Mary Elizabeth Anania Edwards (3 Juli 1949 – 7 Desember 2010) atau lebih populer dipanggil Elizabeth Edwards adalah salah seorang pengacara terkemuka di AS. Selain itu, tokoh ini juga berkiprah dalam dunia kepenulisan dan aktivis perawatan kesehatan. Sebagai penulis, tokoh ini pernah mengungkapkan pernyataan, “She stood in the storm, and when the wind did not blow her way, she adjusted her sails”. Pernyataan ini merujuk kepada keperkasaaan perempuan. Perempuan akan bertahan di tengah badai dan ketika angin tidak berhembus dalam perjalanannya, dia akan menyesuaikan layar (perahunya). Perempuan bukan hanya perkasa. Gender ini memiliki kemampuan tinggi untuk beradaptasi dengan keadaan, dengan realitas.
Input ide perempuan itu insan yang perkasa pada kesadaran diri penulis mulai terakumulasi pada pertengahan tahun 2021. Saat itu, penulis dimintai bantuan seorang sahabat untuk menjadi saksi di pengadilan atas perkara kepemilikan rumah KPR BTN. Ketika obrolan serius selesai dengan pengacara menjelang sidang di pengadilan, entah mengapa topik beralih ke masalah perceraian. Inti pernyataan pengacara tersebut adalah 70% (entah dari mana angka itu datangnya) kasus perceraian di Kota Padang diprakarsai oleh pihak istri, pihak perempuan. Intinya, istrilah yang berinisiatif untuk minta diceraikan, bukan suami yang menceraikan istri.
Wacana penulis tentang hal itu semakin berkembang. Sebagai gambaran umum, penulis sajikan dalam bentuk dua ilustrasi.
Ilustrasi pertama, tentang seorang sahabat (laki-laki) yang meninggal dunia karena kecelakaan lalin sebelum memasuki masa pensiun. Hubungan penulis dengan (sebut saja X) sangat akrab. Sahabat seperjuangan, baik semasa studi maupun ketika di dunia kerja. Silaturahmi antara keluarga penulis dengan keluarga X pun terjalin erat. Singkat cerita, X meninggal. Istri X sangat terpukul. Sejak itu, silaturahmi istri X dan istri penulis semakin intens: beberapa kali mengikuti majelis taklim dalam seminggu, jalan-jalan, bahkan windows shopping. Belum sampai tiga bulan sejak X meninggal, sering terpampang di DP, IG, dan medsos lain istri X yang sehat, semangat, jauh lebih ceria dibandingkan semasa hidup berdampingan dengan X. Ekspresi diri yang tentunya lebih murni, bukan dibuat-buat. Relatif berbeda dengan ekspresi-ekspresi di DP medsos sebelumnya yang terkesan dibuat-buat atau dipaksakan. Bisik istri penulis, “…. Dia lebih berbahagia dan perkasa sekarang dibandingkan sebelum X meninggal. Sebab, ternyata selama hidup berumah tangga, dia sangat tertekan. Suaminya terlalu keras dan menekan”. Entah apa makna diksi menekan itu namun memberikan gambaran umum bahwa selama berumah tangga, istri X tidak, atau lebih etis lagi, kurang berbahagia.
Ilustrasi kedua, juga tentang seorang sahabat (perempuan), sebutlah Y. Hubungan penulis dan keluarga dengan Y dan keluarganya juga cukup akrab meski tidak seakrab dengan X. Sahabat seperjuangan semasa studi namun bukan di dunia kerja. Kami meniti karir yang berbeda. Identik dengan ilustrasi sebelumnya, suami Y meninggal dunia. Perbedaannya, Y dan suaminya sama-sama sudah pensiun. Keidentikan yang lain, X bersahabat dengan Y. Otomatis, istri penulis juga bersahabat erat dengan Y. Mereka bertiga beberapa kali terlibat dalam acara-acara yang sama. Perubahan diri Y jauh lebih fantastis dan drastis dibandingkan dengan X ketika terlibat kasus yang sama: suaminya meninggal. Hanya dalam kurun waktu dua bulan setelah suaminya meninggal, Y tampil lebih glowing, ceria, bahkan tubuhnya yang dulu terlalu kurus sekarang sudah berisi. Tampilan tentang hal itu bukan hanya di DP jejaring medsos, tetapi juga secara kasat mata dalam kehidupan keseharian. Kembali, istri penulis berbisik, “…. Y lebih berbahagia dan perkasa sekarang dibandingkan dengan sebelum suaminya meninggal. Sebab, ternyata selama hidup berumah tangga, dia sangat tertekan. Suaminya terlalu keras dan menekan”. Kali ini, penulis penasaran, ingin memperoleh gambaran yang lebih tegas. “Apa contoh menekan?”. Istri penulis memberikan contoh, “Bayangkan. Keduanya kan PNS. Nah, setiap bulan Y harus setor penghasilan kepada suaminya. Suaminya yang mengatur keuangan rumah tangga. Apa pun, termasuk keuangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”.
Fenomena kaum perempuan yang lebih perkasa, lebih tegar, dan bahagia setelah ditinggalkan suami tentunya masih dianggap sebagai fenomena terbatas. Suatu anomali. Namun, toh, realitas tentang hal itu benar-benar ada. Realitas yang bertentangan dengan pandangan umum, apalagi pandangan klasik bahwa perempuan itu tercipta dari tulang rusuk Adam.
Pemikiran anomali bukan hanya disebabkan oleh keanehan cara pandang manusia tentang realitas. Sesuatu dapat dikatakan sebagai anomali meskipun pada awalnya dianggap sebagai suatu kelaziman, bahkan mungkin sesuatu yang bermuatan etika. Misalnya, berkirim kabar via surat, menggunakan kertas bertulisan tangan. Hal ini dinyatakan oleh Steve Carell (kelahiran 16 Agustus 1962 di, Concord, Massachusetts) dan sekarang populer dikenal sebagai komikus AS. Carrel menyatakan, “Sending a handwritten letter is becoming such an anomaly”. Penulis, hingga tahun 1980 selalu berkirim kabar kepada orang tua melalui surat bertulis tangan. Meski, pada saat itu sudah memiliki mesin ketik. Pandangan umum tetap kekeh, pada saat itu, bahwa berkirim surat dengan tulisan mesin ketik kepada orang tua itu merupakan sesuatu yang tidak sopan, tidak etis. Nah, sekarang, jangankan bertuliskan tangan, kebiasaan berkirim surat sebagai korespondensi silaturahmi dengan keluarga pun tidak lagi menggunakan surat. Berbagai fasilitas media komunikasi sosial tersedia, misalnya email, WhatsApp, Facebook, Telegram, dan sebagainya.
Pemikiran anomali juga dapat berasal dari pengalaman subjektif individu. Sebagai contoh, masih lazim diyakini bahwa bagi anak muda (katakanlah, gadis), diputuskan hubungan cintanya oleh kekasihnya adalah suatu penderitaan yang superpedih. Serasa, dunia ini kiamat. Skeeter Davis, pada tahun 1962 melantunkan lagu tentang itu dengan judul “The End of The World”. Namun, dengan nada satire, Davis mengungkapkan dalam lagunya bahwa ketika dunia serasa kiamat karena diputuskan hubungan cintanya oleh sang kekasih, ternyata saat esoknya terbangun cahaya matahari masih sama, hangat dan cerah. Burung-burung pun masih berkicau riang. Nah, Davis mengisyaratkan pesan, terutama bagi kaum perempuan bahwa ketika diputuskan hubungan cintanya oleh lelaki, memang sedih. Namun, bukan berarti dunia ini sudah kiamat.
Hidup jalan terus. Life is goes on. Itulah seruan John Lennon dan Paul McCartney (The Beatles, 1968) dalam lagu Ob-La-Di Ob-La-Da yang bernada ceria. Lagu ini mengungkapkan kisah singkat percintaan antara Desmond dan Molly. Keduanya berasal dari dunia yang berbeda. Desmond berkecimpung di dunia bisnis, Molly di dunia entertain. Toh keduanya mampu melanjutkan percintaan ke jenjang rumah tangga dan hidup berbahagia bersama. Nah, perempuan-perempuan yang ditinggalkan lelaki pun punya hak untuk hidup jalan terus dan meraih kebahagiaan. Baris terakhir lirik Ob-La-Di Ob-La-Da … /And if you want some fun/Take ob-la-di-bla-da/. Ya, life is goes on.