Seorang bujangan, sudah tua, tergeletak dengan kemeja biru muda bersimbah darah. Ia diperkosa, lalu mati ditikam tujuh kali. Mayat pria itu ditemukan di jalan setapak yang enggan dilalui penduduk.
“Siapa yang percaya berita bodoh macam ini?” Adi melemparkan ponselnya ke atas kasur.
“Pertanyaan sama kepada orang yang menghabiskan seharian hanya untuk membaca berita hoax.” Udin menatap malas ke arah Adi.
MALAM bagai gadis mengurai rambutnya yang kelam. Gurat-gurat cahaya lampu moonflower tak dapat menyinari seluruh kamar kos yang hanya berukuran 2 meter itu. Mereka sudah terbiasa berbagi single bed sejak menjadi maba pun kini di semester tua. Sebagai perantauan di kota metropolitan, perbedaan latar belakang yang tidak terlalu mencolok membuat mereka sepakat untuk menyewa satu kamar berdua.
“Din, bagaimana jika esok siang kita pergi ke rumah kosong yang kemarin kita lihat? Bisa saja rumah itu bisa kita sulap sebagai tempat persembunyian baru,” kata Adi kini duduk di jendela menatap bulan yang sempurna. Desir angin menyapu rambutnya yang sudah setahun tak bertemu tukang cukur. Ia menganggap itu bentuk perlawanan.
“Sulit, Di. Area sana rawan tukang bakso. Mereka akan memergoki dan melemparkan kita ke laut,” ucap Udin yang masih fokus dengan laptopnya. Ini adalah saat yang genting, namun tak segenting reformasi yang selalu digadang-gadangkan menjadi perlawanan terbesar. Padahal semua orang tahu siapa dalang di balik itu semua.
“Tapi, Din. Jika kita tidak bergerak dari sekarang, kita akan kehilangan momentum. Cukong-cukong itu sudah sangat keterlaluan. Semua seenaknya. Tak bisa kita terus berdiam begini.”
Langit sore itu memerah, seakan menandai ketegangan yang mulai merayap ke setiap sudut kampus. Di sebuah sudut rahasia, dua sosok sedang berdiskusi sengit. Adi, mahasiswa akhir yang rambut gondrongnya terurai liar, berdiri dengan tatapan tajam, sementara Udin, yang penampilannya rapi dengan kemeja lusuhnya, duduk di kursi, wajahnya datar namun sarat pikiran.
“Ini bukan sekadar gerakan, Din. Ini perlawanan. Kita harus melawan ketidakadilan!” Adi berbicara dengan semangat yang membara. Tangannya mengepal, mencengkeram udara seakan ingin meremas segala bentuk penindasan yang dirasakan mahasiswa akhir-akhir ini.
Udin menghela napas panjang, lalu membuka laptopnya. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik, matanya fokus pada layar di depannya.
“Kamu tahu, Di. Kadang melawan dengan cara seperti ini tidak akan membawa perubahan. Kita bisa lebih efektif kalau kita punya strategi yang cerdas, bukan cuma memanas-manasi massa.”
Adi mendengus.
“Strategi itu penting, tapi suara kita, Din! Suara rakyat! Kalau kita hanya duduk diam dan menunggu strategi, mereka akan terus menindas kita. Kamu dengan tulisanmu memang bisa membentuk opini, tapi orasi, gerakan nyata, itu yang bisa mengguncang kekuasaan!”
Udin berhenti mengetik sejenak, lalu menatap Adi.
“Aku tahu kamu bisa menggerakkan massa. Kamu punya karisma untuk itu. Tapi, apa kamu pernah berpikir tentang apa yang terjadi setelahnya? Ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan, apakah kamu yakin kita akan menang? Pemerintah bukan sekadar musuh yang bisa kita jatuhkan dengan pidato atau demonstrasi.”
Adi tersenyum tipis.
“Mungkin kita tidak akan menang hari ini. Tapi setiap langkah kecil yang kita buat adalah jalan menuju perubahan.”
Mereka berdua, meskipun berbeda cara pandang, tetap bekerja sama. Adi adalah suara gerakan; orator yang mampu membangkitkan emosi ribuan mahasiswa. Di sisi lain, Udin, meskipun pragmatis, adalah senjata di balik layar. Dengan kemampuannya menulis dan menyunting propaganda, ia mampu menyebarkan gagasan-gagasan perlawanan secara diam-diam melalui pamflet, artikel bawah tanah, dan media sosial.
Namun, ada sesuatu yang tidak diketahui oleh Adi dan kelompok lainnya.
Beberapa hari setelah rapat besar itu, Udin menerima sebuah panggilan telepon dari nomor tak dikenal.
“Kami tahu siapa kamu. Kami juga tahu apa yang kalian rencanakan,” suara di seberang telepon terdengar tenang, namun sarat ancaman.
Udin terdiam. Ia mengusap wajahnya yang lelah, matanya menatap jendela kecil di kamarnya yang gelap.
“Apa yang kalian inginkan?”
“Kami tidak ingin menghentikanmu. Kami hanya ingin kamu mempertimbangkan, siapa yang benar-benar kamu lawan. Pemerintah tidak selamanya jahat, Udin. Mereka hanya berusaha menjaga stabilitas. Dan kamu, dengan kemampuanmu, bisa menjadi bagian dari perubahan—dari dalam.”
Pikiran Udin berkecamuk. Pemerintah bukan hanya sekumpulan pejabat korup, mereka memiliki kekuatan, dan kekuatan itu bisa menjadi alat untuk mengubah sesuatu jika digunakan dengan benar. Tapi, apakah dia akan mengkhianati teman-temannya? Mengkhianati Adi?
Beberapa malam berikutnya, Udin semakin sering menemui orang-orang dari pihak berwajib. Mereka memberikan janji-janji, iming-iming posisi strategis, dan yang terpenting, mereka memintanya untuk membocorkan setiap rencana pergerakan kelompok mahasiswa.
Dan Udin, dengan berat hati, setuju.
Adi tidak tahu bahwa setiap rencana yang ia susun bersama teman-temannya, setiap orasi yang ia siapkan, telah sampai ke telinga pemerintah sebelum mereka melangkah. Beberapa aksi yang awalnya direncanakan dengan penuh keyakinan berujung pada penggerebekan mendadak, penangkapan mahasiswa, dan kekacauan. Adi mulai merasakan ada yang salah, tetapi ia tidak pernah menaruh curiga pada Udin, sahabat yang selalu ada di sampingnya sejak awal.
Hingga hari terakhir.
Adi berdiri di atas truk tua yang telah menjadi panggung orasinya. Di depannya, ribuan mahasiswa berkumpul, mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibirnya dengan penuh semangat.
“Inilah saatnya kita bersatu! Kita lawan ketidakadilan ini! Suara kita adalah kekuatan, dan hari ini, kita akan tunjukkan bahwa kita tidak akan diam!”
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara sirine mengoyak udara. Puluhan truk polisi dan aparat bersenjata datang dengan cepat. Mahasiswa yang tadinya bersemangat mulai mundur, panik. Adi terdiam sejenak, tidak menyangka ini akan terjadi secepat ini.
Udin, yang berdiri di sudut panggung, menatap pemandangan itu dengan hati yang berdesir. Ia tahu bahwa ini adalah akibat dari keputusannya. Namun, dalam hati kecilnya, ia berharap Adi akan selamat.
Tapi kenyataan berkata lain. Adi ditangkap malam itu, bersama puluhan mahasiswa lainnya. Tidak ada yang tahu ke mana Adi dibawa. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, teman-temannya mencari kabar, namun tak satu pun dari mereka menemukan petunjuk.
Sampai sebuah berita tersebar di sudut-sudut gelap kota. Adi, sang orator ulung, sang penggerak massa, telah tiada. Hilang dalam kegelapan, terbungkam oleh kekuatan yang terlalu besar untuk dilawan hanya dengan suara.
Udin membaca berita itu, matanya basah. Ia tahu bahwa dirinya lah yang membuka jalan bagi tragedi ini. Pemerintah memenuhi janji mereka; Udin mendapat posisinya, tetapi hatinya hancur. Setiap malam ia dihantui oleh wajah Adi, oleh suara yang dulu begitu kuat, kini hanya gema di dalam benaknya.
Dalam diam, Udin tahu, ia telah mengkhianati lebih dari sekadar seorang teman. Ia telah mengkhianati perjuangan yang lebih besar, perjuangan yang dulu ia anggap tidak mungkin dimenangkan.
Dan di sudut ruangan gelap, hanya ada satu kata yang terus menggaung di pikirannya.
Pengkhianat.
1 comment
Cerita mengalir dengan cepat. Tanpa terasa, selesai. Bagus. Pengkhianatan selalu meraja-lela, dalam skala kecil maupun besar. Tetap berjuang, Mel. Yang jelas, kerja keras tidak akan pernah mengkhianati hasil.