genap setengah tahun aku pergi
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata
Dalam estetika sastra, puisi selalu dilabeli sebagai medium yang lembut dan penuh cinta. Lalu bagaimana jika puisi itu menjadi senjata yang mampu menembus tembok kuasa? Seperti diisyaratkan dalam bait-bait sajak “Catatan” yang ditulis oleh Thukul – panggilan akrab penyair sekaligus aktivis Widji Thukul – aku pasti pulang, mungkin tengah malam dini … mungkin subuh hari, tapi jangan kau tunggu. Hingga kini tak ada kabar kepulangannya sejak tanggal 10 Februari 1998. Ia menjadikan kata-kata sebagai amunisi untuk melawan penindasan, menyuarakan perlawanan bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Bergerilya di bawah represi politik Orde Baru.
Widji Thukul memulai karier sastra dari realitas kehidupan sehari-hari yang ia jalani sebagai buruh dan aktivis. Puisi-puisinya berbicara dengan bahasa yang sederhana namun tegas, mencerminkan situasi nyata yang dihadapi oleh rakyat kecil. Sebagai bagian dari kelas pekerja, Thukul menulis dengan kesadaran penuh terhadap penderitaan yang dialami oleh buruh, petani, dan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Karya-karyanya tidak hanya menyampaikan rasa frustasi, tetapi juga menawarkan keberanian dan perlawanan. Salah satu puisi terkenalnya, “Peringatan”, mengandung seruan keras untuk melawan penindasan, dengan kalimat yang ikonik: “Hanya ada satu kata: Lawan!”
Dalam sejarah sastra perlawanan Indonesia, Thukul menempati posisi yang istimewa. Ia membawa genre sastra perlawanan ke level yang lebih tinggi dengan keterlibatan aktifnya dalam gerakan sosial dan politik. Thukul tidak hanya menulis dari jarak aman; dia terlibat langsung dalam aksi-aksi massa dan demonstrasi yang sering kali berisiko besar. Puisi-puisinya mengalir dari pengalamannya yang nyata di lapangan, dari interaksi langsung dengan rakyat kecil yang menghadapi ancaman kekerasan dan kemiskinan. Itulah yang membuat puisi-puisi Thukul memiliki daya tarik emosional dan politis yang sangat kuat.
Melalui karya seperti “Bunga dan Tembok”, Thukul menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat, meskipun tampak lemah dan terpinggirkan, mampu menghancurkan tembok ketidakadilan. Dalam puisi ini, Thukul menggunakan simbol bunga sebagai representasi rakyat, sementara tembok melambangkan kekuasaan yang represif. Bunga yang tampak rapuh pada akhirnya bisa meruntuhkan tembok yang kokoh. Pesan ini tidak hanya menggugah semangat perjuangan, tetapi juga memberikan harapan bahwa penindasan, betapapun kuatnya, dapat dikalahkan oleh ketabahan dan kebersamaan rakyat.
Thukul juga mengubah persepsi tentang puisi itu sendiri. Dalam pandangan konvensional, puisi mungkin dipandang sebagai bentuk seni yang abstrak dan estetis. Namun, Thukul membawa puisi ke ranah aksi politik. Dia menunjukkan bahwa kata-kata dalam puisi tidak hanya mampu menyentuh perasaan, tetapi juga memobilisasi tindakan. Baginya, puisi adalah senjata yang bisa digunakan untuk menentang kekuasaan yang tidak adil. Kata-kata dalam puisinya bagaikan peluru yang menembus kebungkaman dan ketidakadilan.
Tidak hanya dalam tema, tetapi juga dalam bentuk, Thukul menunjukkan keberanian untuk melawan konvensi sastra. Puisi-puisinya sering kali sederhana, langsung, dan tidak berbelit-belit. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari, yang memudahkan pembaca dari kalangan manapun untuk memahami dan merasakan pesannya. Dengan cara ini, Thukul memperluas jangkauan sastra perlawanan, menjadikannya lebih inklusif dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang menjadi subjek penindasan dalam karya-karyanya.
Thukul tidak pernah takut untuk menentang kekuasaan melalui kata-kata. Puisi seperti “Para Jenderal Marah-Marah” dengan jelas memperlihatkan keberanian Thukul dalam mengkritik militer dan penguasa yang korup. Sindiran-sindiran tajam yang ia gunakan tidak hanya menjadi ekspresi kemarahan, tetapi juga menantang langsung kekuasaan yang sewenang-wenang. Puisi ini memperlihatkan bagaimana kekuatan kata-kata bisa menjadi ancaman bagi mereka yang berkuasa, dan inilah yang membuat Thukul begitu berbahaya di mata rezim.
Setelah kehilangannya pada tahun 1998, Widji Thukul menjadi simbol perlawanan yang abadi. Meskipun secara fisik ia hilang, karyanya tetap hidup dan terus menginspirasi gerakan-gerakan sosial di Indonesia. Puisi-puisi Thukul dibaca oleh generasi baru yang meneruskan semangat perjuangannya. Bahkan setelah lebih dari dua dekade, karya-karyanya tetap relevan dalam konteks perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan, baik di bidang politik maupun sosial.
Jejak Widji Thukul dalam sastra perlawanan tidak hanya terbatas pada karyanya sendiri, tetapi juga mempengaruhi banyak penyair dan penulis muda. Gaya tulisannya yang lugas, tema-tema sosial yang diusung, serta keberaniannya dalam menantang kekuasaan telah menjadi inspirasi bagi banyak generasi penulis setelahnya. Mereka melanjutkan warisan Thukul dengan menggunakan puisi sebagai media untuk menyoroti isu-isu ketidakadilan di Indonesia, memperkuat posisi puisi sebagai alat perlawanan dalam masyarakat.
Widji Thukul meninggalkan jejak yang mendalam dalam sastra Indonesia. Karyanya menjadi bukti bahwa puisi tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi seni, tetapi juga sebagai alat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Melalui puisi, Thukul berhasil menyuarakan perlawanan rakyat yang tertindas, dan hingga kini, pengaruhnya masih terasa dalam gerakan sosial dan politik di Indonesia. Sebagai senjata, puisi Thukul terus menggema, melawan ketidakadilan, dan menyuarakan kebenaran yang tak akan pernah lenyap.