Pusako Bundo
Pusako Bundo

Pusako Bundo

0 Shares
0
0
0

Tema: Pengaruh Globalisasi terhadap Budaya

Tokoh:

  1. Bundo Kanduang
    (Perempuan terhormat di kaum, ibu Nurlaila, tegas, berumur 50 tahun, sangat peduli pada anaknya, berpakaian khas Bundo Kanduang yaitu baju kurung bludru dan tingkuluak tanduak)
  2. Nurlaila (Dewasa)
    (Anak dari Bundo Kanduang, keras kepala, egois, berumur 23 tahun, terlalu terbawa arus budaya kebarat-baratan, rambut digerai dengan cat berwarna pirang, baju ketat dan pendek, berbicara tidak sopan)
  3. Nurlaila (Kecil)
    (Wujud Nurlaila saat kecil, berumur 6 tahun, ceria)
  4. Mak Datuak
    (Kepala suku, tegas, agak arogan, berumur 60 tahun, memakai baju khas penghulu yaitu dengan saluak di kepala, sandang di bahu, keris di pinggang, dan tungkek.

Sinopsis:

Apabila kehidupan tak berjalan semestinya, akankah kita bisa menerima? Namun, tak satu dua persoalan yang bisa dimaklumi, tapi hingga wajah ini tak bisa menanggung malu. Tak ada yang dihargai lagi, semuanya sudah pupus. Akankah rumah gadang tak runtuh dari pijakannya?

Babak 1
Suasana 1
(Lampu sorot di tengah-tengah pentas)
(Musik “Minangkabau Tanah Nan Den Cinto”)

(Di tengah-tengah pentas, tampak Bundo Kanduang dan seorang anak perempuan berumur 6 tahun sedang bercengkerama dengan riang. Mereka duduk beralaskan kain berwarna jingga)

Backsound:
Minangkabau… tanah nan den cinto… Pusako bundo… nan dahulunyo… Rumah gadang… Nan sambilan ruang… Rangkiang baririk… di halamannyo…

(Bundo Kanduang dan anak kecil itu tertawa dengan riang)
Bundo Kanduang:“Nur… anak Bundo tercinta… tak terasa kini kau sudah besar, sudah bisa bercengkerama dengan Bundo… Mulai sekarang, inilah waktu yang tepat untuk memperkenalkanmu dengan adat kita, Minangkabau.”
(Bundo Kanduang mengusap pipi anak itu dengan lembut, lalu melanjutkan pembicaraannya)
Bundo Kanduang     : “Nur… perempuan di Minangkabau sangat dimuliakan. Sebab sistem tali darah di Minangkabau menganut kepercayaan matrilineal, yang mana pihak perempuan sangat diuntungkan. Harta pusaka diberikan kepada anak perempuan.”
Nurlaila:“Wah! Benarkah, Bundo?”
Bundo Kanduang:“Ya! Benar sekali! Dan jika wanita sudah cukup syaratnya menjadi Bundo Kanduang, sebagai pemimpin maka sifatnya harus sesuai. Tahu di nan bana jo luruih, cadiak jo pandai, adia jo panyaba, fasiah babicaro.”
(Nurlaila menggaruk kepalanya kebingungan)
Nurlaila:“Emm… apa maksudnya, Bundo?”
Bundo Kanduang:“Maksudnya, ia dituntut harus menjaga sesuatu yang dikerjakannya, bukan hanya Bundo Kanduang saja, tetapi juga untuk seluruh perempuan di Minangkabau.”
Nurlaila:Wah… kalau begitu, susah sekali menjadi perempuan di Minangkabau, ya Bundo? Harus sempurna di segala hal…” (Tidak semangat)
Bundo Kanduang: “Tentu saja tidak! Sebetulnya ini adalah hal yang mendasar bagi seorang perempuan di Minangkabau, sudah sepatutnya seperti itu. Perempuan di Minangkabau merupakan perhiasan, yang sepatutnya dirawat dan dijaga kemuliaannya.”
(Bundo tersenyum melihat Nur yang kebingungan. Lalu ia mengambil tingkuluak tanduak, memasangkannya di kepala Nur)
Bundo Kanduang:“Jika Nur sudah dewasa nantinya… Apakah kamu mau jadi Bundo Kanduang?” (Memasang tingkuluak tanduak di kepala Nur)
(Dengan kegirangan, Nur menjawab perkataan Bundo)
Nurlaila:“Mau sekali, Bundo! Nur mau seperti Bundo! Nur bangga jadi perempuan di Minangkabau!” (Semangat)
Bundo Kanduang:“Hahaha… baguslah kalau begitu… Semoga besok kamu bisa menggantikan Bundo, ya Nak.” (Tersenyum)
Nurlaila:“Iya, Bundo…”
(Mereka berdua berpelukan dengan bahagia)
(Lampu sorot perlahan padam)

Suasana 2
(Lampu menyorot ke sudut kiri)
(Musik sedih mendayu-dayu)
(Di sudut kiri panggung, berdiri Bundo Kanduang. Wajahnya tampak sedih, bercampur dengan kekecewaan yang ia rasakan. Matanya tampak memandang jauh, seperti membayangkan sesuatu. Sesekali ia menghela napas berat)

Bundo Kanduang:“Nur… anakku tercinta. Sudah sangat jauh kau pergi, Nak… Tak ingatkah kau dengan janji-janjimu? Mengapa sekarang seperti ini, seolah-olah Bundo tak pernah mengajarkanmu tentang kodratmu sebagai wanita?”
(Bundo Kanduang berjalan menuju tengah-tengah pentas)
Bundo Kanduang:“Tak ingatkah kau dengan rumah gadang ini? Tak malukah kau bercermin melihat dirimu sekarang dengan darah Minang yang mengalir di nadimu? Apa isi kepalamu, Nak? Di mana hati nuranimu?”
(Bundo Kanduang menangis terisak-isak)
Bundo Kanduang:“Tak kusangka putri semata wayangku akan seperti ini… Apakah aku salah dalam mendidiknya? Apakah ilmu yang kuberikan kurang? Apa… apa… apa aku terlalu keras dalam mendidiknya?”
(Musik berubah menjadi menegangkan)
(Tiba-tiba Mak Datuak masuk ke pentas. Lampu sorot menyinari wajah mereka. Bundo Kanduang menyeka air matanya dengan cepat)
Bundo Kanduang:“Wahai Mamak Datuak, junjungan kami. Hamba memohon maaf sebesar-besarnya, mengapa Mamak datang kemari? Apakah ada hal yang sangat penting hingga Mamak turun menemui saya?”
Mak Datuak:“Wahai Bundo Kanduang, limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pegangan kunci. Memang, ada hal yang serius akan kami bicarakan. Ini menyangkut dirimu.”
Bundo Kanduang:“Wahai Mamak, ampunkanlah denai. Beribu maaf, beribu ampun… Apakah diri saya melakukan kesalahan yang membuat Mamak semurka ini?”
Mak Datuak:
“Wahai Bundo Kanduang, wanita mulia, tapi ini bukan salahmu. Tapi…”
(Mak Datuak terdiam sebentar, lalu melanjutkan perkataannya)
Mak Datuak:“Tapi ini menyangkut tentang anakmu.”
(Bundo Kanduang terperanjat, terdiam tanpa kata-kata. Ia tak menyangka permasalahan ini sampai ke telinga Mak Datuak)
Mak Datuak:“Anak semata wayangmu, perempuan berdarah Minang, lahir di sini, besar di rantau, dari kecil dididik dengan adat, kenapa sekarang ketika besar dia seperti ini?”
Mak Datuak:“Indak bamalu, indak bataratik, bak masuak ka kubangan kabau. Dia tidak menghargai aku sebagai Datuk. Mukaku saja sudah tercoreng-coreng rasanya, apalagi kamu sebagai ibunya, sekaligus Bundo Kanduang di kaum ini. Apa kata masyarakat di luar sana melihat Mamak hongkang-hongkang kaki, tertawa lepas, tetapi kemenakannya saja tidak terurus?” (Emosi)
(Bundo Kanduang pucat mendengar perkataan Mak Datuak. Ia terdiam seribu bahasa. Mak Datuak menatap tajam Bundo Kanduang yang menunduk malu. Lalu ia mendekati Bundo Kanduang)
Mak Datuak:“Sekarang seperti ini saja. Ku beri satu kesempatan. Kau panggil dia ke sini, kau beri dia nasihat, kau beritahu padanya bahwa yang menanggung malu bukan cuma ibunya tapi juga Mamanya. Lalu, jika dia tidak terima dengan hal itu, ku izinkan dengan senang hati ia pergi. Tapi tinggalkan darah Minangnya di rumah ini!” (Emosi)
(Bundo Kanduang terdiam seribu bahasa, ia tak berani menjawab perkataan Mak Datuak)
Mak Datuak:“Selangkah kakinya berjalan keluar dari pintu ini, dia bukan kemenakanku lagi.” (Setengah berbisik)
(Mak Datuak menatap tajam, lalu berjalan keluar. Bundo Kanduang terpaku di tempatnya)
(Lampu sorot perlahan padam)

Babak 2
(Musik menegangkan)
(Lampu sorot menyinari Bundo Kanduang di tengah-tengah pentas. Lalu masuk Nurlaila dengan diikuti lampu sorot)
(Nurlaila masuk dengan wajah ketus, mengunyah permen karet. Sesekali ia memandangi kukunya yang dicat dengan warna terang. Bajunya seperti kurang bahan, dengan lipstik merah mewarnai bibirnya. Bundo Kanduang berjalan menuju sudut kiri pentas)

Bundo Kanduang:“Wahai anakku, Nurlaila. Anak padusi tonggak babeliang. Sudah besar kau rupanya. Tak pernah aku melihat wajahmu lagi. Entah aku yang hanya berharap kau pulang, entah kau yang memang tak ingin pulang.” (Tegas)
Nurlaila:“Yah, suka-suka aku dong mau pulang apa tidak. Di sini memangnya apa yang ada? Cuma pohon kelapa yang dipanjati monyet.” (Ketus)
Bundo Kanduang:“Nurlaila! Apa yang ada di kepalamu sekarang?! Terbawa kehidupan kota yang gemerlap? Itu yang membutakan matamu sehingga kau tidak ingat dengan rumah gadang ini?!” (Murka)
Nurlaila:“Ya! Memang! Kalau aku di sini selamanya tentu aku hidup dengan orang-orang tua bangka yang seolah-olah paham akan kehidupan, dan seenaknya saja mengatur jalan hidup orang?! Itu tidak sesuai dengan kehendakku!”
Bundo Kanduang:“Sadarlah kau, Nurlaila! Di darahmu itu mengalir darah Minang! Apa yang kau lakukan di kota sana sehingga kau mencoreng muka datuak, bukan hanya mukaku sebagai ibumu!”
Nurlaila: “Halaaah… itu yang dinamakan kolot! Sudah tua! Tidak tahu zaman modern! Lebih baik tak usah ikut campur, aku bisa mengontrol kehidupanku sendiri tanpa bantuan kalian!”
Bundo Kanduang:“Kau tak ingatkah bagaimana perjuangan ibumu menjual sawah demi memberangkatkan kau ke kota sana? Tak ada hartaku lagi, Nurlaila! Kau tidak tahu diuntung seperti ini!”
(Nurlaila diam saja tak peduli, sambil memandangi kukunya. Bundo menghela napas, dan melanjutkan perkataannya)
Bundo Kanduang: “Sekarang, aku tak akan mengatur apa pun lagi di hidupmu. Tak apa, sekarang hidupmu adalah milikmu. Aku tak ada hak sedikit pun untuk mengaturnya. Sekarang, silakan kau pergi…”
(Tanpa pikir panjang, Nurlaila berjalan menuju pintu, lalu Bundo melanjutkan perkataannya)
Bundo Kanduang:“Setelah kau melewati pintu itu, darah Minangmu sudah dihapus, tinggal di rumah ini. Dan kau bukan bagian dari kaum ini lagi…” (Tegas)

(Bundo menahan napasnya. Ternyata Nurlaila tidak peduli. Ia berjalan menuju keluar. Bundo Kanduang langsung melepas tangisnya. Ia terduduk dan menangis meraung-raung)
(Mengalun musik “Minangkabau Tanah Nan Den Cinto”)

Backsound:
Minangkabau… tanah nan den cinto… Pusako bundo… nan dahulunyo… Rumah gadang… Nan sambilan ruang… Rangkiang baririk… di halamannyo… Bilo den kana… hati den taibo oh taibo… Tabayang-bayang… diruang mato… Bilo den kana… hati den taibo oh taibo… Tabayang-bayang… diruang… mato…

(Bundo menangis terisak-isak. Ia menarik-narik tingkuluak yang ada di kepalanya hingga akhirnya terlepas. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak)

Bundo Kanduang:“Anakku… Anakku… oh tak kusangka ia akan seperti ini… ia teganya kau… meninggalkan kampung tercintanya demi dunia kota yang gemerlap… oh… anakku… Nur… Nurlaila… Nurlaila…”
(Perlahan musik melambat. Bundo masih menangis memegangi dadanya, napasnya tersengal-sengal. Hingga akhirnya ia terjatuh di lantai lalu tak sadarkan diri)
(Lampu perlahan padam)

Siniar Audio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *