Pada suatu sore yang cerah, dua pasang remaja menaiki sebuah mobil jeep tua berwarna hijau lumut, berderak namun tangguh. Angin sore menyapu rambut mereka, dan tawa mereka menggema di sepanjang kelok Sitinjau Lauik, Padang. Mereka adalah Riko dan Lela, serta Dimas dan Naya—empat sahabat yang menyukai petualangan dan lagu-lagu yang mereka mainkan dengan gitar tua milik Riko.
Gitar itu selalu ada dalam setiap perjalanan mereka, tergolek di kursi belakang, kadang berpindah ke pangkuan Naya saat ia menyanyikan lagu cinta yang belum selesai ditulis. Hari itu, mereka menuju puncak bukit untuk menyaksikan matahari tenggelam. Tapi takdir berkata lain.
Di sebuah tikungan tajam, rem mobil mendadak blong. Riko berteriak panik, Lela menggenggam tangan Dimas, dan Naya memeluk gitar tua itu erat-erat. Jeep itu meluncur tak terkendali, menabrak pembatas dan terjun ke dalam jurang yang dalam, tertelan rimba dan waktu.
*****
Tiga ratus tahun kemudian.
Kota Padang telah berubah. Pesisirnya meluas, dan sebagian besar wilayah Sitinjau Lauik kini menjadi lautan akibat pergeseran bumi dan naiknya permukaan air laut. Di titik yang dulunya adalah jurang itu, kini terbentang hamparan biru yang dalam dan sunyi.
Seorang penyelam arkeolog bernama Dresta turun ke kedalaman laut untuk mencari artefak peninggalan masa lampau. Ia tak menyangka akan menemukan sesuatu yang begitu aneh—sebuah benda besar berbentuk kotak berkarat, ditumbuhi karang dan lumut laut.
“Seperti rumah,” gumamnya melalui alat komunikasi dalam helm selamnya.
Saat dia menyelidiki lebih dalam, dia menemukan sesuatu yang menyerupai alat kayu dengan senar. Sudah hampir hancur, tapi bentuknya unik. Ia memindai dan mencatat, menyimpulkan benda itu sebagai “meja makan kuno, mungkin digunakan oleh penghuni rumah dalam ritual mereka.”
Bagi Dresta dan timnya, kendaraan itu adalah rumah laut kuno, dan gitar tua yang tergeletak di dalamnya adalah perabotan berharga.
*****
Di kedalaman, suara samar kadang terdengar, seperti tawa yang terjebak dalam gelembung waktu. Di antara arus yang tenang, bayangan empat remaja masih tertawa, menyanyikan lagu yang tak pernah selesai, membiarkan kenangan mereka mengalun dalam gema abadi Sitinjau Lauik.
2 comments
Cerita ini sangat bagus, saya suka membacanya karena seolah-olah saya seperti dibawa untuk berimajinasi merasakan apa yang dirasakan tokoh dalam cerita tersebut.
ceritanya keren Pak, tidak menyangka dengan klimaksnya, fantasi luar biasa, dengan imaji yang keren.