Rasionalisasi tentang Besarnya Kuota Jam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah
Rasionalisasi tentang Besarnya Kuota Jam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah

Rasionalisasi tentang Besarnya Kuota Jam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah

0 Shares
0
0
0

Pengantar dan Ilustrasi

Untuk mengantarkan isi teks ini, disajikan dua ilustrasi singkat. Sebenarnya, ilustrasi tersebut mengisyaratkan hal yang sama. Hal itu adalah alasan atau rasionalisasi berkaitan dengan besarnya atau tingginya kuota jam pembelajaran mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia dibandingkan dengan mapel lain di tingkat sekolah menengah pertama.

Ilustrasi pertama, tentang seorang instruktur yang sedang bersemangat menjelaskan konsep Deep Learning di sebuah aula dinas pendidikan, di hadapan sekitar 30 orang guru SMP dari berbagai mapel. Pada sesi tanya-jawab, instruktur tersebut mengajukan pertanyaan, “Saya heran dan cemburu. Saya kan berlatar belakang guru PPKN. Yang saya herankan, mengapa di SMP jam mapel Bahasa Indonesia itu paling banyak porsinya. 6 Jam. Sementara, PPKN hanya 3 jam. Pelajaran PPKN sepertinya dianaktirikan. Coba, siapa yang bisa menjelaskan penyebab hal ini?” Beberapa orang guru mapel Bahasa Indonesia memberikan tanggapan. Di antaranya, “Ya, Pak. Bahasa Indonesia kan penghela ilmu pengetahuan. Bagaimana mungkin siswa dapat menjawab soal, menjelaskan, menuliskan hasil pengerjaan tugas, dan sebagainya jika keterampilan berbahasa Indonesianya rendah?”

Ilustrasi kedua, tentang instruktur lain yang dengan nada berseloroh namun menyentuh, bertanya kepada peserta pelatihan guru Mapel Bahasa Indonesia yang berjumlah kira-kira 35 orang. Pertanyaannya, “Mengapa saya berani menyatakan bahwa Mapel Bahasa Indonesia adalah mapel terpenting di SMP? Coba jawab namun jawaban itu harus benar-benar tepat dan tidak mengundang debat kusir dengan guru-guru mapel lain.” Beberapa orang peserta menjawab namun jawaban itu ditepis oleh instruktur karena cenderung memicu konflik dengan guru mapel lain, misalnya “Karena kita hidup di Indonesia …. Karena Bahasa Indonesia adalah Bahasa Nasional …”, dan sebagainya. Instruktur itu pun mengungkapkan kunci jawaban yang sangat sederhana, “Karena, jumlah jam pembelajarannya paling banyak!”

Pembelajaran Bahasa dalam Konteks Trivium

Sekolah menengah pertama merupakan lembaga pendidikan lanjutan dari sekolah dasar. Oleh sebab itu, selayaknya dibahas secara singkat konsep dasar pendidikan di tingkat dasar.

Konsep klasik tentang pendidikan dasar yang menjadi tonggak utama bagi pengembangan, terutama pengembangan kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan dasar (SD dan SMP) adalah Trivium. Konsep ini berkembang pada masa menjelang Abad Pertengahan (tahun 476 s.d. 1500 Masehi). Salah seorang pelopornya adalah Boethius (Manlius Severinus Boethius, 480 – 526).

Dalam Trivium, dinyatakan bahwa mapel utama di tingkat dasar ada tiga. Jadi, wajar jika Trivium sering diistilahkan sebagai the place where three roads meet, simpang tiga, atau lazim juga diistilahkan tiga pilar utama. Ketiga pilar tersebut adalah grammar (tata bahasa), logika, dan retorika.

Dua dari tiga pilar, yaitu tata bahasa dan retorika jelas merupakan dua bidang kajian dalam pembelajaran bahasa. Nah, secara komputatif, 2/3 pilar utama pembelajaran di tingkat sekolah dasar adalah bahasa. Meskipun, patut juga dipertimbangkan bahwa konsep retorika bukan hanya terkait dengan pembelajaran bahasa tetapi juga bidang lain yaitu etika dan estetika. Etika dikaitkan dengan bagaimana kesantunan berkomunikasi, estetika terkait dengan bagaimana penerapan teknik yang indah, yang mengena, atau yang enak sehingga komunikasi itu menyenangkan pihak mitra komunikasi.

Rasionalisasi atas konsep Trivium yang menunjukkan pembelajaran bahasa merupakan pilar utama pendidikan di tingkat dasar adalah dikembangkannya pembelajaran yang dikenal dengan Membaca Menulis Permulaan atau disingkat MMP di kelas satu s.d. tiga. Kelas ini dikenal dengan kelas rendah. Di kelas tinggi, yaitu kelas empat s.d. enam MMP dilanjutkan dengan Membaca Menulis Lanjut atau disingkat menjadi MML. Keterampilan membaca dan menulis merupakan jenis literasi dasar. Jadi, seharusnya, setelah menamatkan pendidikan di tingkat dasar, individu sudah memiliki minat, pengalaman, dan keterampilan membaca dan menulis yang ideal atau yang tinggi

Pembelajaran Bahasa dalam Konteks Pengembangan Wawasan

Ludwig Wittgenstein (Ludwig Joseph Johann Wittgenstein, 1889—1951) seorang filsuf matematika sekaligus filsuf bahasa kelahiran Austria dan berdomisili di Inggris menyatakan, “The limits of my language means the limits of my world”, keterbatasan (penguasaan) bahasa seseorang identik dengan keterbatasan dunia (wawasan). Pernyataan tersebut identik dengan ungkapan bijak China klasik yang bersifat anonim, yang dibahasa-Inggriskan menjadi “To learn a language is to have one more window from which to look at the world“. Malahan, salah satu poin penting dalam ungkapan China klasik tersebut adalah perlunya manusia menguasai lebih dari satu bahasa.

Konsep wawasan merupakan kajian yang luas. Dalam tulisan ini dipersempit menjadi pemahaman atas dunia. Logika sederhananya, setiap objek yang ada di dunia ini, baik konkret maupun abstrak pasti memiliki nama, memiliki kata yang mewakilinya. Bagaimana mungkin, seseorang memahami harimau jika orang tersebut tidak mengenal kata harimau? Demikian halnya dengan objek-objek yang bersifat abstrak seperti pahala, dosa, sorga, neraka dan sebagainya. Objek lain bersifat dinamis sekaligus relatif, misalnya kemakmuran, keadilan, kenyamanan, dan sebagainya. Semakin banyak kata yang dikuasai (yang lazim disebut kosakata), semakin luaslah pemahaman seorang atas dunia ini, semakin luas wawasannya. Bukan hanya itu, selain luas wawasannya, semakin mudah pula orang itu mengungkapkan atau mengomunikasikan wawasannya.

Dalam arti sempit, wawasan dikaitkan dengan adanya mata-mata pelajaran. Wawasan kebangsaan, misalnya, merupakan kajian Mapel Pendidikan Kewarganegaraan (KWN) atau Pendidikan Pancasila, wawasan estetika merupakan kajian Mapel Kesenian, wawasan religi merupakan kajian Mapel Pendidikan Agama, dan sebagainya. Dengan adanya relevansi kosakata dengan ide atau wawasan, mudah dinalar bahwa semakin kaya kosakata siswa, semakin luas pula wawasannya dalam berbagai kajian bidang mata-mata pelajaran. Hal ini yang mendasari ungkapan “Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan.”

Dalam kajian yang lebih spesifik, yaitu internal pembelajaran Bahasa Indonesia, pengembangan wawasan siswa dikaitkan dengan tema-tema. Pembelajaran bersifat tematik. Misalnya, dalam pembelajaran teks eksposisi, ditentukan temanya tentang lingkungan hidup. Jadi, selain mempelajari teks eksposisi, siswa juga dikembangkan wawasannya untuk memahami lingkungan hidup. Minimal, menguasai kosakata bidang lingkungan hidup.

Pembelajaran Bahasa dalam Konteks Pengembangan Keterampilan Berpikir

Keterkaitan antara berbahasa dan bernalar memicu pertanyaan yang menarik. Pertanyaan tersebut adalah, “Mana yang dulu, berbahasa atau berpikir?” Pertanyaan itu tidak identik dengan pertanyaan jebakan Batman, misalnya “Mana yang dulu, ayam atau telur?” Penjawab hanya harus mencermati pilihan mana yang dinyatakan terlebih dahulu dalam pertanyaan, ayam atau telur.

“Mana yang dulu, berbahasa atau berpikir?” Jika dijawab, berpikir mendahului berbahasa, jawaban itu memiliki titik kelemahan. Bukankah untuk berpikir diperlukan bahasa, setidak-tidaknya berbahasa secara internal? Misalnya, 2 x 2 = 4. Bukankah 2 itu dibahasakan secara internal menjadi dua, x dibahasakan secara internal menjadi kali, dan seterusnya. Jika dijawab, berbahasa mendahului berpikir, jawaban itu juga memiliki titik kelemahan. Apa yang dibahasakan jika tidak ada ide? Berdasarkan pertanyaan tersebut, berkembanglah konsep instrumentalisme: bahasa merupakan sarana untuk berpikir.

Relasi antara berbahasa dan berpikir bersifat timbal-balik. Bahasa merupakan instrumen untuk berpikir, sebaliknya bahasa juga membentuk bagaimana pola pikir seseorang. Hal itu dikemukakan oleh Benjamin Lee Whorf (1987—1941), seorang linguis sekaligus insinyur bidang kehutanan yang menyatakan, “Language shapes the way we think, and determines what we can think about.” Ide ini melandasi kajian etnolinguistik, keterkaitan antara bahasa dengan kebudayaan. Jadi, dalam kajian budaya internal di Indonesia, misalnya, pola pikir Masyarakat Minangkabau jelas akan berbeda dengan pola pikir masyarakat lain seperti Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya karena struktur Bahasa Minangkabau berbeda dengan struktur bahasa etnis lain tersebut. Dalam kajian budaya eksternal, pola pikir masyarakat Indonesia akan berbeda dengan pola pikir masyarakat Amerika, China, Jepang, dan sebagainya.

Bahasa merupakan sarana untuk berpikir dan pembentuk pola pikir seseorang dalam konteks internal. Artinya, berlangsung dalam diri seseorang. Lebih dari itu, bahasa juga merupakan sarana untuk mengungkapkan hasil berpikir dalam konteks komunikasi eksternal. Tidak mengherankan, seorang teknolog kenamaan, eksekutif pabrik mobil Ford (AS), yaitu Lee Iacocca menyatakan “You can have brilliant ideas, but if you can’t get them across, your ideas won’t get you anywhere.” Seseorang mungkin saja mempunyai ide brilian, namun jika tidak mampu mengungkapkan ide tersebut, ide itu hanya sekadar ide yang akan lenyap terkubur.

Pernyataan Lee Iacocca secara tersirat juga mengungkapkan ide perbedaan antara berpikir dan berbahasa. Seseorang yang pikirannya sedang kacau, tentu berbahasanya juga akan kacau. Sementara, jika seseorang menguasai atau memiliki bahasa yang kacau, justru orang itu tidak akan mampu berpikir dengan baik.

Pembelajaran Bahasa dalam Konteks Pengembangan Kepribadian dan Sosialisasi

Sebenarnya, berdasarkan deskripsi sebelumnya dalam artikel ini sudah tergambar bahwa bahasa berhubungan dengan kepribadian. Misalnya, sejalan dengan konsep yang telah dikemukakan oleh Whorf. Sebab, pola pikir seseorang juga merupakan penentu bagaimana sosok kepribadian orang tersebut. Jadi, pembelajaran bahasa juga terkait dengan pengembangan kepribadian siswa. 

Keterkaitan antara bahasa dan kepribadian tergambar dalam ungkapan yang sudah lazim, yaitu “Bahasa menunjukkan kepribadian.” Ungkapan yang singkat. padat, dan mudah dipahami. Tutur kata (termasuk diksi), keruntutan struktur (misalnya dalam konteks frase, klausa, dan kalimat) plus kesantunan berbahasa seseorang menggambarkan kepribadian orang tersebut. Logika ini juga yang sangat mendukung ajaran dan anjuran agar seseorang harus memiliki minat, kebiasaan, pengalaman, dan keterampilan membaca yang tinggi. Dari bacaan-bacaan yang telah dilahapnya itulah seseorang akan memiliki kekayaan kosakata sehingga ketika digunakan dalam komunikasi akan mampu memilih, menetapkan, dan menggunakan diksi yang tepat. Dari bacaan-bacaan yang telah digelutinya itulah seseorang akan mampu menata dan menggunakan struktur yang efektif ketika berbahasa atau berkomunikasi. 

Disayangkan, ungkapan bijak-bestari “Bahasa menunjukkan kepribadian” cenderung dipahami dan digunakan secara eksklusif. Padahal, ungkapan tersebut seharusnya juga dipahami secara inklusif. Secara inklusif, “Bahasa itu pembentuk kepribadian.” 

“Bahasa itu pembentuk kepribadian.” Pernyataan ini berdampak luas terhadap berbagai dimensi kehidupan, namun dalam tulisan ini hanya dikaitkan dengan pengembangan kepribadian dan sosial. Bahasa orang tua atau bahasa dalam lingkungan rumah tangga jelas merupakan konteks lingkungan pertama dalam kehidupan anak. Dapat dibayangkan, bagaimana jika bahasa serta interaksi dan komunikasi rumah tangga adalah bahasa yang kacau, misalnya bahasa indomie, sakarek (Bahasa) Indonesia, sakarek (Bahasa) Minangkabau (intinya, bahasa campur-aduk tidak jelas antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Minangkabau). Tentunya, anak juga akan membentuk kepribadiannya secara kacau. Akibatnya, sosok kepribadian yang kacau juga. Identitas budaya dan identitas sosial anak menjadi kabur

Selain jenis bahasa yang digunakan, nada bahasa juga memengaruhi pembentukan dan sosok kepribadian anak. Pernyataan yang cukup tepat mewakili ide tersebut adalah, “Gunakanlah bahasa yang keras, penuh dengan perintah, umpatan, caci-maki, dan larangan, maka anak akan menjadi sosok penakut, pengecut, bahkan mungkin pecundang. Gunakanlah bahasa yang penuh dengan sindiran atau cemeeh, maka anak akan menjadi sosok yang sinis. Sinis terhadap manusia dan kemanusiaan, juga terhadap hidup dan kehidupan. Gunakanlah bahasa yang lembut dan tuturan santun, maka anak akan menjadi sosok pribadi yang penuh percaya diri, tegar, dan bertanggung jawab.”

“Bahasa itu pembentuk kepribadian.” Dalam konteks pembelajaran, dan proses belajar-mengajar, jelas bahasa yang digunakan guru (juga dosen, tentunya) patut dicermati. Penelitian terbaru tentang teacher talks yang dilakukan oleh Peihong Wu & Zhimin Wang (2025) yang dimuat dalam artikel berjudul “The Impact of The Student Perception of Teacher Talk on Student Language Learning Attainment” mengungkapkan bahwa bahasa yang digunakan guru memengaruhi rasa percaya diri siswa serta pencapaian hasil belajar bahasanya. Dalam realitas keseharian, mungkin dijumpai “guru/dosen yang populer di kalangan siswa/mahasiswa”. Salah satu penyebabnya tentunya adalah penggunaan bahasa guru/dosen tersebut ketika mengelola proses belajar-mengajar.

Penutup dan Refleksi

Mudah-mudahan, deskripsi isi dalam tulisan ini telah memberikan sumbangsih jawaban atas pertanyaan, “Mengapa porsi atau kuota jam pembelajaran terbanyak di SMP itu Mapel Bahasa Indonesia.” Namun, hal itu bukan tanpa resiko. Mapel Bahasa Indonesia merupakan salah satu sokoguru pendidikan di SMP. Jika pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia itu berkualitas, akan berkualitas pula pendidikan di sekolah tersebut. Sebaliknya, jika pelaksanaan pembelajaran Mapel Bahasa Indonesia tidak berkualitas, akan anjlok pula kualitas pendidikan di sekolah tersebut.

