Malam Minggu ini adalah malam liburan terakhir setelah libur cukup panjang. Cuti bersama, kata orang. Senin, Ali harus kembali bersekolah. Ali sedang menikmati malam Minggu di rumah Kakek.
Hari sudah menunjukkan menjelang pukul 20.00. Sudah salat Isya. Seperti biasanya, Ali pun menuju ruang tengah. Benar saja, di ruang itu Kakek dan Nenek tampaknya sedang asyik membaca. Ali tahu, Nenek pasti sedang membaca novel karya John Grisham. Sebab, malam Minggu sebelumnya Nenek juga membaca novel karya pengarang tersebut. Tampaknya, Nenek sedang kasmaran dengan novel-novel John Grisham. Sedangkan Kakek? Kakek pun sedang asyik membaca novel tebal.
Ali mendehem, sambil mengucapkan salam. Hal itu membuat kedua sesepuh itu agak kaget, namun segera membalas salam Ali sambil keduanya tersenyum ramah.
“Maaf, Kek. Sedang baca novel apa?” Tanya Ali
“Ini. Novel lama. Stok novel baru sudah habis. Ini, The Way of Shadows karya Brent Weeks.” Jawab Kakek sambil memperlihatkan sampul novel yang sedang dibacanya.
Seperti diberi komando, Kakek dan Nenek memberi batas halaman pada novel yang sedang dibacanya, lalu meletakkannya di atas meja. Bagi kedua orang yang sudah sepuh ini, kehadiran cucunya jauh lebih menarik daripada melanjutkan membaca novel. Tokoh cucunya hanya pada malam Minggu berkunjung dan menginap. Membaca novel dapat dilanjutkan pada malam-malam berikutnya.
Tak lama kemudian, di meja sudah terhidang satu gelas susu coklat untuk Ali. Dua gelas lainnya berukuran cukup besar. Berisi air putih agak keruh. Mungkin air jahe. Sepiring tempe goreng hangat diletakkan di tengah meja. Kata Kakek, itu mendhoan.
“Lho. Mana Abang Cu, Edi? Katanya juga mau ke sini?” Tanya Kakek setelah Ali nyeruput minumannya.
“Maaf, Kek, Nek. Tidak jadi. Tadi, sesudah Magrib pergi dengan Ardoni. Kata Abang, mau nobar. Pertandingan sepak bola. Timnas kan main malam ini.” Jawab Ali cukup jelas.
“Cu, tidak ikut nonton?” Tanya Nenek.
“Males Nek. Kurang suka bola. Kalau bulu tangkis, suka.” Jawab Ali
Nenek tersenyum. “Sama tu, dengan Kakek. Tidak suka nonton bola. Tapi, Kakek tidak suka nonton bola ada sebabnya.” Nenek tersenyum sambil melirik Kakek.
Tiba-tiba Kakek tertawa cukup keras. Nenek juga. Ali heran.
“Begini. Nenek ingat alasan Kakek tidak suka nonton bola. Waktu kami masih muda, pernah ada film lucu. Film Barat. Ceritanya tentang makhluk luar angkasa, alien. Cu tahu, kan? Alien?” Nenek menengok ke arah Ali. Ali mengangguk-angguk menandakan ia paham tentang alien.
“Cu pasti juga tahu sebab Cu sangat suka membaca. Dalam cerita-cerita Barat, alien itu berasal dari planet yang para penghuninya sangat cerdas serta memiliki teknologi super canggih, jauh lebih hebat dibandingkan dengan teknologi yang dikuasai manusia di planet bumi. Jadi, saat itu ada dua orang alien yang menaiki piring terbang. Piring terbang itu kasat mata, tidak terlihat oleh manusia. Kebetulan, lewat, lalu berhenti di atas sebuah stadion tempat berlangsungnya pertandingan sepak bola. Penontonnya juga puluhan ribu orang ….” Nenek berhenti sebentar. Meneguk minuman seraya menyilakan Ali untuk minum plus menikmati mendhoan.
“Nah, salah seorang alien berkata, ‘Lihat tuh, makhluk yang bernama manusia. Benar-benar menyedihkan. Miskin dan bodoh. Masa, satu bola dengan susah payah diperebutkan oleh … 22 orang. Benar-benar bodoh. Mari kita tolong mereka.’ Kedua alien itu menggerakkan tongkat. Wusssh …. Sebanyak 21 butir bola melayang, jatuh menyebar di lapangan itu. Sehingga, jumlah bola di lapangan menjadi 22 butir. Pertandingan sepak bola kacau, akhirnya bubar.” Nenek mengakhiri ceritanya sambil tertawa kecil.
Kali itu, justru Ali yang paling keras tertawa. Malahan, kedua tangannya memegangi perut yang agak sakit karena kewalahan untuk menghentikan tawanya.
“Kakek dan Nenek ini ada-ada saja. Sampai Ali lupa mau cerita apa tadi. Ehmm, apa ya?” Kata Ali sambil tangan kanannya memegangi kening setelah suasana kembali tenang. Kakek dan Nenek memandangi Ali sambil mengerutkan kening. Memberikan waktu untuk Ali memulihkan ingatannya.
“Ya. Ya. Ini. Tentang dua orang teman Ali di kelas istimewa. Kakek dan Nenek ingat, kan? Waktu kelas VII, Ali dimasukkan di kelas istimewa?” Tanya Ali, sambil memandangi Kakek dan Nenek bergantian.
Tentu saja, ingatan kedua orang yang sudah sepuh itu tidak secanggih Ali.Yang diomongkan Ali itu peristiwa dua tahun lalu karena sekarang Ali duduk di kelas sembilan. Cukup lama Kakek dan Nenek mengerutkan kening. Namun, Nenek yang menang. Nenek yang lebih dulu ingat daripada Kakek.
“Ya. Ingat. Kelas yang isinya anak orang-orang istimewa seperti anak gubernur, walikota, bupati, bahkan mungkin presiden, anggota dewan, pengusaha sukses, dan sebagainya. Waktu itu Nenek protes, kan? Masa, ada kelas istimewa? Yang benar, kelas yang diisi oleh para siswa yang memiliki orang tua yang dianggap istimewa. Yang istimewa bukan siswanya. Tapi orang tua siswanya. Beda dengan kelas unggul. Yang unggul, ya para siswanya.” Wow. Nenek begitu bersemangat. Ya, jika ada sesuatu yang dianggap salah konsep, pasti Nenek protes keras.
“Halah. Kakek ingat. Malah, Kakek juga tidak setuju tentang itu. Kalau memang orang tuanya istimewa, masukkanlah anaknya ke sekolah istimewa, bukan kelas istimewa di suatu sekolah negeri atau umum. Kalau di sekolah umum ada kelas istimewa, jangan-jangan ada juga yang kelas-kelas kambing di sekolahan itu. Iklim sekolah akan rusak, tidak demokratis. Banyak tu, sekolah istimewa seperti di kota-kota besar: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan sebagainya. SPP-nya per semester puluhan, atau mungkin ratusan juta rupiah.” Kata Kakek, manggut-manggut menyetujui isi protes Nenek.
“Iya, Kek. Tapi, di kota ini mana ada sekolah istimewa seperti di kota-kota besar tadi.” Kata Nenek menimpali omongan Kakek, sekaligus memandangi Ali untuk bercerita tentang temannya di kelas istimewa.
“Ada teman Ali, yang panggilannya Asih. Belum satu semester duduk di kelas itu, tiba-tiba pindah sekolah. Bapaknya terlibat korupsi. Jabatannya dicopot. Asih sering dirundung teman-temannya. Akhirnya, pindah.” Ali mendengar kedua orang sepuh itu istighfar.
“Juga, ada yang lain. Panggilannya Riziek. Itu lebih parah lagi. Akhirnya dikeluarkan oleh pihak sekolah karena kecanduan nak … nab …. Emh. Kecanduan … narkoba.” Kembali, Kakek dan Nenek beristighfar mendengar cerita Ali.
Sesaat, suasana hening di ruangan itu. Sehingga, suara alunan musik intrumentalia Jean-Claude Borelly dari perangkat audio Kakek yang selama itu tidak terperhatikan Ali terdengar sayup namun cukup jelas.
“Begini, Cu. Benar. Jadilah anak istimewa. Anak yang pintar. Kakek dan Nenek tahu, Cu itu pintar. Nah kalau pintar, coba jawab, ‘Mengapa seseorang itu bisa pintar?’ Hayo ….” Tanya Kakek dengan wajah lucu sambil memandangi Ali.
“Sebab, …. Rajin …. Tekun …. Sehat …. Bersemangat ….” Jawab Ali sepotong-sepotong ketika melihat Kakek selalu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan menanggapi jawaban-jawaban Ali. Ali bingung.
Kakek tersenyum. “Sebab … orang itu, … anak itu, ingin pintar!” Kata Kakek yang disambut oleh tawa Ali dan Nenek. Kakek pun melanjutkan. “Ingat, ya Cu. Anak itu yang ingin pintar. Bukan orang tua anak itu. Lagi pula, ada ungkapan bijak ‘Di mana ada kemauan, di situ ada jalan’. Kemauan, keinginan yang tinggi. Itu yang penting! Jadi, Cu, di kelas mana pun, di sekolah mana pun, yang akan menentukan pintar atau tidaknya tetap anak itu sendiri!” Kakek menambah wejangannya sebelum kembali menyeruput minuman di gelas yang sudah disediakan. Tentunya, sudah tidak hangat lagi.
“Nah, pertanyaan berikutnya. Dari mana timbul dan berkembangnya rasa ingin pintar itu? Hayo, … apa pencetusnya?” Tanya Kakek dengan tarikan wajah lucu.
Kali ini Ali benar-benar bingung. Lagi pula, kebingungannya mungkin disebabkan karena malam sudah agak larut.
“Begini ya. Rasa ingin pintar itu dipicu oleh dua hal penting, yaitu rasa ingin tahu dan kepedulian. Contoh, tu, ada pompa air akuarium ….” Kata Kakek sambil tangannya menunjuk ke akuarium di ruangan itu. “Jika Cu tidak peduli, ya tidak akan muncul rasa ingin tahu. Seolah-olah itu hal yang biasa saja. Tapi, kalau Cu peduli, misalnya, ‘Mengapa bisa alat itu menyedot air’. Nah, tentu Cu ingin tahu. Cu pun cari informasi, cari bacaan tentang pompa air. Ya, tidak ada orang yang bisa pintar tanpa rajin dan tekun membaca. Sesudah itu, mungkin Cu mengambil alat itu, mengamat-amati, bahkan mempretelinya. Akhirnya, Cu tahu, Cu pintar dalam hal pompa air akuarium.” Kata Kakek sambil memandangi Ali. Ali pun mengangguk-angguk.
“Sudah agak larut. Cu sudah ngantuk tu. Kita tidak harus mengembangkan rasa ingin tahu untuk segala sesuatu. Misalnya, Cu tidak suka sepak bola. Ya, tidak usah ingin tahu dan mencari informasi tentang siapa saja Timnas kita, pelatihnya, dan sebagainya. Bagaimanapun, kemampuan otak kita, ingatan kita itu terbatas. Bahkan, waktu kita juga terbatas. Dah Cu, tidur lagi ya.” Kata Kakek sambil memandangi Ali yang manggut-manggut.
Ali menyalami dan mencium punggung tangan kedua sesepuh hebat itu. Sesudah itu, berucap salam serta berpamitan untuk tidur. Malam Minggu yang membahagiakan. Semakin terbuka wawasan Ali tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Tentang perjuangan dan kesuksesan hidup … masa mendatang.