A. Rasionalisasi
Dalam suatu kegiatan MGMP Bahasa Indonesia SMP, seorang guru mengeluhkan tentang adanya beberapa orang siswa kelas VII yang belum mampu membaca dengan baik, masih mengeja, dan tidak lancar. Ternyata, keluhan seperti itu bukan hanya dikemukakan oleh seorang guru pengampu Mapel Bahasa Indonesia, tetapi beberapa orang. Secara teoretis dan empiris, seharusnya keluhan seperti tidak ada. Dengan kata lain, benar-benar memprihatinkan. Sebab, pembelajaran membaca idealnya sudah tuntas di satuan pendidikan sekolah dasar (SD dan sederajat). Pembelajaran terkait dengan membaca dikenal dengan istilah Membaca-Menulis Permulaan (MMP, kelas I s.d. III) dan dilanjutkan dengan Membaca-Menulis Lanjut (MML, kelas IV s.d. VI).
Tidak dapat dipungkiri, aktivitas membaca merupakan sesuatu yang fundamental dalam kehidupan manusia. George R.R. Martin, misalnya, secara tegas menyatakan “A reader lives a thousand lives before he dies. The man who never reads lives only one.” Pernyataan yang sangat kontemplatif, “Seorang pembaca (pada hakikatnya) hidup ribuan kali, sementara seseorang yang tidak pernah membaca itu hidup hanya sekali.” Tokoh lain, Oprah Winfrey (artis, produser, host acara terkenal selama 25 tahun Oprah Winfrey Show, bahkan pada 2007 dijuluki sebagai Wanita Paling Berpengaruh Sedunia) menyatakan “Reading is a way for me to expand my mind, open my eyes, and fill up my heart.” Begitu penting, aktivitas (termasuk kebiasaan, minat, dan keterampilan) membaca bagi kesuksesan hidup seseorang.
Menanggapi keluhan tentang ketidakmampuan membaca siswa kelas VII, jalan pintasnya, adalah mempertanyakan tanggung jawab guru-guru di satuan pendidikan dasar. Namun, apa pun dalihnya, menyikapi suatu kelemahan dengan cara menyalahkan orang lain itu tidak layak. Sebab, pekerjaan paling gampang di dunia ini adalah menyalahkan orang atau pihak lain. Akan lebih bermanfaat, jika dikaji-ulang tentang metode pembelajaran membaca dan bagaimana pengimplementasiannya. Deskripsi cenderung profilaksis atau preventif, yaitu tindakan pencegahan.
B. Jenis-Jenis Metode Pembelajaran Membaca
Deskripsi tentang jenis-jenis metode pembelajaran membaca memang tepat disajikan sebagai konsepsi guru-guru SD, terutama kelas rendah (kelas I s.d. III, dalam konteks MMP). Namun, deskripsi juga dapat ditempatkan sebagai alternatif mengatasi siswa-siswa yang bermasalah dalam hal membaca seperti diungkapkan pada contoh kasus. Meskipun, tentu saja metode berikut ini selazimnya diterapkan sebelum anak melewati fase pubertas. Sebab, menurut Lenneberg (Eric Heinz Lenneberg, linguist, neurologis, dan psikolinguistik) pemerolehan bahasa serta dasar-dasar keterampilan berbahasa termasuk membaca akan dapat dikembangkan pada individu dalam rentang usia 0 s.d. sebelum memasuki fase pubertas. Fase pubertas itu cenderung tidak seragam. Misalnya, seorang anak perempuan memasuki fase pubertas pada usia 8 s.d.13 tahun sedangkan anak laki-laki pada rentang usia 9 s.d. 14 tahun).
1. Metode Sintetik
Metode sintetik dilatarbelakangi oleh pengaruh psikologi behavioral atau dikenal dengan S-R Theory (Stimulus-Response Theory). Penganjur aliran ini meyakini bahwa respons individu ditentukan oleh stimulus (secara umum, kata stimulus diidentikkan dengan rangsangan). Tentu saja, semakin berkualitas dan berkuantitas stimulus yang diberikan kepada individu, akan semakin kuat dan menetap respons tersebut menjadi suatu keterampilan yang bersifat mekanik. Metode ini diimplementasikan oleh tiga submetode.
Pertama, metode eja (spelling method). Pengguna metode ini memberikan stimulus dengan cara mengenalkan dan mengajarkan bunyi sekaligus nama lambang bunyi (huruf). Dalam Bahasa Indonesia, dari /a/ hingga /z/. Contoh penerapan metode ini yang jelas adalah pada lagu kanak-kanak yang berjudul “ABC”. Setelah anak mengenal dan menguasai bunyi serta lambang bunyi, latihan dilanjutkan dengan merangkai lambang bunyi menjadi kata. Misalnya, /b-u/ menjadi /bu/, /k-u/ menjadi /ku/, /b-u-k-u/ menjadi /buku/.
Submetode kedua adalah metode bunyi (phonic method). Berbeda dengan metode eja, yang diajarkan justru bunyi-bunyi bahasa terlebih dahulu. Misalnya, diajarkan bunyi /b/ yang diperkenalkan adalah /be/, baru dikenalkan /b/, diperkenalkan bunyi /ce/, baru ditunjukkan huruf /c/. Jadi, ketika mengajarkan /beca?/ dilafalkan dulu, baru diperkenalkan rangkaian lambang bunyi /be-cak/ akhirnya /becak/.
Submetode ketiga adalah metode suku kata (syllabic method). Jika dilihat dari polanya, metode suku kata merupakan pengembangan metode eja. Pertama-tama yang diperkenalkan kepada anak adalah suku kata. Misalnya, untuk mengajarkan anak membaca /buku/, diperkenalkan /bu-/ secara berulang-ulang, baru /ku/ juga secara berulang-ulang. Akhirnya, diajarkan rangkaian /bu/ dan /ku/ menjadi /bu-ku/. Untuk memfasilitasi pembelajaran membaca suku kata menjadi kata, suku kata yang sudah dipelajari (misalnya, /ku-/) dikembangkan lagi dengan menanamkan suku kata /da/. Akhirnya, diperkenalkan dan diajarkanlah kata /ku-da/. Suku-suku kata yang lazim dilatihkan karena mudah diingat, mudah dilafalkan dan fungsional adalah /ba-/, /bi-/, /bu-/, /be-/, dan /bo-/, /ma-/, /mi-/, /mu-/, /me-/, dan /mo-/, termasuk analoginya untuk /ta-/, /da-/ /ka-/, /la-/, /na-/, /ra-/, dan /ta-/.
2. Metode Analitik
Metode analitik juga dilatarbelakangi oleh psikologi behavioral namun sudah mengarah ke psikologi Gestalt. Sesuai dengan etimologinya, kata gestalt berasal dari Bahasa Jerman yang artinya pola, bentuk, atau konfigurasi. Namun, konsep pola tidak dimaknai secara tunggal, sehingga metode analitik diimplementasikan dalam tiga subpola.
Pola pertama adalah metode kata (word method). Jadi, ukuran pola yang digunakan adalah kata. Metode ini diterapkan secara bertahap. Awalnya, dengan cara memperkenalkan kata utuh yang menggunakan fonem dan vokal yang mudah dikenal sekaligus mudah diucapkan, kemudian kata-kata yang memiliki gugus fonem dan gugus vokal, setelah itu kata-kata yang merupakan morfem bentukan yang terdiri atas morfem bebas dan morfem terikat. Gradasi tersebut dapat terlihat pada contoh berikut. Mula-mula diperkenalkan kata yang mudah dan familiar seperti /buku/, /budi/, /kaki/, /kaku/, /tadi/, /saja/, dan sebagainya. Pada tahap berikutnya, diperkenalkan kata yang memiliki gugus fonem dan gugus vokal, misalnya /batang/, /tanya/, /petai/, /danau/, dan sebagainya. Pada tahap selanjutnya, barulah diperkenalkan kata kompleks sederhana, misalnya /berlari/, /dimakan/, /melihat/, dan sebagainya. Jadi, intinya, kata ditempatkan sebagai pola utama dalam pembelajaran membaca.
Pola kedua adalah metode kalimat (sentence method). Jadi, ukuran pola yang digunakan adalah kalimat. Tentu saja, pola-pola kalimat pada tahap awal adalah yang familiar, terdiri atas dua kata dasar, serta mudah diucapkan serta fungsional. Misalnya, diperkenalkan /ini budi/, berdasarkan tersebut dianalisis menjadi /ini/ dan /budi/. Pada tahap berikutnya, dianalisis lagi bahwa /ini/ terdiri atas /i n i/ dan /budi/ terdiri atas /b u d i/. Setelah guru merasa cukup, pola kalimat dikembangkan menjadi kalimat yang terdiri atas tiga kata, misalnya /ini mama tati/, dilanjutkan lagi menjadi kalimat yang terdiri atas empat kata seperti /ini baju mama tati/ dan akhirnya kalimat yang terdiri atas lima kata, misalnya /ini baju baru mama tati/.
Pola ketiga adalah metode global (global method). Pola pajanan (discourse) sebagai latihan membaca anak ukurannya lebih besar daripada kalimat, yaitu teks yang utuh. Tentu saja, pada periode awal latihan, teks itu hanya terdiri atas satu paragraf dan kalimat-kalimat dalam paragraf tersebut merupakan kalimat sederhana yang maksimal terdiri atas lima kata. Usahakanlah, kata-kata yang digunakan dalam paragraf tersebut kata-kata dasar, bukan kata-kata kompleks. Contoh paragraf sederhana untuk bagan latihan membaca adalah “ibu pergi ke pasar” (judul) dan isi paragrafnya /ibu pergi ke pasar/, /ibu hendak beli sayur/, /ibu juga beli buah/, /sayur dan buah itu baik/, /makan sayur dan buah itu sehat/. Setelah paragraf itu dibacakan bersama antara guru dan siswa (misalnya guru membaca per kalimat, siswa menirukan), paragraf itu dipereteli menjadi kalimat-kalimat, kalimat dipereteli lagi menjadi kata-kata. Untuk lebih meningkatkan motivasi siswa, teks yang terdiri atas satu paragraf itu diberi gambar ilustratif. Pada latihan-latihan berikutnya, jumlah teks dikembangkan menjadi teks yang terdiri atas dua paragraf, tiga paragraf, dan seterusnya.
3. Metode Campuran (Eclectic Method)
Sesuai dengan namanya, metode campuran atau eclectic method merupakan perpaduan antara metode sintetik dan analitik. Meskipun demikian, sebenarnya metode campuran ini mengacu pada prinsip Gestalt. Metode ini diterapkan dalam dua pola utama atau dua model.
Pola pertama dikenal dengan metode Struktural-Analitik-Sintetik atau SAS. Sesuai dengan konsep Gestalt bahwa keseluruhan itu lebih berarti dibandingkan dengan bagian-bagiannya, maka yang diperkenalkan terlebih dahulu adalah keseluruhan, yaitu kalimat. Ibarat seseorang melihat pohon, yang pertama ditangkap oleh indera penglihatan adalah pohon itu sebagai sesuatu yang utuh. Setelah didekati, barulah ditemukan bahwa pada pohon tersebut ternyata ada batang, cabang, dan daun. Itulah bagian-bagian dari pohon tersebut. Konteks pohon dalam analogi tersebut adalah kalimat. Jadi, guru langsung menyajikan kalimat lengkap, misalnya /ini ibu budi/ dari kalimat tersebut dianalisis menjadi /ini/ dan /ibu budi/, selanjutnya dianalisis lagi menjadi /i-ni/ dan /i-bu bu-di/. Setelah itu barulah disentetiskan, yaitu disusun dari bagian ke keseluruhan, kembali menjadi /ini ibu budi/.
Pola kedua dikenal dengan metode kupas suku kata (berbeda dengan metode suku kata). Metode kupas suku kata (syllabication method) merupakan antonim metode suku kata (syllabic method). Dalam metode suku kata, yang diperkenalkan guru adalah suku kata yang dihubungkan dengan suku kata lain sehingga membentuk kata. Misalnya, /ku-/ dan /da/ sehingga membentuk /ku-da/. Sebaliknya, dalam metode kupas suku kata yang diperkenalkan justru berupa kata, misalnya /kuda/, kemudian dianalisis menjadi /ku-da/, dianalisis lagi menjadi /ku-/ dan /da/. Identik dengan SAS yang menggunakan pola terkecil berupa kalimat, dalam metode kupas suku kata, pola terkecilnya adalah kata.
C. Pengimplementasian
Pemilihan dan penetapan satu metode pembelajaran membaca bukan didasarkan atas keinginan guru, namun hendaknya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah: (1) kognitif, (2) bahasa, (3) perseptual-motorik, (4) motivasi dan minat, serta (5) sosio-emosional.
Pertama adalah faktor kognitif. Faktor ini berkaitan dengan intelegensi dan kematangan berpikir. Intelegensi memengaruhi kecepatan anak dalam menangkap simbol huruf, memahami bunyi serta menghubungkan huruf–bunyi–makna. Oleh sebab itu, anak dengan kapasitas kognitif lebih tinggi akan lebih cocok dan cepat menguasai keterampilan membaca melalui penerapan metode sintetik. Sebaliknya, anak yang memiliki daya tangkap yang cenderung terbatas akan lebih tepat dilatih menggunakan metode analitik.
Kedua adalah faktor bahasa. Faktor ini berkaitan dengan dua hal yaitu kekayaan kosakata dan lingkungan berbahasa. Anak-anak yang memiliki kekayaan kosakata tinggi (biasanya hidup di daerah perkotaan) akan lebih cepat menguasai keterampilan membaca jika dilatih melalui penggunaan metode analitik. Sebaliknya, anak-anak yang memiliki kekayaan kosakata terbatas (biasanya hidup di daerah pedesaan) akan lebih cepat menguasai keterampilan membaca jika dilatih melalui penggunaan metode sintetik.
Ketiga adalah faktor perseptual-motorik. Faktor ini berkaitan dengan apa yang paling memicu (merangsang) kognisi anak, apakah visual atau auditori. Anak yang lebih mampu mempersepsi melalui kemampuan visual, lebih cocok dilatih melalui penerapan metode kata atau kalimat. Sebab, mereka mudah mengenali dan memahami bentuk, simbol, serta gambar. Anak dengan kemampuan auditori kuat (sensitif pada bunyi, mudah menirukan suara), cocok dilatih menggunakan metode fonik/bunyi. Anak yang sudah memiliki koordinasi motorik halus, lebih cepat dalam menulis, sebaiknya dilatih menggunakan metode SAS.
Keempat, adalah faktor motivasi dan minat. Guru dan orang tua tentunya memperoleh gambaran tentang motivasi dan minat anak/siswa. Ada anak yang suka meniru kata/kalimat utuh dari buku cerita. Metode pembelajaran membaca yang tepat adalah metode analitik. Ada anak yang suka mengeja dan mencoba bunyi-bunyi huruf. Metode yang tepat adalah analitik. Ada anak yang memiliki motivasi intrinsik, misalnya sering melihat kakak atau orang tuanya asyik membaca, ingin memahami isi cerita buku yang dibaca kakak, orang tua, atau teman, dan sebagainya. Metode yang tepat adalah metode global.
Kelima, adalah faktor sosial-emosional. Guru atau orang tua hendaknya juga memahami faktor sosial-emosional anak/siswa sebab hal itu merupakan pertimbangan bagi pemilihan dan penetapan metode pembelajaran membaca yang sesuai. Ada anak/siswa yang pemalu atau kurang percaya diri. Metode yang tepat adalah metode yang berbasis konteks dan bermakna (global, kalimat). Ada anak yang pemberani dan suka mencoba serta senang bereksperimen. Metode yang tepat adalah metode bunyi atau suku kata.
D. Sistem Pendukung (Support System)
Suatu program, baik pelatihan atau pembelajaran memerlukan sistem pendukung. Artinya, hal-hal penting yang seharusnya ada atau tersedia bagi keterlaksanaan pelatihan atau pembelajaran tersebut. Dalam hal ini, melatih atau membelajarkan keterampilan membaca bagi anak/siswa usia prasekolah hingga memasuki jenjang pendidikan dasar, terutama di kelas rendah. Sistem pendukung itu sangat penting, bahkan, mungkin lebih penting dibandingkan dengan penerapan metode pelatihan atau pembelajaran itu sendiri.
Sistem pendukung pertama adalah peran aktif orang tua. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan orang tua sangat besar dalam mendukung keterampilan, minat, maupun kebiasaan membaca anak. Dalam artikel “The Role of Parents in Encouraging a Reading Habit in Children” (Redbridge International Academy, 2024) dinyatakan bahwa orang tua dapat mendukung keterampilan, minat, dan kebiasaan membaca di antaranya melalui: (1) memberikan iklim yang menunjukkan bahwa orang tuanya gemar membaca secara rutin, (2) menyediakan buku-buku bacaan yang relevan dengan usia dan kebutuhan anak, (3) membacakan buku melalui membaca nyaring (reading aloud), (4) menyusun dan melaksanakan jadwal aktivitas membaca dalam rumah tangga, dan tentunya (5) mengembangkan suasana yang menyenangkan ketika terlibat dan melibatkan anak dalam aktivitas membaca serta latihan membaca. Bahkan, dari sumber lain, yaitu “Influence of Reading to Children on Early Language Development” (WOHM, World Humanitarian Movement, 2023) dinyatakan bahwa kebiasaan orang tua membacakan buku kepada anak yang baru berusia 10 bulan ternyata akan membangun fondasi yang kokoh bagi anak dalam mengembangkan penguasaan bahasanya (termasuk membaca dan menulis).
Sistem pendukung kedua adalah pengenalan anak terhadap lambang-lambang bunyi atau huruf (termasuk angka-angka sederhana, seperti 1 s.d. 10, atau lebih tergantung keingintahuan anak). Apa pun metode pelatihan yang dikembangkan, pengenalan anak terhadap huruf (abjad) amat penting. Taufik, et.al. (2019), dalam artikel “Learning through Play: Improving the Reading Skills through the Joyful Phonetics of Pre-School Children” mengungkapkan simpulan bahwa pengenalan huruf dengan cara yang menyenangkan merupakan sesuatu yang fundamental bagi pengembangan keterampilan membaca anak. Dalam artikel “Basics: Phonics and Decoding” (readingrockets.org, 2022) juga dinyatakan bahwa dalam pembelajaran atau pelatihan membaca, terlebih dahulu anak harus memahami prinsip alfabetis, yaitu keterkaitan dengan bunyi dan lambang bunyi. Dari artikel lain yang ditulis oleh Algamal dan Altairi (dalam Journal on English as a Foreign Language, JEFL, 2024) yang berjudul “Efficiency of phonics-based instruction in developing reading, spelling, and pronunciation fluency among Yemeni EFL primary learners” juga dinyatakan bahwa penguasaan alfabet merupakan fondasi yang kokoh bagi murid-murid SD di Yaman.
Sistem pendukung ketiga adalah suasana yang menyenangkan. Topik tentang suasana yang menyenangkan sebenarnya sudah diungkapkan sekilas pada pembahasan sebelumnya. Namun, hal itu perlu ditegaskan lagi. Relevan dengan kondisi sosio-emosional anak, suasana yang menyenangkan sangat mendukung proses dan hasil pelatihan membaca. Prinsip sederhananya adalah, “belajar sambil bermain, bermain sambil belajar.”
E. Penutup
Upaya mengimplementasikan metode pembelajaran membaca yang tepat bukanlah sekadar upaya teknis, melainkan juga strategi mendasar untuk memastikan anak memperoleh haknya dalam literasi sejak dini. Dengan memperhatikan faktor kognitif, bahasa, perseptual-motorik, motivasi, hingga sosial-emosional, guru dan orang tua dapat memilih pendekatan yang sesuai bagi setiap anak. Lebih jauh lagi, keberhasilan pembelajaran membaca tidak hanya terletak pada metode yang digunakan, tetapi juga pada dukungan lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah, yang mampu menumbuhkan minat serta kecintaan anak terhadap membaca.
Tuna-baca akan menyulut kemungkinan kegagalan anak dalam meraih masa depan. Kemungkinan yang pasti adalah anak akan gagal dalam berliterasi. Padahal, UNESCO menegaskan bahwa literasi merupakan hak dasar manusia yang menjadi fondasi pembelajaran sepanjang hayat. Dengan demikian, guru, orang tua, dan masyarakat perlu bersinergi agar hambatan membaca dapat diminimalisasi sejak dini, sehingga lahirlah generasi literat yang kritis, kreatif, serta siap menghadapi tantangan zaman.
Terkait dengan kasus yang diungkapkan dalam ilustrasi (siswa kelas VII belum lancar membaca), diajukan saran agar diberi pelatihan khusus di luar jam PBM. Metode pelatihan yang tepat adalah metode global. Sebab, siswa seusia tersebut namun belum lancar membaca, cenderung memiliki rasa percaya diri yang rendah.
1 comment
Benar sekali pak. Sesuai kondisi sekarang ini yang serba digital, anak-anak banyak mengeluh apabila disuruh membaca buku cetak . Upaya penerapan GLS juga sudah dilakukan, namun masih banyak anak-anak yang enggan ketika disuruh membaca teks yang panjang. Setelah membaca artikel bapak, saya baru tahu bahwa dalam melatih membaca anak banyak metode yang dapat kita lakukan seperti, metode sintetik, metode analitik, dan metode campuran. Kemudian banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengimplementasian metode ini seperti mempertimbangkan kognitif, bahasa, perseptual-motorik, motivasi dan minat, serta sosio-emosional anak. Terima kasih, Pak.