Simulakra, Hiperrealitas, serta Dampak Negatif Kecanduan Video Pendek di Kalangan Anak-Anak
Simulakra, Hiperrealitas, serta Dampak Negatif Kecanduan Video Pendek di Kalangan Anak-Anak

Simulakra, Hiperrealitas, serta Dampak Negatif Kecanduan Video Pendek di Kalangan Anak-Anak

0 Shares
0
0
0

“Our success as a country begins in the earliest years of children’s lives.Ungkapan bijak ini diungkapkan oleh Bridget Phillipson (lahir 19 Desember 1983),  Menteri Pendidikan Britania Raya (semenjak 2024).  Phillipson berkeyakinan bahwa kesuksesan suatu negara diawali oleh kualitas kehidupan tahun-tahun pertama anak-anak. Meski tidak sama, Sukarno (Presiden pertama RI) juga mengungkapkan pernyataan yang identik dengan itu, di antaranya “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” dan “Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia.”  Kali ini, pernyataan tentang kualitas kehidupan anak-anak merupakan dasar pemikiran untuk menyoroti dampak buruk tayangan video-video pendek terhadap kesehatan sosio-emosional dan mental anak-anak, terutama usia masa emas (golden age) yaitu rentang 0 s.d. 5 tahun, prasekolah (3 s.d. 6 tahun), hingga usia sekolah (6 s.d. 12 tahun).

Fenomena menjamurnya video pendek di dunia maya diawali pada tahun 2020. Masa sekarang, TikTok berhasil merajai pemroduksian video pendek, disusul oleh Instagram (IG) melalui fitur Reels. YouTube tidak mau kalah. Melalui fitur Shorts-nya, diproduksilah secara masif video-video pendek. Pemroduksian dan penyebaran video pendek juga tak luput dari kecanggihan teknologi berbasis Artificial Intelligence (AI). 

Video-video pendek, meskipun ada yang bermuatan hoaks, tidak selalu bermuatan hal negatif. Berbeda dengan hoaks. Meskipun demikian, demi algoritma platform, demi, cuan, content creator video pendek cenderung tidak mempertimbangkan faktor isi atau konten. Yang diidam-idamkan para content creator adalah kuantitas views, like, dan subscribe. Jika perlu, comment sebagai masukan bagi content creator demi pembuatan video pendek berikutnya. Ujung-ujungnya juga, cuan.

Konsumen video-video pendek memang bukan hanya kalangan anak-anak. Cermatilah tempat-tempat umum, seperti lingkungan pasar, taman, stasiun, bahkan di pelataran-pelataran kampus atau fasilitas bagi mahasiswa untuk bercengkerama dan beristirahat, akan ditemukan para penikmat video pendek. Menekur, kadang senyum-senyum, bahkan tertawa sambil matanya tertuju ke layar gawai. Seorang sahabat yang rutin ke pasar raya setiap hari, sambil tertawa menceritakan bahwa para tukang parkir, bahkan penjaga toilet asyik menekur menikmati tayangan video pendek pada waktu bertugas

Pengaruh atau dampak negatif kecanduan menonton video-video pendek di kalangan anak-anak sudah mendapatkan perhatian yang serius. Silakan cek di beberapa media online seperti Tempo, Merdeka, Kompas, dan Kumparan. Meskipun demikian,  fenomena anak-anak asyik menekur menikmati video pendek tetap merebak. Tampaknya, kesadaran masyarakat, terutama orang-orang tua, terhadap bahaya kecanduan menonton video pendek di kalangan anak-anak masih tetap rendah. Bahkan, banyak orang tua yang dengan kesadaran penuh memberikan gawai kepada anak-anak dan mengizinkan mereka asyik menonton video pendek dengan berbagai alasan. Misalnya, demi ketenangan karena anak-anak jika sudah asyik dengan gawainya akan tenang, tidak merengek, menangis, tantrum, atau mengganggu aktivitas orang tua. Sepertinya, anak menikmati efek plasebo (meminjam istilah medis): akan merasa lebih nyaman dan tenang meskipun diberi asupan yang tidak tepat berupa video-video pendek via gawai. 

Asupan dalam video-video pendek tersebut cenderung berupa simulakra (jamak, tunggalnya adalah simulakrum), yang berpotensi berkembangnya hiperrealitas di kalangan anak-anak. Konsep simulakra (simulacra) dan hiperrealitas (hyperreality) diperkenalkan oleh Jean Baudrillard (27 Juli 1929 – 6 Maret 2007). Baudrillard adalah seorang sosiologis sekaligus filsuf dari Perancis. Tokoh ini juga merupakan pakar dalam bidang teknologi komunikasi dan budaya kontemporer. Keterkaitan antara kecanduan video pendek dengan simulakra dan hiperrealitas adalah sebagai berikut ini.

Memang, tidak semua asupan (maksudnya adalah sesuatu yang dijadikan content) berupa simulakra. Misalnya, dalam video-video di kanal Jurang Ampel Official atau Sitinjau Lauik Truck Video versi Shorts. Namun, para content creator video pendek cenderung menyajikan simulakra: realitas yang sudah dibengkokkan sehingga membentuk realitas baru yang cenderung jauh berbeda dengan realitas objektif. Bagi orang dewasa atau yang sudah mampu berpikir realistis, simulakrum seperti itu tidak akan menimbulkan masalah. Orang dewasa memahami bahwa itu hanya tayangan hiburan, hanya kreativitas. Misalnya, ketika menonton Jurassic Park, film-film Harry Potter, atau Transformers, atau film-film produksi Marvel Studio. Berbeda dengan anak-anak. Ketika menonton video pendek tentang adanya makhluk purba yang mengamuk dan menyerang sebuah daerah, atau tentang kereta api yang bisa terbang, dan sebagainya, hal itu dianggap realitas yang sebenarnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika suatu malam anak-anak akan terjaga dari tidurnya, menggigil ketakutan karena bermimpi tentang monster. Jangan heran, jika ketika bermain-main dengan kereta api mainan tiba-tiba melempar, menerbangkan kereta api mainannya itu. Jangan heran, jika anak-anak takut memasuki kamar mandi pada malam hari karena berkeyakinan di kamar mandi ada binatang buas-aneh yang siap-siap memangsanya. Dalam kondisi seperti itu, anak sudah membangun hiperrealitas: realitas yang sangat berlebihan, sangat tidak objektif atau sangat berbeda, mungkin berlawanan dengan realitas yang sebenarnya di dalam otaknya. Tentu saja, kondisi otak yang sudah demikian akan berdampak sangat buruk terhadap sosio-emosional, bahkan kepribadian.   

Salah satu kepribadian buruk yang mungkin terdampak akibat kecanduan video pendek sehingga anak menimbun hiperrealitas adalah tipisnya kepekaan sosial anak. Ketika anak sedang menikmati video-video pendek, dirinya tidak memedulikan lingkungan sekitar. Jangankan terhadap lingkungan sekitar, terhadap dirinya sendiri pun tidak peduli. Bahkan, anak cenderung mengabaikan rasa haus dan lapar pada saat itu.  Tentu saja, hal itu akan berbuntut pada timbul dan berkembangnya gangguan pencernaan. 

Anak juga cenderung mudah tantrum. Misalnya, pada saat asyik menonton video-video pendek, tiba-tiba baterai gawainya drop, mungkin juga karena adanya gangguan jaringan internet dan kehabisan kuota paket data.  Atau, penyebab lain yang berasal yang bersifat eksternal, misalnya gawainya direbut oleh sang adik, atau diambil-paksa orang tua karena memerlukan gawai tersebut pada saat itu. Kebiasaan tantrum itu sendiri berdampak sangat negatif, mungkin anak akan melukai diri sendiri, orang lain, bermasalah dalam bersosialisasi (baik dengan anak sebaya maupun orang-orang dewasa di lingkungannya), dan yang paling parah  adalah berkembangnya gangguan mental seperti depresi, fobia, dan sebagainya yang lazim disebut sebagai gangguan neurosis.

Kecanduan video-video pendek juga akan menyebabkan rentang waktu kemampuan berkonsentrasi amat pendek. Jika suatu video hanya berdurasi dua menit, maka dalam satu jam anak akan mengonsumsi tiga puluh video atau bahkan lebih. Hal itu diperparah oleh kebiasaan anak untuk men-scroll video yang baru ditonton hanya sekian detik karena tayangannya tidak sesuai dengan keinginannya. Coba bandingkan, misalnya anak sedang belajar: 2 menit belajar membaca, ganti dengan 2 menit belajar berhitung, ganti lagi 2 menit untuk belajar bernyanyi.  Jadi, anak yang sedang asyik menikmati tayangan video-video pendek serabutan, pada akhirnya tidak memperoleh sesuatu yang utuh, komprehensif, dan bermakna. Justru, yang ia peroleh adalah kekacauan berpikir yang diakibatkan oleh informasi yang sangat variatif, apalagi informasi itu berupa simulakra. Bukan hanya simulakra, mungkin malah realitas anomali yang tidak akan tercerna dengan baik oleh kemampuan berpikirnya. 

Esai ini hanya dimaksudkan untuk mengungkapkan betapa buruknya dampak kecanduan menonton video-video pendek di kalangan anak-anak. Tentang bagaimana cara mengatasinya, mungkin akan disajikan dalam esai lain. Sebagai penutup, dikutip pernyataan John F. Kennedy (JFK, Presiden AS ke-35) “Children are the world’s most valuable resource and its best hope for the future”. Ya, anak-anak adalah aset negara yang tak ternilai. Anak-anak adalah masa depan suatu negara.

Siniar Audio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *