Cuaca panas pada bulan Mei tahun ini memang luar biasa menyiksa. Tidak mengherankan, berita tentang bencana kebakaran di kota ini dapat diakses secara sporadis namun rutin. Mungkin, dalam waktu dua hari sekali, masyarakat, terutama yang akrab dengan medsos dapat mengakses adanya berita kebakaran. Mungkin kebakaran rumah, ruko, bahkan pabrik.
“Jangan mati dulu, ya ….”
Teriakan yang tak begitu lantang terdengar ketika Aku memasuki pintu kampus fakultasku jalur sepeda motor. Dari sebuah mobil yang berselisih arah dengan arah yang kutempuh. Mobil itu lambat-lambat saja, tidak berhenti. Aku berhenti sebentar karena dari kaca spion motor Aku menyimpulkan dapat berhenti sebentar. Ya, jalan depan kampus fakultasku memang tidak terlalu lebar. Tambahan, situasi lalu-lintas cukup ramai plus area jalan lebih sempit lagi karena di tepi jalan depan kampus berjajar beberapa gerobak jajanan.
Sambil mengangkat tangan kanan, Aku balas teriakan itu, “Jangaaaan …”.
Terdengar gelak tawa oknum yang berteriak tadi. Namun situasi jalan tidak memungkinkan untuk berhenti atau berlama-lama. Mobil itu terus melaju lambat dan Aku pun memarkir sepeda motor di area yang disediakan pihak kampus.
Hanya satu orang, selain Aku, yang akrab dengan salam, yel-yel, atau entah apa namanya, “Jangan mati dulu, Ya …”. Pasti Pak Datuk. Teriakan itu otomatis kami gunakan ketika bertemu atau menjelang berpisah. Jadi, semacam salam.
Salam konyol atau bahkan ngeri-ngeri sedap itu punya sejarah. Saat itu, kami menempuh pendidikan S3. Karena kami merupakan staf pengajar yang mengambil S3 di perguruan tinggi tempat kami mengajar juga, status kuliah kami adalah izin belajar. Bukan tugas belajar. Jadi, kami tetap mengajar meskipun sedang menempuh pendidikan. Nah, ada salah seorang rekan S3 yang dari provinsi lain yang sangat tekun, serius, dan bersemangat dalam kuliah. Kami menjulukinya, “Si Gesit”. Ujung-ujungnya, Si Gesit menyelesaikan studi paling cepat. Tiga tahun. Sayangnya, menjelang Si Gesit diwisuda jatuh sakit. Hasil diagnosis, kanker otak stadium 4.
Suatu saat, Aku dan Pak Datuk bezuk. Ternyata, di ruang yang hanya dihuni satu orang pasien itu, ada orang lain yang sedang menyuapi Si Gesit. Langsung, kami menebak bahwa itu Sang Istri. Sambil menyuapi, terdengar sugesti yang cukup jelas didengar, “Jangan mati dulu, ya Bang …”. Si Gesit mengangguk-anggukkan kepala dengan lemah sambil menjawab lirih, “Ya ….”.
Dua hari kemudian, Si Gesit meninggal.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Aku bertandang ke rumah Pak Datuk. Bukan bertandang. Tapi menggarap proposal disertasi. Menjelang pukul 12, Aku pamitan. Entah dorongan apa, ketika pamitan, dari mulutku meluncur kata-kata, “Jangan mati dulu, ya ….”. Pak Datuk terperanjat. Sejenak. Namun kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Apa jawabannya?”, tanya Pak Datuk.
“Apanya?” tanyaku bingung karena tidak menyangka bahwa salam konyol harus dijawab.
“Begini, pokoke jangan jawab ‘Ya’. Sebab, jika itu jawabannya, beberapa hari kemudian yang menjawab akan meninggal”. Jawabku sekenanya.
“Oh, ya. Ok. Jawabannya ……. ‘Jangaaan’. Setuju?” usul Pak Datuk.
Aku dan Pak Datuk memang mengajar di kampus yang sama. Namun, fakultas kami berbeda. Jadi, kami jarang bertemu. Apa lagi, perkuliahan di S3 sudah habis, tinggal menyusun proposal hingga ujian terbuka. Nah, setiap kami bertemu atau hendak berpisah, meluncurlah salam “Jangan mati dulu, ya ….”. Tidak ada ketentuan, siapa yang harus mengucapkan salam itu terlebih dahulu. Namun, ada ketentuan atas jawaban salam tersebut. Jawabannya adalah “Jangaaan ….”.
Cuaca pada bulan Juni masih panas menyengat. Namun agak berbeda dibandingkan bulan sebelumnya, Mei. Berbeda dengan keyakinan Sapardi Djoko Damono, sesekali pada bulan Juni turun hujan. Kadang justru sangat lebat. Namun sebentar-sebentar. Paling lama 20 menit, sesudah itu reda. Berita tentang bencana kebakaran pun sudah surut.
Pagi-pagi sesudah sarapan, kami berangkat dari Payakumbuh ke Padang, usai menikmati cuti bersama tiga hari. Pronomina kami merujuk pada Aku dan istriku. Sudah beberapa tahun belakangan ini Aku tidak mengemudi mobil untuk jarak relatif jauh. Payakumbuh—Padang itu relatif jauh. Namun, karena anak-anak tidak ada yang pulang libur, ya mau bagaimana lagi.
Lalu-lintas cukup padat. Biasa, arus balik usai liburan cuti bersama. Cuaca kurang cerah, berawan namun tidak ada tanda-tanda yang jelas akan datangnya hujan.
Ketika melewati daerah Baso, tiba-tiba ponsel berdering. Via nomor telp, bukan WA. Aku lirik, dari … nomor tidak dikenal. Beberapa kali ponsel berdering dari nomor yang sama. Aku biarkan saja. Istriku pun mengangguk-angguk, menyetujui sikapku untuk tidak mengangkat telepon ketika berkendaraan. Apalagi dari nomor yang tidak dikenal. Kecuali dari kerabat keluarga. Jika ingin mengangkat telepon atau menelepon ulang, kami sepakat untuk menepi dan menghentikan kendaraan sejenak. Ini telepon bukan dari kerabat keluarga. Sekitar lima menit dering ponsel berulang-ulang akhirnya berhenti.
Memasuki daerah Padang Luar, hujan tiba-tiba turun. Langsung sangat lebat. Lalu lintas yang amat padat mulai memudar. Namun, tetap saja Aku tidak bisa mempercepat mobilku. Tetap lambat-lambat, malah lebih lambat daripada sebelum hujan. Hujan lebat, berkabut tebal.
Kami memutuskan untuk beristirahat untuk ngopi di daerah sesudah Koto Baru. Ada sup hangat juga. Perjalanan sudah hampir 2 jam. Padahal, lazimnya kami tempuh paling lama dalam 1 jam dari Payakumbuh hingga Koto Baru.
Setelah ngopi, Aku memutuskan untuk menelepon ulang ke nomor tadi. Hampir setengah menit, tidak diangkat. Namun, kemudian terdengar isak tangis di sela suara hujan turun. Dari seorang perempuan.
“Maaas, tolong. Pak Datuk mengalami kecelakaan ….”, seru suara perempuan di sela isak tangisnya. Tanpa salam.
“Maaf, siapa ini?”, tanyaku agak bingung. Pak Datuk?
“Ini Ani, Mas. Istri Pak Datuk. Kami mau pulang kampung. Di Tabing kecelakaan parah. Sekarang di rumah sakit M. Djamil Padang” jawab perempuan itu.
Aku tercekat. Meski tidak kenal baik logat Bu Ani, tapi rasanya agak janggal. Atau pengaruh kualitas suara telepon? Ohh. Ya, istri Pak Datuk memang Ani. Aku tidak menyimpan nomor teleponnya. Tapi, bahasa Ani kok tidak runtut? Di Tabing kecelakaan?
“Astagfirullah. Apa yang bisa Aku bantu? Sedang dalam perjalanan. Bawa mobil. Dari Payakumbuh, mau ke Padang”, jelasku kaku.
“Maas, bisa transfer. Sepuluh juta saja. Sangat perlu. Mendesak. Pinjam dulu”, kata perempuan itu.
“Ok. Ke mana? Apa bank dan berapa nomor rekeningnya?”, jawabku agak gugup, sangsi, namun tidak mungkin membiarkan sahabatku tergeletak di rumah sakit.
“Ya Mas, segera ya. Ani SMS-kan saja”, jawab perempuan itu. Lancar.
Setelah membaca SMS itu, Aku aktifkan M-Banking. Walah. Kok bingung, PIN salah. Tiga kali. Akhirnya terblokir.
“Ada apa? Dari siapa?” tanya istriku agak curiga.
“Dari Bu Ani, istri Pak Datuk. Tadi alami kecelakaan. Sekarang di M. Djamil” jelasku di sela bunyi hujan turun yang makin mereda.
“Astagfirullah”. Parah, Mas? Bagaimana kondisinya?” tanya istriku.
“Kata Bu Ani Parah. Mungkin, sebaiknya kita langsung saja ke M. DJamil.” Jawabku,
Istriku tahu, kenal baik dengan Bu Ani. Bahkan dengan keluarga Pak Datuk. Termasuk anak-anaknya.
Aku putuskan untuk transfer uang via ATM saja. Nanti, di Padang Panjang,
Fasilitas ATM kami temukan di sekitar daerah menjelang pasar di Padang Panjang. Dalam perjalanan dari Koto Baru, Aku dan istriku sudah memutuskan untuk mengambil uang sepuluh juta. Dari dua ATM. Bukan untuk ditransfer. Tapi, langsung, diantar ke rumah sakit M. Djamil. Dering ponsel yang membabi-buta dari Bu Ani kami abaikan saja. Akhirnya, sepuluh menit lalu panggilan-panggilan itu terhenti. Toh keputusan sudah diambil.
Setelah berhasil mengambil uang di ATM, Aku coba menelepon Bu Ani. Nomor tidak aktif. Tiga kali Aku coba, tetap tidak aktif. Mungkin, baterai ponselnya drop.
Perjalanan dari Padang Panjang ke Padang justru lebih parah dari sebelumnya. Macet. Apa lagi di daerah Silaiang terjadi kecelakaan. Truk terbalik. Kami terjebak kemacetan yang cukup parah. Hingga, jelang pukul 13.00 kami baru sampai di Tabing. Lebih enam jam, dari Payakumbuh sampai ke Tabing. Biasanya, cuma tiga jam.
Rencana langsung ke rumah sakit M. Djamil pun berubah. Atas usul istriku. Langsung menuju ke rumah Pak Datuk. Toh, jalannya searah dengan jalan ke rumah sakit meski harus berbelok di daerah Air Tawar, agak 1 km.
Rumah keluarga Pak Datuk berada di luar sebuah kompleks perumahan. Pak Datuk membeli tanah dan membangun rumah di luar kompleks. Cukup lapang dan lega, baik ukuran rumah maupun halamannya. Kelihatan dua buah mobil di rumah itu. Sepi-sepi saja. Satu mobil sedang mundur, tampaknya hendak dimasukkan ke garasi.
Bu Ani keluar dari pintu depan, disusul seorang wanita tua. Ibunda Bu Ani atau ibu mertua Pak Datuk. Keduanya menjinjing tas-tas tangan. Tampaknya hendak bepergian. Aku dan istriku berpandangan. Heran. Bingung. Ternyata Bu Ani baik-baik saja. Tentunya, yang tadi memasukkan mobil ke garasi itu Pak Datuk.
Aku bunyikan klakson sambil memasuki pintu gerbang halaman rumah. Bu Ani kaget, memandang sejenak ke arah kami, sesudah itu tertawa riang.
“Hai, Mas. Bu Yet. Turunlah” seru Bu Ani ceria.
Aku memberi isyarat agar istriku turun terlebih dahulu dan menjambangi kedua perempuan, tuan rumah.
Sejurus kemudian, terdengar mereka tertawa terbahak-bahak. Tawa istriku dan Bu Ani yang khas. Ibunda Bu Ani hanya senyum-senyum saja. Tentunya, istriku sudah menceritakan peristiwa komunikasi via telepon dengan seseorang yang mengaku Bu Ani dalam perjalanan tadi, transfer via M-Banking yang gagal, serta pengambilan uang di ATM.
Aku turun dari mobil, menyusul istriku.
“Hai, Mas tertipu ya! Untung gagal transfer. Untung tidak transfer via ATM. Mana uang itu? Hayo, setor langsung saja”, kata Bu Ani mengolok-olok.
Pak Datuk tampaknya sudah selesai berbenah. Sesudah mengunci pintu garasi, Pak Datuk menghampiri kami dengan riang dan senyum lebar yang khas.
“Jangan mati dulu, ya ….”, serunya sambil mendekat.
Aku tercekat. Tidak seperti biasanya. Lancar membalas salam konyol itu sambil mengangkat tangan kanan. Sekarang tersumbat. Namun, akhirnya, ….. “Ya, jangaaaan ….” Jawabku tidak seperti biasanya.
Diam-diam Aku lirik istriku dan Bu Ani. Juga ibunda Bu Ani. Tampaklah kerut-kerut wajah kurang senang.
“Mas, ganti salam itu. Gak enak. Wak lah gaek-gaek. Itu … salam konyol. Ganti, Mas. Ganti, Pak Datuk!”, sergah Bu Ani bersemangat. Istriku juga mengangguk-angguk setuju.
Aku dan Pak Datuk saling pandang. Ada senyum kaku. Gawat, jika insan yang berasal dari planet Venus ini sudah bersepakat, insan yang berasal dari planet Mars harus mengalah. Silakan cek di YouTube misalnya. Di channel-channel hiburan. Kaum perempuan dijuluki sebagai ras terkuat di planet bumi.
Aku dan Pak Datuk saling pandang. Pak Datuk lebih mendekat, dan berbisik. “Ganti, salam yang syariah, Mas. Apa, misalnya? Mas kan orang bahasa”.
“Mmmm. Ok. Bagaimana kalau …’Takbiiiir’ ..”, jawabku sekenanya.
Pak Datuk menggeleng-geleng. “Itu sudah banyak dipakai. Yang khas ….”.
Aku memeras otakku dalam situasi yang sedang kurang kondusif. “Bagaimana jika, ‘ Panjang umuuuuuur ….” Usulku lagi.
Pak Datuk terdiam seolah-olah berpikir. Lalu, mengangguk-angguk. “Terus, apa jawabnya?” tanyanya.
“Emhhh. Bagaimana kalau sama dengan gaya sebelumnya? Pakai kata pertama. Misalnya, ‘Panjaaang’, usulku.
Tiba-tiba, Pak Datuk mundur beberapa langkah, sambil mengangkat tangan kanannya, keluarlah teriakan cukup keras, “Panjang umuuuur …..”.
Aku paham. Sambil mengangkat tangan kanan, keluarlah seruan balasan, “Panjaaaang …”.
Ras-ras terkuat di planet Bumi, insan-insan dari planet Venus di dekat kami hanya menggeleng-gelengkan kepala.
*) Awak lah gaek-gaek: Kita sudah tua-tua.
1 comment
Panjang umur papaaa ❤️