Jalak Bulan
Jalak Bulan

Jalak Bulan

0 Shares
0
0
0

Di sebuah lembah yang damai, ada perkampungan burung kecil yang dipenuhi warna dan kicau bahagia. Di sana tinggal sepasang burung yang saling menyayangi, Burung Putih dan Burung Merah. Meski berbeda kebiasaan, Putih suka terbang ke padang ilalang, Merah suka menyusuri rawa, mereka hidup rukun dan saling menghormati.

Semua burung di kampung itu terbiasa hidup berdampingan, meski warna bulunya berbeda dan cara bersiulnya tak selalu sama.

Suatu sore, muncul seekor Jalak Bulan, burung hitam kelabu dengan mata tajam dan suara menghipnosis. Dia datang sendirian, katanya cuma “mampir sebentar” karena sedang dalam perjalanan jauh.

Burung Putih yang lembut menyambut, Burung Merah yang ramah ikut memberi tempat di dahan rindang. Awalnya semua tampak biasa.

Tapi lama-lama, Jalak Bulan mulai menunjukkan sifat aslinya. Ia senang berbicara panjang lebar tentang leluhurnya, yang konon bisa terbang lebih tinggi dari elang dan mampu menyembuhkan burung sakit hanya dengan tatapan. Kadang ia berkata bahwa nenek moyangnya pernah diundang ke langit ke-9 untuk memberi nasihat pada bintang-bintang.

Banyak burung tertawa kecil mendengarnya, tapi tidak sedikit juga yang percaya bulat-bulat. Terutama burung-burung muda yang belum banyak terbang jauh. Mereka mulai memandang Jalak Bulan sebagai keturunan agung, layak dipatuhi, bahkan disembah sedikit-sedikit.

Jalak Bulan pun mulai bicara soal cara hidup yang lebih murni. Ia menyindir kebiasaan kampung itu.

“Burung-burung di sini terlalu bebas. Kalian nyanyi sesuka hati, makan apa saja, dan berbaur tanpa aturan. Di kampungku, semua itu dilarang. Kami hidup dengan cara yang lebih suci.”

Beberapa burung muda makin terpikat.

“Apa iya kita selama ini salah?” bisik mereka.

Jalak Bulan makin aktif. Ia mendatangi satu per satu burung, berkata bahwa Burung Putih terlalu lembek, dan Burung Merah terlalu kompromi.

“Kalau kalian mau kampung ini jadi benar-benar bersih,” katanya, “ikuti saja aku. Ganti cara hidup kalian.”

Burung-burung pun mulai terbagi. Ada yang tetap setia pada cara lama, ada pula yang mulai mengikuti Jalak. Lagu-lagu senja di perkampungan mulai hilang. Burung-burung lama dicurigai karena cara terbangnya beda. Bahkan sarang-sarang lama mulai dihancurkan dan diganti dengan yang “sesuai ajaran baru.”

Perkampungan itu retak.

Burung Putih menangis dalam diam. Burung Merah yang dulu tegas, kini bingung. Tapi suatu pagi, ketika Jalak Bulan mencoba mengambil alih tempat pertemuan burung dan mengusulkan dirinya jadi penjaga aturan baru, Burung Putih pun berdiri.

“Cukup, Jalak. Kau datang sebagai tamu, lalu ingin menguasai. Kau bicara soal kebenaran, tapi menanam benih benci. Kau bangga pada cerita yang bahkan tak bisa kau buktikan, lalu kau paksa kami untuk tunduk atas nama leluhur yang entah nyata atau tidak.”

Burung Merah ikut berdiri di sampingnya.

“Kami memang berbeda, tapi kami memilih hidup bersama. Bukan saling menindas karena cara yang tak sama.”

Banyak burung yang terdiam. Sebagian yang terpengaruh Jalak Bulan mulai sadar. Mereka melihat bahwa perpecahan ini bukan karena keyakinan, tapi karena hasutan dan cerita-cerita kosong yang dibungkus dengan kesombongan.

Akhirnya, Jalak Bulan pergi, terbang dengan murid-murid yang masih setia. Perkampungan itu tak langsung pulih, tapi satu hal dipelajari bersama:

Perbedaan bukan ancaman, tapi siapa pun yang masuk membawa kebencian dengan bungkus kebenaran, dan menyelipkan dongeng untuk menguasai, harus kita waspadai.

Dan sejak hari itu, burung-burung di sana kembali menyanyi, dengan nada mereka sendiri dalam harmoni damai.

Siniar Audio

3 comments
  1. Analogi yang bernas dan cerdas. Perbedaan itu rahmat, bukan laknat. Perbedaan itulah yg menggerakan dinamika kehidupan. Terus berkarya, Pak Don.

  2. Mantap. Analogi yang bernas dan cerdas. Perbedaan itu rahmat, bukan laknat. Perbedaan itulah yg menggerakan dinamika kehidupan. Terus berkarya, Pak Don.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *