Suntiang Pisang Masak Saporak: Antara Harapan dan Kenyataan
Suntiang Pisang Masak Saporak: Antara Harapan dan Kenyataan

Suntiang Pisang Masak Saporak: Antara Harapan dan Kenyataan

0 Shares
0
0
0

Langit nagari Koto Nan Gadang, Kota Payakumbuh sore itu mendung, udara agak dingin dan angin berhembus agak kencang. Sepasang suami istri yang sudah menua tampak duduk di ruang tamu rumah mereka di kawasan Napar, Payakumbuh Utara. 

Mereka adalah Damardas Datuk Mangun Nan Putiah (72) dan Misnah (72) sesekali mereka saling memandang dan terkadang memandang ke arah jalan di depan rumah mereka. Wajah keduanya terlihat datar namun sesekali terlihat juga mendung kegelisahan dari pandangannya. Cuaca mendung di luar seperti tampak di wajah keduanya.

Namun seringkali juga pandangan mereka serentak tertuju pada satu arah, lemari hias yang ada di ruang tamu itu. Setiap memandang ke arah lemari hias tersebut pasangan tersebut terlihat seperti menahan gelisah. Dalam lemari tersebut terlihat beberapa jenis perhiasan kepala, pengantin dan salah satunya adalah suntiang atau sunting yang merupakan perhiasan kepala pengantin wanita di Minangkabau

Keduanya wajar saja gelisah, Misnah merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mantan Ketua Bundo Kanduang kota Payakumbuh. Suaminya Damardas Datuk Mangun Nan Putiah juga pensiunan PNS sekaligus seorang ninik mamak dan tokoh adat di nagari Koto Nan Gadang tersebut. 

Sunting yang menjadi objek pandang mereka tersebut adalah sunting khas Kota Payakumbuh, atau lebih khususnya sunting khas nagari Koto Nan Gadang. Sunting tersebut Bernama Suntiang Pisang Masak Saporak bentuknya agak unik, sepintas terlihat kurang menarik dan kurang glamor, tidak seperti sunting pengantin Wanita Minangkabau yang sering digunakan di resepsi pernikahan saat ini.

Perlahan Damardas akhirnya berdiri, membuka lemari hias tersebut dan mengambil sunting Pisang Masak Saporak, kemudian menaruhnya di meja kecil di depan mereka. Kemudian Misnah mengambil kapas dari dalam lemari tersebut dan mulai menggosok gosok beberapa bagian dari sunting tersebut yang terlihat berdebu. Tangan Misnah dan Damardas dengan telaten dan pelan terus menggosok-gosok sunting tersebut. 

Dua pasang tangan renta tersebut bergetar namun terus menggosok setiap bagian dari sunting itu, tarikan napas mereka terlihat berat, mata keduanya terus menatap kedua sunting tersebut, seolah terus menggali dan memahami filosofi dan makna dari setiap ornamen yang ada.

Suntiang Pisang Masak Saporak, dalam bahasa Indonesia saporak berarti satu kebun yang luas. Dengan kata lain Suntiang Pisang Masak Saporak berarti sunting yang menggambarkan pisang matang dalam jumlah yang banyak atau pisang yang matang bersamaan dalam satu kebun. 

Hanya saja saat ini penggunaan Suntiang Pisang Masak Saporak sudah sangat jarang ditemukan atau digunakan pengantin wanita acara pesta pernikahan di Payakumbuh. Masyarakat lebih cenderung memakai sunting yang saat ini dikenal dengan nama Suntiang Gadang atau Suntiang Padang bagi pengantin wanita dalam acara pesta perkawinan, termasuk di kota Payakumbuh umumnya, maupun di nagari Koto Nan Gadang khususnya.

Kenyataan ini mengundang keprihatinan dari berbagai pihak di kota Payakumbuh, terutama mereka yang paham serta mempunyai kaitan langsung dengan keberadaan dan kelestarian sunting Pisang Masak Saporak tersebut. Mereka prihatin karena Suntiang Pisang Masak Saporak yang merupakan ciri khas pengantin wanita dari kota Payakumbuh itu sekarang hanya sebatas tulisan dalam buku-buku pelajaran budaya.

Misnah yang mantan seorang Bundo Kanduang nagari Koto Nan gadang, dan orang yang paham dengan filosofi dari sunting Pisang Masak Saporak, tentu merasa sangat prihatin dengan kenyataan yang ada sekarang akan keberadaan sunting tersebut.

Keberadaan sunting yang kaya akan makna filosofi tersebut mulai hilang dalam pesta pernikahan, Saat ini keberadaan sunting ini hanya dalam pawai-pawai pekan budaya atau dalam festival-festival budaya saja.

Dikatakan Misnah, sunting Pisang Masak Saporak berasal dari nagari Koto Nan Gadang dan Koto Nan Ampek, Payakumbuh, kemudian menyebar ke daerah Tiakar, Payobasuang, Air Tabik,Taram, Batu Bolang, Koto Tuo.

Misnah menjelaskan, pemakaian dari pakaian adat Suntiang Pisang Masak Saporak itu juga ada aturannya. Pemakainya adalah Anak Daro (pengantin perempuan) yang berasal dari gadis bukan janda. Syarat lainya yang boleh memakai sunting ini adalah orang-orang yang mempunyai Pangulu (penghulu) yang merupakan kepala suku dalam suatu kaum. Sedangkan orang-orang yang tidak memiliki pangulu asli dari keturunannya biasa disebut malakok tidak diperbolehkan menggunakan Suntiang Pisang Masak Saporak ini.

Dijelaskan Misnah dirinya selalu risih ketika diundang untuk menghadiri resepsi pernikahan di kota Payakumbuh. Misnah merasa tidak berada di Payakumbuh karena dalam resepsi yang dihadirinya itu rata-rata pengantin wanitanya menggunakan Suntiang Gadang atau Suntiang Padang, kenyataan ini tentu saja sulit diterima oleh Misnah.

“Kalau yang menikah itu bukan orang Payakumbuh asli saya masih terima, ini sudah jelas mereka orang Payakumbuh, jelas sukunya, jelas penghulunya, eh mereka malah memakai Suntiang Padang,” jelas Misnah dengan nada tinggi.

Misnah menduga kendala tidak digunakan lagi Suntiang Pisang Masak Saporak dalam acara pesta perkawinan saat ini dikarenakan persyaratan pemakaianya. Selain persyaratan harus punya penghulu atau orang asli, faktor lainnya adalah bentuk dari sunting ini memang kurang indah dibandingkan dengan Suntiang Gadang yang dari segi bentuk yang lebih besar. Selain itu juga dikarenakan kurangnya pengetahuan dari masyarakat muda mengenai keberadaan serta filosofi dan makna yang terkandung pada Suntiang Pisang Masak Saporak tersebut.

Sebagai mantan Ketua Bundo Kanduang, darah Misnah mendidih, amarahnya seringkali menggelegak. Ia merasa Suntiang Pisang Masak Saporak sudah dilecehkan, tidak ada lagi penghargaan terhadap nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam sunting itu.

“Namun sekarang saya terpaksa pasrah saja, bagaimanapun juga saya tidak bisa menutupi kenyataan, Suntiang Pisang Masak Saporak perlahan menuju kemusnahan,” kata Misnah lirih sembari terus memandang Suntiang Pisang Masak Saporak yang diletakan di atas meja di depannya, matanya terlihat berkaca-kaca. 

Misnah menyatakan bahwa dirinya juga telah mencoba berusaha untuk mempertahankan Suntiang Pisang Masak Saporak dengan berbagai cara. Dia pernah minta dukungan pemerintah daerah, tapi yang didapat sunting itu hanya ditampilkan ketika karnaval dan festival saja. Padahal, Misnah berharap lebih dari itu. Misnah berharap adanya aturan yang mewajibkan warga asli Payakumbuh untuk menggunakan Suntiang Pisang Masak Saporak dalam acara pernikahan di keluarga mereka.

“Harusnya ini menjadi perhatian semua pihak di Payakumbuh, jangan sampai barangnya sudah tiada atau tinggal cerita saja baru kita menyesal,” ujar Misnah.

Namun akhirnya jalan yang dapat ditempuh Misnah hanyalah dengan tetap memakai sunting tersebut bagi pengantin perempuan dalam acara pesta pernikahan di lingkungan keluarga besarnya.

“Untuk memulai sesuatu yang baik tentu harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan kita sendiri, meskipun tidak ada yang mengikuti saya, bagi saya tidak ada masalah karena paling tidak saya dan keluarga besar saya sudah berusaha menjaga dan melestarikan,” ujar Misnah.

Sementara itu, Damardas Datuk Mangun Nan Putiah yang juga salah seorang tokoh masyarakat dan tokoh adat di Payakumbuh menjelaskan bahwasanya makna dan filosofi yang terkandung pada Suntiang Pisang Masak Saporak sangatlah dalam.

Dijelaskan Damardas, Suntiang Pisang Masak Saporak terbentuk dari beberapa tiang bagaikan pohon pisang yang berbuah sekali masak dalam sebuah kebun yang subur, tiang-tiang tersebut terdiri dari empat buah tiang di bagian tengah yang dikelilingi delapan buah tiang lainnya, tiang-tiang tersebut memiliki makna tersendiri.

“Seperti ungkapan bak pisang masak saporak, buah kuniang manggalimatang, manihnyo alang kapalang, pisang masak baupek podeh, sanang lah hati rang maliek, santoso lahia batin, badan sihat batuah salosai, rang kampuang buliah kasojuak-an,” jelas Damardas. 

Dikatakan Damardas, perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dan bernilai ibadah, artinya penggunaan Suntiang Pisang Masak Saporak ini haruslah ada atau didahului dengan ijab kabul terlebih dahulu. Artinya tidak bisa dipakai secara sembarangan hanya bisa dipakai pengantin wanita setelah dia melakukan ijab kabul.

“Hendaknya kita harus terlebih dahulu melaksanakan hutang syariat (agama), barulah melaksanakan hutang adat dengan memakai suntiang yang indah dan pakaian yang tidak melanggar syariat,” jelasnya.

Menurut Damardas dalam acara perkawinan kedua mempelai juga diiringi oleh Pasumandan (pengiring pengantin) yaitu ibu-ibu yang berasal dari keluarga pengantin berjumlah 4 orang yang merupakan rombongan pengantin menuju rumah pengantin laki-laki.) Yang boleh menjadi pasumandan adalah istri kakak laki-laki atau, istri mamak.

Pakaian yang digunakan Pasumandan ditentukan oleh umur mereka. Jika Pasumandan berumur 20-30 tahun, mereka menggunakan pakaian adat Lambak Ampek, Jika berumur 30-50 tahun menggunakan pakaian adat Cukua Kuniang, dan jika berumur 60 tahun lebih menggunakan pakaian adat Lambak Bintang

Terkait warga Payakumbuh asli yang tidak menggunakan Suntiang Pisang Masak Saporak bagi pengantin wanita dalam pesta perkawinan, Darmadas menyatakan telah berkomunikasi dengan pihak nagari.

“Hasilnya baru sebatas anjuran saja, artinya perempuan orang asli Payakumbuh atau mereka yang berpenghulu jika menikah disarankan menggunakan Suntiang Pisang Masak Saporak dalam pesta perkawinannya”, kata dia.

Dalam pandangan Damardas, anjuran atau himbauan tersebut tentu tidak mempunyai kekuatan apa-apa, dan pada kenyataanya Suntiang Pisang Masak Saporak tetap tidak digunakan padahal pihaknya mempunyai harapan sunting tersebut kembali wajib digunakan oleh pengantin wanita di Payakumbuh.

Bagi masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau), suntiang atau dalam bahasa Indonesia disebut sunting, merupakan elemen penting dalam upacara pernikahan. Suntiang berfungsi sebagai mahkota dan hiasan penutup kepala bagi pengantin wanita. Suntiang biasanya terbuat dari bahan-bahan seperti emas asli, kuningan, perak, atau bahan-bahan lain yang indah dan mewah, dan dirancang mengikuti syariat agama Islam

Selain itu suntiang juga dihiasi dan dipenuhi dengan berbagai ornamen seperti manik-manik, payet, dan hiasan-hiasan lainnya. Tidak hanya berfungsi sebagai hiasan untuk mempercantik penampilan pengantin wanita, tetapi juga melambangkan keanggunan, keindahan, serta status sosial dan ekonomi keluarga pengantin wanita. 

Hampir setiap daerah di Minangkabau mempunyai bentuk dan nama tersendiri dari suntiang. Di Kota Padang orang mengenal Suntiang Padang atau Suntiang Gadang, dari daerah Solok ada Suntiang Pisang Saparak, dari daerah Pariaman ada Suntiang Kambang Loyang, ada juga Suntiang Pisang Saikek dari kabupaten Pesisir Selatan, dari Kota Bukittinggi ada Suntiang Ikek Kurai. Ada juga Suntiang Ikek Limapuluh Kota, Suntiang Ikek Sungayang, Ikek Sijunjung, dan lain-lain.

Siniar Audio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *