Departemen Distraksi
Departemen Distraksi

Departemen Distraksi

0 Shares
0
0
0

Di sebuah kantor rahasia—bukan di neraka berapi seperti yang orang bayangkan, tapi lebih mirip kantor startup yang gelap dan sunyi—ada satu departemen paling sibuk: Departemen Distraksi.

Di sinilah strategi paling halus dirancang. Bukan untuk menakut-nakuti manusia, tapi untuk membuat mereka lupa arah. Secara perlahan. Tanpa sadar.

Pagi itu, Arzali—kepala divisi—memimpin rapat seperti biasa. Janggutnya tipis, kaca matanya bulat, dan ucapannya selalu tenang tapi tajam.

“Target hari ini,” katanya sambil menunjuk layar besar, “namanya Yudha Fikri. Umur 29. Freelancer. Tinggal di Padang. Dulu rajin ngaji waktu kecil, sekarang sibuk ngumpulin cuan dan konten motivasi.”

Para staf iblis berseragam hitam mengangguk. Salah satu dari mereka, si Rina, bertanya, “Dia sempat buka video ceramah minggu lalu, Bang.”

“Wajar,” jawab Arzali. “Itu bias nostalgia. Kirim aja video lain. Yang bahas healing, self-love, dan cara jadi sukses di usia 30. Pokoknya jangan sampai dia diam dan mikir.”


Sementara itu, di sebuah kos-kosan di Air Tawar, Yudha baru bangun. Sambil selonjoran, dia langsung buka HP. Belum sempat berdoa pagi, udah diserbu notifikasi: diskon Tokopedia, trending X, 3 video TikTok yang katanya “wajib ditonton kalau kamu introvert tapi produktif.”

“Hm, menarik nih,” gumamnya.

Waktu berjalan. Sarapan lupa. Salat subuh? Ketinggalan. Tapi Yudha merasa dirinya tetap keren karena habis nonton 5 video soal habit orang sukses.


Hari demi hari, Yudha makin sibuk. Job makin banyak, follower naik, uang lumayan. Tapi entah kenapa, tiap malam rasanya sepi. Ada ruang kosong di dadanya, tapi dia tak tahu isinya apa.

Suatu malam, dia sempat nulis di catatan HP-nya:

“Aku capek. Tapi nggak tahu capek karena apa.”

Di ruang bawah tanah, Rina panik. “Bang Arzali, dia mulai sadar. Dia mulai nulis-nulis begitu.”

Tapi Arzali santai. “Kirim dia video traveling. Bikin dia mikir kalau solusinya cuma liburan ke Bukittinggi atau staycation di Airbnb. Jangan kasih dia waktu buat nanya ke dalam diri.”

Tahun berganti.

Yudha sekarang makin dikenal. Diundang jadi pembicara. Followers-nya ribuan. Tapi ia tak lagi bisa duduk tenang. Kalau HP mati, pikirannya bising. Kalau sendiri, dia malah gelisah.

Orang-orang bilang dia sukses.

Tapi tak ada yang tahu bahwa Yudha sudah lama hilang dari dirinya sendiri.

Di akhir pekan, Arzali menutup laporan.

“Target aman. Nggak perlu maksiat besar. Cukup alihkan fokusnya pelan-pelan. Jangan kasih dia waktu untuk bertanya: ‘Aku ini sebenarnya hidup buat apa?’”

Para iblis tertawa kecil.

“Begitu manusia lupa tujuan, neraka nggak perlu datang dengan api. Dia datang lewat rutinitas yang kosong.”

Tamat.

Siniar Audio:

3 comments
  1. Manusia menciptakan teknologi, sebagian manusia culas memanfaatkan untuk membrangus kemanusiaan.

  2. Cerita fiksi yang menarik. Teknologi menyajikan informasi, ribuan informasi masuk ke perangkat elektronik kita, sehingga kita merasa semuanya perlu kita ketahui. Padahal kita memiliki waktu yang terbatas, sudah seharusnya kita mulai memilih untuk menerima informasi apa saja yang kota butuhkan. Bukan semuanya.

  3. Cerita ini sangat kuat dan relevan dengan kondisi zaman sekarang. Tanpa menampilkan sosok antagonis yang kejam, ia justru menggambarkan distraksi sebagai kekuatan yang halus namun berbahaya—membuat seseorang tersesat tanpa sadar. Narasi tentang Yudha terasa nyata; kesibukan, pencapaian, dan gelisah yang tak terdefinisikan adalah pengalaman banyak orang. Pesannya jelas: kesuksesan materi tidak selalu berarti kebahagiaan, dan kehilangan waktu untuk refleksi bisa membuat seseorang kehilangan arah. Keren!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *