nenek paling bungsu, alias adik ibuku. Bahkan, kami, para cucu Kakek dan Nenek juga memanggilnya dengan Agil, bukan mamak, om, atau paman. Agil bekerja di perusahaan asing, bidang pemroduksian barang-barang elektronik, di Jakarta.

“Nah. Kek, itu. Cucumu mau tanya tentang … tentang e-ay, itu artificial intelligence. Tadi, menjelang Magrib ngomong ke Nenek”, kata Nenek sambil mengarahkan pandangannya ke Kakek. 

Kakek mengerutkan dahi, “Oh. Tidak apa. Sebut saja AI. Kan, sudah dibahasaindonesiakan. Singkatan dari akal imitasi. Apanya yang mau Cu tanyakan tentang AI?” kata Kakek kepadaku.

“Bukan. Tunggu. Bukan itu. Itu mungkin nanti. Ini, Kek. Tadi Cu cerita ke Nenek tentang tugas dari guru Bahasa Indonesia. Itu, tiga hari lalu. Menulis teks berita ….” kataku yang langsung dipotong Bang Don.

“Ha. Ed-Jun pasti tidak pandai nulis berita ya. Walah …. Padahal guampang tu!” kata Bang Don dengan senyumnya yang khas. 

Seperti biasa, Bang Don memanggilku Ed-Jun. Edi Junior karena Aku adik Bang Edi, temannya juga.

Aku agak kesal. Apa lagi melihat senyum Bang Don yang sepertinya mencemooh. 

“Bukan! Tapi, … iya. Emhh … nilai tugas menulis berita Ali jelek. Sebab, bingung memahami perintah Pak Guru, ‘Tulislah berita tentang banjir’. Berita banjir apa yang mau Ali tulis? Tapi yang lebih membuat kesal itu, … kawan-kawan Ali nilai tugasnya bagus-bagus. Si Nov, Zal, Wim, juga Aprianto!” Kataku bernada ketus.

Tampaknya, Bang Don malah semakin bersemangat mencemooh. “Itu, tidak boleh. Tidak boleh kesal melihat nilai teman-teman lebih bagus. Sadari saja kemampuan kita. Kalau bingung nulis tentang banjir, tulis saja tentang banjir durian. Kan pernah, Ali mencari durian di kebun Om Ardipal? Berlimpah durian saat itu, kan? Asal jangan tentang banjir air mata!” Kata Bang Don yang membuat seisi ruangan tertawa. Kecuali Aku.

“Tapi, kan aneh! Masa, Nov nulis ‘Banjir di Jakarta’, Zal ‘Banjir di Kota Bogor’. Lebih hebat lagi, Aprianto. Beritanya tentang banjir di China. Terus, Wim. Beritanya tentang banjir di California. Kapan mereka ke Jakarta, Bogor, apa lagi China dan California?” Sergahku tidak puas.

“Tunggu. Tunggu. Kali ini Kakek memahami pemikiran dan perasaan Cu. Paham sekali. Tidak mungkin, berita itu dikarang-karang begitu saja. Berita kan tentang fakta, peristiwa yang luar biasa. Ya, tidak bisa kita karang-karang. Kakek jamin, kawan-kawan Cu itu pasti menconet dari internet. Iya, kan?” Tanya Kakek menoleh ke arahku.

“Iya. Benar. Benar, Kek. Padahal ada larangan membawa gawai ke dalam kelas. Tapi, kawan-kawan Ali itu sembunyi-sembunyi, membawa dan mengaktifkan gawai tanpa setahu Pak Guru.” Aku senang. Kakek membelaku. Tapi, kembali Aku merasa kesal mengingat nilai tugasku yang rendah.

“Lha. Pernah tu, Kakek menertawakan Nenek. Dulu. Dulu sekali. Waktu Nenek masih ngajar. Dua puluh, atau dua puluh lima tahun yang lalu, ya? Waktu itu, Nenek membawa pulang puisi-puisi karya siswa-siswa Nenek. Nenek perlihatkan ke Kakek, ada sekitar lima puisi yang menurut Nenek sangat bagus. Kakek pun kagum membaca puisi-puisi tersebut. Tapi, Agil. Ya Agil, saat itu SMP juga ikut membaca kemudian tertawa, menyatakan bahwa puisi-puisi itu ternyata syair lagu anak muda zaman itu!” Kata Nenek yang disambut tawa Kakek dan Bang Don. Aku hanya tersenyum. Masih agak kesal.

“Menurut Kakek, sekarang pun masih banyak guru yang seperti itu. Mereka itu, guru-guru ilmu gaib. Sim salabim. Abra kadabra. Langsung masuk fakta ke dalam kepala siswa!” Kata Kakek yang disambut tawa seisi ruangan. Apa lagi ketika Bang Don ikut nyeletuk, Dosen juga. Banyak dosen ilmu gaib.’  Kali ini, mungkin tawaku yang paling keras. Kena tembak,  Kakek. Kan, mantan dosen.

“Benar. Don ingat, waktu kelas 10 di SMA. Waktu itu, Bu Guru memberi tugas, ‘Tulislah biografi tentang tokoh terkenal. Boleh tentang tokoh nasional atau yang berasal dari darah ini!’ Ismail dapat nilai paling tinggi. Tulisannya, biografi tentang Bung Hatta. Tanpa setahu Bu Guru, ternyata Ismail menggunakan AI!  Tidak banyak orang yang tahu tentang AI pada saat itu. Ismail anak orang kaya, anak bungsu. Kakaknya yang mengajarinya pakai AI.” Tutur Bang Don sambil mengangguk-anggukan kepala.

“Tentu saja. Bukan Ismail yang salah. Bu Gurunya yang salah. Bagaimana mungkin siswa menulis biografi seseorang tanpa adanya data yang layak tentang tokoh tersebut? Ya, pasti searching di internet atau pakai AI! Guru-guru ilmu gaib ya pasti dikadalin para siswa menggunakan ilmu digital. Internet, atau AI.” Kata Kakek menimpali omongan Bang Don.

Rasa kesalku karena nilai tugas menulis berita sudah mulai hilang. Namun, masih ada yang mengganjal.

“Kek, Nek. Ada lagi yang sering membingungkan Ali. Itu, emh … tentang definisi. Maksud Ali, guru hampir selalu mengajarkan sesuatu dengan menjelaskan definisi. Misalnya, definisi tentang puisi, ‘Puisi adalah suatu karangan yang terikat.’ Ali bingung. Mana ikatan itu? Apa ada tali?” Tanyaku sambil bergantian memandangi Kakek dan Nenek. 

Nenek mengedipkan matanya ke arah Kakek. Kakek mengangguk. Namun, tidak segera memberikan penjelasan. Malahan menyisir rambutnya dengan kedua telapak tangannya. Tampaknya, sedang mencari kata-kata yang tepat.

“Maaf, ya Cu. Penjelasan tentang itu cukup panjang. Jangan sekarang. Kapan-kapan, ya. Malam ini, tentang hal yang tadi saja.” Kata Kakek sambil tersenyum memandangiku. Aku mengangguk. 

“Ok, Kek. Sekarang tentang AI. Mudah-mudahan, Ed-Jun juga memahami obrolan tentang AI. Apakah Kakek juga memanfaatkan AI?” Tanya Bang Don penuh selidik.

“Ya. Beberapa tahun belakangan ini Kakek selalu pakai AI. Apa lagi ketika menulis. Kakek pakai, tu!” Kata Kakek tanpa tedeng aling-aling

Bang Don agak kaget. Aku juga.

“Begini ya. Kakek pakai AI, misalnya mau menulis kata yang baku, yang benar, apakah ghaib atau gaib, salat atau shalat, dan sebagainya. Ketika menulis esai, Kakek juga melacak sumber referensi, konsep dasar suatu istilah, dan sebagainya itu pakai AI. Informasi awal itu Kakek tindaklanjuti, misalnya mencari referensi.” Jelas Kakek lebih lanjut.

“Kalau begitu, apakah siswa dan mahasiswa diperbolehkan pakai aplikasi berbasis AI, Kek?” Tanya Bang Don penuh rasa ingin tahu.

“Oh. Tentu. Bukan hanya diperbolehkan. Justru malah harus diajarkan. Ajarkanlah ke siswa yang sudah dewasa misalnya setingkat SMA dan mahasiswa bagaimana cara yang tepat memanfaatkan teknologi atau aplikasi berbasis AI. Tentu saja, para guru dan dosen juga harus up date pemahamannya dan keterampilannya memanfaatkan aplikasi berbasis AI. Tentang ini, sebenarnya Agil yang lebih paham. Nak Don, tentu harus tahu bahwa prompt input ketika memanfaatkan AI  itu sangat menentukan hasilnya. Tunggu ….” Kata Kakek menghentikan perkataannya, menjangkau gelas di depannya dan meneguk pelan minumannya.

“Begini ya. Langsung saja. Coba ketik di aplikasi AI, perintah seperti ‘Tulislah puisi tentang keindahan’, hasilnya akan berbeda jika kita ketik input perintah ‘Tolong, tuliskan puisi tentang keindahan alam di Pantai Padang pada waktu sunset’.  Jadi, orang yang pintar, akan lebih pintar jika memanfaatkan AI. Sebaliknya, orang yang bodoh, ya akan bertambah bodoh!” Kata Kakek sambil tersenyum arif.

“Jadi, boleh saja kita menyalin habis, meng-copas hasil kerja AI itu, Kek?” Tanya Bang Don.

“Nah. Itu dia. Tidak boleh. Dalam kasus tadi, tidak boleh. AI hanya alat bantu. Misalnya, kita baca, cermati apa keunggulan dan kelemahan puisi tadi, baru kita tulis semampu kita. Melakukan salin-rekat atau copas itu adalah penipuan. Berarti, pelaku itu menipu. Hayo, siapa yang ditipu?” Tanya Kakek sambil mengitarkan pandangannya.

Aku, dan sepertinya Bang Don juga, cukup bersemangat. Serentak menjawab, “Guru atau dosen!”

Kakek menggeleng-gelengkan kepala.

“Salah. Yang ditipu adalah diri-sendiri.  Si Pelaku yang sebenarnya tidak mampu, menyatakan dirinya mampu dengan cara copas. Plagiasi itu bodoh, konyol, sekaligus jahat. Ia menipu dirinya. Jahat terhadap dirinya sendiri. Nenek tahu, itu. Apa akibatnya, Nek?” Tanya Kakek memandangi Nenek. 

Nenek tersenyum, mengangguk-angguk sebelum menyatakan keyakinannya.

“Ya. Jika kita merasa bersalah karena telah menipu Tuhan, kita bisa bertobat. Tobat nasuha. Jika kita menyesal karena telah menipu orang lain, kita bisa minta maaf. Namun, jika kita menipu diri sendiri, apa lagi secara berkelanjutan, yakinlah akibatnya adalah penyesalan dan kebodohan.” Kata Nenek sambil mengedipkan matanya ke arahku. 

Aku paham. Hari ternyata sudah mulai larut.

“Ya, sudah malam. Ingat ya, kelak Nak Don …, juga Cu! Ketika menyelesaikan pendidikan, baik S1, S2 atau S3, sesudah itu mencari pekerjaan. Pasti akan dites. Ada serangkaian tes. Pada saat itulah, kita dituntut untuk mempertanggungjawabkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan jenjang pendidikan dan dunia kerja yang kita masuki. Yang pasti, pada saat tes, tidak ada peluang menggunakan aplikasi AI dan internet.” Kata Kakek sembari tersenyum kepadaku.

Aku bangkit dari tempat duduk, menyalami, dan mencium punggung tangan dua orang sesepuh yang sangat kuhormati dan segani. Sesudah menyalami Bang Don, Aku mengucapkan salam dan menuju kamar tidur.

Puji Syukur ya Tuhan. Terima kasih, ya Tuhan. Engkau telah mengaruniakan kepadaku, dua orang sesepuh yang luar biasa. Yang selalu menginspirasiku dan memberikan pencerahan.

Siniar Audio

3 comments
  1. Saya sangat setuju dengan pernyataan bahwa “plagiasi adalah penipuan terhadap diri sendiri”. Sebagai mahasiswi, saya merasa diingatkan untuk tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berintegritas. Cerita ini menjadi refleksi bahwa teknologi hanyalah alat, dan karakter kitalah yang menentukan bagaimana menggunakannya secara bijak. Sangat inspiratif!

  2. Cerita ini hangat dan inspiratif, menekankan pentingnya kejujuran dalam belajar serta bijak memanfaatkan AI. Dialog keluarga yang ringan membuat pesan tentang pendidikan, teknologi, dan nilai kekeluargaan tersampaikan dengan indah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *