Seratus Ribu Rupiah
Seratus Ribu Rupiah

Seratus Ribu Rupiah

0 Shares
0
0
0

Perlahan mataku terbuka dan melihat sekeliling. Sinar matahari dari celah jendela kamarku sudah mulai mengintipku dari jauh. Dengan badan yang begitu lelah, aku mencoba mendudukkan badan di atas kasurku. Kutarik ponselku untuk melihat beberapa notifikasi yang masuk semalam. Ada dari Nia, adik kos sebelah, teman sekampus, dan lainnya. Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap mendatangi fakultasku pagi ini. Setelah mandi, kukenakan baju berwarna merah muda dengan bawahan berwarna hitam. Sambil mempersiapkannya, kulihat teman sekamarku juga mulai bangun.

“Selamat pagi, Lin,” ucapku dengan semangat.

“Pagi juga, Zahra,” balasnya sambil menguap.

“Bangun-bangun, banyak aktivitas yang harus kita selesaikan hari ini, Lin,” sambungku untuk menyemangatinya.

“Oh iya, iya, satu per satu harus kita selesaikan, Ra,” balasnya.

Kami adalah teman satu jurusan di fakultas. Kami adalah anak rantau dari daerah yang berbeda. Aku berasal dari Solok, sementara Lina berasal dari Pariaman. Kami dipertemukan oleh jurusan yang sama, kelas yang sama, dan sama-sama tinggal di kos Pak Syahrin.

Tiap hari kami harus mendengar ocehan Pak Syahrin untuk mematikan stopkontak lampu teras, karena stopkontak lampu teras itu berada tepat di kamar kami. Jadi setiap pagi, kami mempunyai tugas khusus untuk mematikan listrik dan menghidupkannya kembali pada pukul 17.30 WIB.

“Kalau mau makan, samba ada di dapur, Lin,” kataku kepada Lina yang masih belum bangun dari kasur.

“Kapan dimasak, Ra?” tanya Lina dengan perasaan kurang semangat.

“Itu kiriman dari Ibu, kemarin,” jawabku.

Lina mengangguk memahami perkataanku. Hari ini aku agak cepat berangkat ke kampus, mendahului Lina. Sepertinya Lina akan pergi ke kampus sedikit lebih siang. Sambil siap-siap berangkat, aku melihat Lina juga bergegas mandi. Berbeda denganku, Lina menyiapkan laptop dan beberapa alat tulisnya ke dalam tas. Setelah itu, aku sendirian di kamar, ditinggal Lina yang menuju kamar mandi.

Aku mengenakan jilbab kesukaanku, model mahasiswa dengan pin berbentuk kupu-kupu. Aku sangat menyukai pin ini. Aku mengambil tasku, notifikasi ponsel muncul. Kulihat segera, ternyata itu dari grup kelas. Notifikasi itu berisi informasi bahwa kelas kami akan diadakan daring, bukan luring. Jadi, tidak perlu datang ke kampus, dan 10 menit lagi akan ada meeting Zoom.

Sambil menunggu link Zoom, aku merebahkan badanku kembali di atas kasur. Lina datang dari kamar mandi, bersiap-siap juga untuk berangkat ke kampus.

“Nggak jadi berangkat, Ra?” tanya Lina padaku dengan heran.

“Kelasku meeting Zoom, Lin,” jawabku sambil menatap ponselku.

“Kasihan, sudah siap-siap dari pagi ternyata Zoom,” kata Lina meledekku. Kami sudah biasa bercanda seperti ini.

“Nggak apa-apa kok, penampilan ini juga bisa digunakan untuk Zoom,” jawabku membela diri. Lina pun tidak menghiraukan pembelaanku dan melanjutkan bergegas siap-siap berangkat. Mulai dari menyiapkan tas, sepatu, kunci motor, dan lain sebagainya.

Link Zoom kelas kami sudah masuk di grup WhatsApp. Kubuka laptop di atas meja belajarku dan menyiapkan alat tulisku. Aku mencoba bergabung di ruang Zoom itu. Baru 10 menit memasuki Zoom, Lina sudah pamit berangkat ke kampus.

“Ra, aku berangkat dulu, ya,” izin Lina keluar menuju pintu.

“Iya, Lin, hati-hati naik motor,” jawabku dengan pandangan tetap menatap layar laptop.

“Iya, Ra,” jawab Lina dengan suara yang sudah agak menjauh keluar.

Sekarang aku sendirian di kamar kos sambil mengikuti perkuliahan di ruang Zoom. Sambil menunggu semua anggota Zoom masuk, kami mengadakan absensi oleh dosen pada hari itu. Setelah dua nomor absensi terpanggil setelah namaku, Lina mendadak muncul di depan pintu. Aku terkejut melihat wajahnya sengaja mengagetkanku.

“Ra, pinjam uangmu sepuluh ribu dulu untuk beli bensin,” pinta Lina di depan pintu karena dia sudah pakai sepatu.

“Ini! Bikin kaget saja,” kataku sambil menyerahkan uang lima ribu sebanyak dua lembar.

“Terima kasih, ya,” jawabnya sambil berlari menuju garasi.

“Iya,” jawabku.

Setelah itu, aku kembali fokus pada ruang Zoom di layar laptopku. Dosenku menjelaskan materi dan beberapa dari kami mencoba menanggapi materi tersebut. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Detik demi detik akhirnya perkuliahan Zoom selesai juga. Perutku sudah mulai memberontak meminta makan. Ingin rasanya kumasukkan makanan ke perut ini tanpa harus dikunyah dulu. Begitulah hebatnya pemberontakan mereka dari dalam perutku. Aku memasak nasi tadi malam di rice cooker. Kuambil nasi itu dan kuletakkan di piring berwarna hijau daun. Nasinya dibiarkan dulu sekitar 15 menit agar dingin. Aku kurang suka makan nasi yang panas, harus didinginkan dulu. Sambil menunggu nasi dingin, aku keluar kamar sambil bercerita dengan teman dari kamar yang lain. Kebetulan dia juga tidak masuk kuliah pagi ini. Kami bercerita tentang proses perkuliahan yang kami rasakan masing-masing. Di tengah perbincangan, aku mencoba menyela sedikit untuk mengambil nasi yang telah kudinginkan sekitar 15 menit lalu.

“Yori, sudah makan?” tanyaku.

“Sudah, Kak. Baru saja tadi bersama Silfa, kami makan di luar,” jawab Yori.

“Kakak mau ambil nasi dulu ya, belum makan,” jawabku sambil mulai beranjak dari tempat duduk.

Yori dan Silfa memanggilku kakak karena aku lebih tua empat tahun dari mereka. Mereka adalah anak semester 1 dengan jurusan matematika di kampus yang sama denganku. Setelah nasi dan sambal kuambil, aku mengajak Yori kembali makan lagi. Yori menolak karena perutnya sudah kenyang. Kami kembali bercerita panjang lebar dengan segala macam cerita.

Keesokan harinya

“Ra, ini uangmu yang kemarin aku pinjam sepuluh ribu,” ucap Lina sambil memberikan uang seratus ribu.

Aku menerima uang seratus ribu itu dengan tangan kanan. Tak sengaja, mataku melihat bahwa uang itu sobek, memanjang ke bawah dekat angka serinya. Panjang sobekannya sekitar lebih kurang 1 cm. Sejujurnya, aku tak mau menerima uang ini. Bagaimana aku harus mengatakan kepada Lina kalau uang yang diberikannya padaku sobek begini? Nanti kalau disampaikan, takutnya Lina tersinggung. Uang seratus ribu itu, untuk anak kos-an, sangat berarti. Aduh, bingung sekali, gerutuku dalam hati.

“Nggak ada uang kecil, Lin? Ini uangku tak cukup untuk kembalian sembilan puluh ribu lagi untukmu,” kataku halus kepada Lina agar ia tak tersinggung.

“Nggak apa-apa, Ra, pegang saja dulu uang itu. Kalau sudah ada uangmu, baru kembalikan lebihnya untukku, aku masih ada uang yang lain,” jelas Lina padaku.

“Sepertinya, Lina juga mau mengelak dari uang ini. Jadi diberikannya padaku agar ia menerima uang kembalian yang bagus dariku. Ah, Lina ada-ada saja,” pikirku kecewa.

Aku berpikir sejenak tentang uang ini. Kalau dipergunakan nanti, pasti orang warung komentar. “Uangnya sobek, Dek. Uangnya nggak laku, Dek. Ada uang yang lain, Dek,” kan malu jadinya.

“Ah, nggak deh. Aku nggak mau menerima uang ini,” jawabku dalam hati.

Aku orangnya pemalu dan tak enakan kepada orang. Jadi sebisa mungkin aku akan mencari cara dan mencari pernyataan yang bagus agar orang tak tersinggung saat aku menolak sesuatu. Akhirnya, uang itu kuletakkan saja dulu di atas meja belajarku di samping tumpukan penaku. Aku yakin uang ini tak akan hilang, karena pasti tak ada yang mau, karena sobekannya.

Dua hari kemudian

Uang seratus ribu itu masih terletak manis di atas meja belajarku. Tak ada yang menyentuhnya, bahkan menggesernya sedikitpun. Lina pun tak ada mengingatkan uangnya kepadaku. Akupun begitu juga. Aku tak mau memberikan uang kembalian sembilan puluh ribu kepada Lina, karena kalau iya, otomatis uang seratus ribu yang cacat ini menjadi milikku. Aku tak mau menerima uang sobek itu. Biarlah kutunggu kapan waktunya Lina ada uang pecahan sepuluh ribu. Toh, hutang Lina padaku cuma sepuluh ribu, tak seberapa. Kalau uang sepuluh ribu pun Lina tidak ada, sudah tidak apa-apa.

Biasanya uang seperti ini adalah uang yang sangat diimpikan oleh setiap orang, baik itu pedagang, mahasiswa, guru, pegawai atau siapapun. Uang seratus ribu adalah uang yang paling besar nilainya di negaraku tapi karena hanya cacat sedikit, tak ada yang mau memilikinya, termasuk si pemilik uang.

“Ah sangat malang nasibmu, wahai uang. Biasanya kamu dikejar mati-matian siang dan malam,” kataku dalam hati.

Hari sudah mulai senja. Aku dan Lina seperti biasa. Sehabis seharian ada kegiatan di kampus, sorenya kami duduk di teras kos sambil menikmati sunset. Lina duduk di mulut pintu dengan pandangan keluar sementara aku duduk di dekat meja belajarku yang bisa dipindahkan ke mana-mana. Sinar sunset sudah mulai tampak. Indahnya cahaya sunset sampai ke tempat kos kami. Kos ini sangat dekat dengan pinggir pantai. Berjalan kaki sekitar seratus meter sudah bisa menikmati ciptaan Tuhan yang sangat indah. Setiap sore, para nelayan bersiap-siap dengan segala perlengkapan nelayannya untuk berlayar. Burung-burung bergerombolan menari menikmati awan. Sore ini sangat cerah. Beberapa penikmat pantai berganti-ganti mengunjungi dan duduk dengan cemilannya. Ada kerupuk ditambah sedikit mi putih, bakso bakar, dan teh es. Seperti inilah suasana di pekarangan kos kami ketika sore hari.

“Hai Kak Lin, hai Kak Ra,” suara Nia mengejutkanku dan Lina yang sedang melepas penat sore itu.

“Hai juga Nia, mau pergi ke mana?” tanyaku.

“Mau keluar, Kak, beli makan dulu. Dari siang tadi Nia belum makan,” jawabnya lemas sambil duduk dekat kami sejenak.

“Kok tidak makan?” tanyaku lagi.

“Ini baru pulang dari kampus, Kak,” jawab Nia.

Sembari menjawab pertanyaan ringan dariku, kuperhatikan mata Nia berjalan-jalan sedikit melirik lembaran merah yang terbaring di atas meja belajarku sejak dua hari yang lalu. Lembaran merah dengan gambar Pak Presiden RI pertama itu sudah tak tahan untuk diajak jalan ke warung-warung.

“Wah, lagi banyak uang ya, Kak? Udah main letak-letakin aja uang tu,” canda Nia meruncingkan bibirnya menunjukkan ke arah uang seratus ribu yang di atas meja belajarku.

“Ah, mana ada,” elakku pada Nia.

“Nia mau keluar, Kak Zahra dan Kak Lina ada mau titip? Nanti Nia belikan sekalian,” tanya Nia lagi.

“Ada, Ni,” jawab Lina langsung.

“Mau dibelikan apa, Kak?” tanya Nia.

“Kakak mau titip sate, boleh?” tanya Lina menatap Nia.

“Boleh, Kak,” jawab Lina sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam saku bajunya.

Lina meraih uang seratus ribu yang terbaring di atas meja yang ada di depanku. Uang itu adalah miliknya yang belum dia ambil semenjak dua hari yang lalu. Pas ia meraihnya, aku juga berdiri untuk mengambil segelas air minum. Kemudian, Lina menyerahkan uang itu kepada Nia yang sedang menghadap ke jalan depan kos kami.

“Ini uangnya, Ni,” kata Lina kepada Nia.

Nia menerima uang itu dengan tangan kanan sambil memegang kunci motor miliknya.

“Haa, uangnya sobek, Kak Lin. Nggak mau pakai uangnya sobek, Kak Lin,” kata Nia langsung menolak uang yang diberikan Lina.

Aku hanya terdiam sambil memegang secangkir air di gelas. Aku memperhatikan Lina dan Nia sedang ngobrol. Aku tak mau terlibat dalam obrolan mereka. Toh uang itu bukan milikku dan aku tak ada hak untuk ikut campur dengan topik yang mereka bicarakan.

“Hah, sobek?” bantah Lina terkejut.

“Iya, sobek, Kak Lin,” kata Nia menunjukkan bagian uang yang sobek tersebut.

“Eh, kok bisa sobek ya?” tutur Lina karena malu uang miliknya sobek.

“Wah, bagaimana ini lagi. Kakak ada lem kertas?” tanya Lina ke arahku.

“Nggak ada, Lin,” jawabku.

“Kalau seandainya aku punya lem kertas, sudah sejak dua hari yang lalu ku coba memperbaikinya,” bisikku dalam hati.

“Ya, sudahlah dulu. Tak jadi kakak menitip sate, Nia,” kata Lina kepada Nia.

“Serius, nggak jadi, Kak?” tanya Nia menegaskan.

“Iya, Nia. Kakak mencari lem kertas dulu. Siapa tahu teman-teman yang lain punya,” jawab Lina.

“Okelah, Kak. Nia pergi dulu,” jawab Nia.

Setelah itu, Nia menghidupkan motor Scoopy miliknya dan pergi meninggalkanku dan Lina di kos. Aku masih saja setia dengan tempat dudukku. Lina sibuk bertanya ke kamar yang lain apakah mereka mempunyai lem kertas untuk uang yang sobek itu. Terdengar dari kamarku, tak ada satupun yang punya lem kertas. Dari selembar uang kertas ini, saya belajar bahwa sebernilai apapun kita di mata orang, sepandai apapun kita dalam satu bidang, setinggi apapun jabatan, jika kita memiliki karakter yang cacat, sekalipun jumlahnya sedikit, maka kita tidak akan diterima oleh orang banyak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *