Banyak pendapat umum (common sense) yang berkembang bahwa membaca merupakan keterampilan berbahasa pasif. Ternyata, pandangan seperti itu tidaklah benar. Membaca bukan sekadar aktivitas melafalkan kata atau kalimat, melainkan proses berpikir yang kompleks. Pembaca membangun makna dari teks melalui interaksi antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan informasi baru yang diperoleh dari bacaan. Jadi, dalam menyusun pemahaman ada interaksi aktif, antara informasi berian (given information) yang merupakan isi teks dengan pengetahuan awal yang dimiliki pembaca. Proses tersebut ada enam tahap, yaitu sebagai berikut ini.
Pertama, pengenalan simbol tulisan. Bahasa yang utama adalah bahasa lisan. Bahasa tulis merupakan representasi bahasa lisan. Representasi tersebut dinamakan ortografi. Dalam Bahasa Indonesia, panduan ortografinya adalah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang dilengkapi dengan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI). Oleh karena itu, proses paling awal dalam membaca adalah mengenali simbol tulisan, baik berupa huruf, angka, maupun tanda baca. Pengenalan simbol ini memungkinkan pembaca mengembangkan fonem dan grafem: rangkaian lambang bunyi menjadi suku kata dan akhirnya kata.
Kedua, pencocokan informasi dengan pengetahuan awal. Berdasarkan hasil pengenalan simbol hingga tataran grafem dan kata, pembaca mengaitkan pemahaman tersebut dengan pengetahuan awal yang dimiliki. Jadi, semacam proses dialektika internal. Oleh karena itu, kualitas dan kuantitas pengetahuan awal pembaca akan menentukan hasil dialektika tersebut. Pada saat itu, informasi baru (dari teks) dicocokkan dengan skemata yang sudah ada. Misalnya, ketika mengenali judul teks “gempa bumi”, pembaca akan menghubungkannya dengan pengalaman pribadi, pengetahuan geografi, atau berita serupa yang pernah diketahui.
Ketiga, penyusunan makna pada tataran kalimat dan paragraf. Setelah mengenali kata dan struktur kalimat, pembaca mulai menyusun makna pada tingkat yang lebih besar, yaitu koherensi lokal atau hubungan antarkalimat dalam satu paragraf. Pada proses selanjutnya, pembaca menyusun pemahaman pada tataran koherensi global yaitu keterpaduan antarparagraf dalam satu teks utuh. Proses ini membantu pembaca memahami ide pokok, gagasan pendukung, serta alur logis teks.
Keempat, penyusunan inferensi dan elaborasi. Pemahaman tidak hanya berasal dari teks yang eksplisit, tetapi juga dari inferensi (penyimpulan makna yang tersirat). Misalnya, pada teks tertulis “Sungai itu meluap setelah hujan deras semalaman,” pembaca dapat menyimpulkan adanya potensi banjir. Rujukan itu juga dihubungkan dengan kalimat sebelumnya, misalnya Sungai Citarum Elaborasi terjadi ketika pembaca memperluas makna dengan menghubungkannya pada informasi lain di luar teks.
Kelima, penyusunan evaluasi dan integrasi. Pada tahap ini, pembaca mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Tujuannya ada tiga, yaitu (a) mengevaluasi kebenaran, relevansi, dan keterandalan informasi, (b) mengintegrasikan bacaan dengan pengetahuan atau pengalaman baru, dan (c) menyusun simpulan atau sikap tertentu terhadap isi bacaan.
Keenam, penyusunan refleksi dan tindak lanjut yang bersifat aplikatif. Pada tahap ini, pembaca mengembangkan refleksi, yaitu menimbang kembali isi teks dalam hubungannya dengan kehidupan nyata. Hasil refleksi ini dapat diaplikasikan dalam bentuk perubahan sikap, pemecahan masalah, atau lahirnya gagasan baru. Hasil proses terakhir ini kembali disimpan dalam skemata individu yang kelak digunakan lagi ketika pembaca kembali melakukan aktivitas membaca pemahaman.
Deskripsi proses dalam membaca pemahaman, dari proses ke-1 hingga ke-6 membuktikan bahwa membaca itu keterampilan aktif. Dalam menyusun pemahaman, pembaca membutuhkan strategi, konsentrasi, dan keterlibatan penuh secara mental. Pemahaman tidak hanya berhenti pada sekadar mengenali kata, tetapi ke arah evaluasi kritis, integrasi makna, hingga refleksi yang aplikatif. Proses inilah yang menjadikan membaca sebagai sarana penting untuk membentuk individu yang literat, kritis, dan berwawasan luas.