Ilyas Ya’kub lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 14 Juni 1903. Beliau seorang ulama besar dan syikh al-Islam dari Minangkabau, Indonesia tamatan Mesir. Ilyas Ya’kub merupakan putera dari pasangan suami-isteri Haji Ya’kub – Siti Hajir. Anak ketiga dari empat bersaudara ini, ketika masa kecilnya belajar ilmu agama melalui kakeknya, bernama Syeikh Abdurrahman. Masa itu, Bayang merupakan sentra pendidikan Islam. Daerah Bayang sejak dahulu termasuk basis pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatra berpusat di surau tua yang didirikan (awal 1666), oleh Syeikh Buyung Muda Puluikpuluik, salah seorang dari 6 ulama pengembang Islam di Indonesia seangkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman belajar dengan Syeikh Abdul Rauf Singkel di Aceh. Sa’at berkobarnya Perang Pauh (mulai 28 April 1666) surau ini juga menjadi basis perjuangan melawan Belanda.
Ayah Ilyas Ya’kub seorang pedagang kain dan hidup di lingkungan ulama, cukup memberi peluang dana dan motivasi bagi Ilyas Ya’kub untuk mengecap pendidikan lebih baik. Pertama ia mendapat pendidikan di Gouvernements Inlandsche School. Tamat sekolah beliau bekerja sebagai juru tulis selama dua tahun (1917 – 1919) di perusahaan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto Sijunjung. Beliau keluar dari perusahaan itu sebagai protes terhadap pimpinan perusahaan asing yang imperialisme dan kolonialisme yang kasar terhadap kaum buruh pribumi.
Ilyas Ya’kub memperdalam ilmu agama sebagai konvensasi kemudian belajar dengan Syekh Haji Abdul Wahab. Gurunya (juga ayah dari isterinya Tinur) ini melihat Ilyas Ya’kub berbakat, lalu dibawa ke Mekah. Ketika berada di tanah suci itu, selesai menunaikan ibadah haji, Ilyas berminat untuk menetap di sana guna memperdalam ilmu agamanya. Tahun 1923 beliau punya kesempatan ke Mesir. Di sana beliau memasuki sebuah universitas mulanya sebagai thalib mustami’ (mahasiswa pendengar).
Haji Ilyas Ya’kub, aktif dalam berbagai organisasi dan partai politik saat berada di Mesir, di antaranya Hizb al-Wathan (partai tanah air) didirikan oleh Mustafa Kamal semakin membangkitkan semangat anti penjajah. Beliau pernah pula menjabat sebagai ketua Perkumpulan Mahasiswa Indonesia dan Malaysia (PMIM) di Mesir. Selain itu, beliau juga fungsionaris wakil ketua organisasi sosial politik Jam’iyat al-Khairiyah dan ketua organisasi politik Difa` al-Wathan (Ketahanan Tanah Air).
Selain aktif dalam gerakan politik serta amat peduli dengan nasib bangsanya terjajah Belanda, di Mesir ia juga aktif menulis artikel dan mempublikasikannya di berbagai Surat Kabar Harian di Kairo. Bersama temannya Muchtar Luthfi, beliau mendirikan Majalah Seruan Al-Azhar dan Majalah Pilihan Timur. Majalah Seruan Al-Azhar adalah majalah bulanan mahasiswa, sedangkan majalah Pilihan Timur adalah majalah politik. Kedua produk jusnalistik ini banyak dibaca mahasiswa Indonesia–Malaysia di Mesir ketika itu.
Gerakan Ilyas Ya’kub dalam jurnalistik dan politik anti penjajah di Mesir, tercium oleh Belanda ketika itu. Melalui perwakilannya di Mesir, Belanda mencoba melunakkan sikap radikalnya, tetapi gagal. Sejak itu Belanda semakin menggaris merah Ilyas Ya’kub tidak saja sebagai radikalis, bahkan dicap sebagai ekstrimis dan musuhnya di Indonesia.
Pada tahun 1929, Ilyas Ya’kub kembali dari Mesir, transit di Singapura sebelum akhirnya berlabuh di Jambi. Beliau bertemu dengan teman-temannya di Jawa yang aktif dalam PNI dan PSI. Berdasarkan pengalamannya tersebut, Ilyas Ya’kub berpendapat bahwa semangat Islam dan kebangsaan perlu dikombinasikan dan dikonsolidasikan dalam satu wadah yang representatif. Sekembalinya dari Jawa pada tahun 1930, beliau merealisasikan idenya dengan mendirikan penerbitan pers Medan Rakyat di bidang jurnalistik, dan bersama Mukhtar Luthfi, mendirikan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) dengan asas Islam dan kebangsaan.
PERMI pada awal mula bernama PMI (Partai Muslimin Indonesia) didirikan Haji Ilyas Ya’kub tahun 1930. PERMI berlandaskan pada lembaga pendidikan Islam seperti Sumatra Thawalib dan Diniyah School. Visi utamanya adalah memberdayakan sekolah agama melalui inovasi modernisasi kurikulum, sistem jenjang pendidikan, dan perlindungan pelajar, serta menjadikan sekolah agama sebagai basis perjuangan kemerdekaan dan pusat pencerahan bangsa dengan pengetahuan Islam dan kebangsaan. PMI juga mendirikan sekolah-sekolah baru dengan sistem modern, termasuk perguruan tinggi Al-Kulliyat Al-Islamiyah di Alang Laweh pada 12 Februari 1931, yang diselenggarakan oleh intelektual lulusan Timur Tengah seperti Janan Thaib, Syamsuddin Rasyid, dan Ilyas Ya’kub sendiri.
Tahun 1932 PMI mengadakan Kongres Besar di Koto Barapak, Pesisir Selatan, yang dihadiri perwakilan cabang se-Sumatra. Dalam kongres ini, PMI diubah namanya menjadi PERMI, yang dicap Belanda sebagai partai Islam radikal revolusioner. PERMI bahkan menjalin koalisi dengan Pertindo Soekarno untuk memperkuat perjuangan kebangsaan. Akibat dianggap membahayakan pemerintahan, Belanda mengeluarkan kebijakan exorbita terechten yang menyatakan PERMI terlarang, diikuti penangkapan tokoh-tokohnya. Haji Ilyas Ya’kub, bersama Mukhtar Luthfi dan Janan Thaib, ditangkap dan diasingkan selama 10 tahun (1934-1944) ke Boven Digoel, Irian Jaya, meskipun semangat nasionalis dan Islamnya tak pernah pudar. Setelah pembebasan pasca-Perang Dunia II, ia terus berjuang, bahkan bergabung dengan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) dan menjabat ketua DPR Sumatra Tengah.
Oktober 1945 pemulangan para tahanan perang dari Australia ke Indonesia dengan kapal Experence Bey Oktober, Haji Ilyas Ya’kub tidak diizinkan turun di pelabuhan Tanjung Periuk, bahkan beliau kembali ditahan dan diasingkan bersama isteri selama 9 bulan berpindah-pindah di Kupang, Serawak, Brunei Darussalam, kemudian ke Labuan, dan Singapura (anaknya Iqbal meninggal di sana). Satu tahun Indonesia merdeka (1946) barulah habis masa tahanan dan Haji Ilyas Ya’kub, beliau kembali bergabung dengan kaum republik sekembali dari Cirebon. Beliau ikut bergrillya pada class II (1948) dan ikut membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang kemudian dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara. Beliau mendapat tugas menghimpun kekuatan politik (seluruh partai) di Sumatra untuk melawan agresor Belanda. Tahun itu beliau menjabat ketua DPR Sumatra Tengah kemudian terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan merangkap sebagai penasihat Gubernur Sumatra Tengah bidang politik dan agama.
Akhir hayat husn al-khatimah Ilyas Ya’kub menghembuskan nafas terakhir Sabtu, 2 Agustus 1958 jam 18.00 wib, ia meninggalkan 11 orang anak, antara lain putranya Anis Sayadi, Fauzi, dll. Kesaksian kebesaran perjuangannya dikukuhkan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan RI dengan SK Mensos No. Pol-61/PK/1968, 16 Desember 1968, mendapat piagam penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1975. Kepahlawanannya dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-prinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI di samping memperjuang Partai dan Pendidikan Islam.
Kepahlawanan Ilyas Ya’kub juga diabadikan dengan pemberian namanya kepada gedung olahraga dan jalan serta dibangun sebuah patung di perempatan jalan di gerbang kota Painan, Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Indonesia). Makamnya di depan masjid raya Al-Munawarah Koto Barapak, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat juga menjadi saksi bisu kebesarannya dalam Islam dan Kebangsaan.
Ilyas Yakub (1903-1958) bukan sekadar ulama, beliau adalah denyut nadi perlawanan Minangkabau yang bergolak melawan penjajahan. Lebih dari sekadar tokoh sejarah, Ilyas Yakub adalah cerminan kompleksitas perjuangan kemerdekaan, seorang intelektual religius yang turun ke medan politik, orator ulung yang membakar semangat massa, dan pejuang gigih yang tak gentar menghadapi ancaman. Perjalanan transformatif, dari seorang santri yang mendalami ilmu agama hingga menjadi arsitek pergerakan nasional yang tak terpisahkan dari denyut nadi revolusi Indonesia. Warisan pemikirannya yang terus relevan terutama di Ranah Minang Negeri Sejuta Pesona, tanah kelahirannya yang menjadi saksi bisu perjuangan gigihnya. Ilyas Yakub, bukan sebagai figur statis masa lalu, melainkan sebagai api yang tak pernah padam dalam sejarah perjuangan bangsa.
2 comments
Keren
Masyaallah terimakasih pak 🙏😊