Salah satu hal penting yang patut direfleksikan adalah dampak tuturan guru dalam mengelola PBM. Tentu saja, bukan hanya tuturan guru-guru Mapel Bahasa Indonesia, tetapi guru-guru semua mapel. Tuturan guru yang jelas, lembut, bersahabat, dan simpatik bukan hanya mempermudah siswa menyerap atau memahami pelajaran namun juga membantu siswa dalam mengembangkan kepribadiannya. Sebaliknya, tuturan guru yang keras, penuh dengan ancaman dan intimidasi justru akan menghambat siswa dalam memahami pelajaran. Akibat fatal lainnya, siswa akan membenci mata pelajaran tersebut.

Siniar Audio

3 comments
  1. Secara keseluruhan, karya Dr. Nursaid, M.Pd. inj memiliki kekuatan argumentatif yang tinggi karena mampu mengaitkan urgensi pembelajaran Bahasa Indonesia dengan fondasi teori klasik (Trivium) hingga pemikiran filsuf modern seperti Wittgenstein dan Benjamin Lee Whorf. Pemaparan bahwa Bahasa Indonesia berfungsi sebagai penghela ilmu pengetahuan sangat relevan, sebab bahasa menjadi instrumen utama bagi siswa dalam memahami berbagai mata pelajaran. Selain itu, karya ini berhasil menunjukkan keterkaitan bahasa dengan pola pikir, kepribadian, serta mutu pendidikan, sehingga memberikan landasan filosofis sekaligus praktis bagi pentingnya pembelajaran bahasa di sekolah.
    Namun demikian, tulisan ini juga dapat semakin kuat bila ditambahkan ilustrasi kontekstual dari praktik pembelajaran di kelas, misalnya contoh bagaimana strategi pengajaran bahasa meningkatkan literasi atau bagaimana peran tuturan guru berdampak langsung terhadap motivasi siswa. Dengan demikian, karya ini bukan hanya kaya secara konseptual dan teoritis, tetapi juga lebih aplikatif untuk mendukung pembaruan pedagogi Bahasa Indonesia di sekolah.

  2. Tulisan ini memiliki kekuatan argumentatif yang tinggi karena mampu mengaitkan urgensi pembelajaran Bahasa Indonesia dengan fondasi teori klasik (Trivium) hingga pemikiran filsuf modern seperti Wittgenstein dan Benjamin Lee Whorf. Pemaparan bahwa Bahasa Indonesia berfungsi sebagai penghela ilmu pengetahuan sangat relevan, sebab bahasa menjadi instrumen utama bagi siswa dalam memahami berbagai mata pelajaran. Selain itu, karya ini berhasil menunjukkan keterkaitan bahasa dengan pola pikir, kepribadian, serta mutu pendidikan, sehingga memberikan landasan filosofis sekaligus praktis bagi pentingnya pembelajaran bahasa di sekolah.
    Namun demikian, tulisan ini juga dapat semakin kuat bila ditambahkan ilustrasi kontekstual dari praktik pembelajaran di kelas, misalnya contoh bagaimana strategi pengajaran bahasa meningkatkan literasi atau bagaimana peran tuturan guru berdampak langsung terhadap motivasi siswa. Dengan demikian, karya ini bukan hanya kaya secara konseptual dan teoritis, tetapi juga lebih aplikatif untuk mendukung pembaruan pedagogi Bahasa Indonesia di sekolah.

  3. Menurut saya, karya Dr. Nursaid, M.Pd. memang pantas dihargai karena berhasil menempatkan pelajaran Bahasa Indonesia bukan sekadar mata pelajaran, tapi juga sebagai penopang penting dalam pendidikan. Tulisan ini kuat dari sisi pemikiran dan cocok dengan kondisi pendidikan kita. Hanya saja, akan lebih menarik lagi kalau dilengkapi dengan data nyata, contoh yang jelas, dan ditonjolkan sisi kebaruan supaya tidak hanya jadi bahan renungan, tapi juga bisa langsung diterapkan di lapangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *