Setelah delapan belas tahun aku dikurung di sangkar emas milik Mami-Papi, akhirnya aku dilepaskan juga. Itu pun bukan karena mereka tiba-tiba percaya aku sudah dewasa, tapi karena di kampung ini tidak ada sekolah lanjutan untuk jadi sarjana.
Namaku Roko Tasya, lahir dengan keadaan cadel huruf “R”. Aku sangat membenci orang-orang yang suka bertanya seperti Dora. Heran, kenapa kalau ketemu orang baru pertanyaan mereka nggak jauh-jauh dari, “Namamu siapa?” dan “Asalnya dari mana?” Dua hal yang paling aku benci.
Terlahir di Indonesia, bukan rahasia umum lagi, nama Tasya di Indonesia pasti ujung-ujungnya dipanggil Ica. Dan aku termasuk salah satu korbannya. Orang-orang terdekatku memanggilku Ica, meskipun aku tidak pernah benar-benar suka dengan nama itu.
Tapi yang paling parah adalah kalau ada guru baru di sekolah. Mereka pasti memanggilku dengan nama depan di daftar hadir: Roko. Terdengar nama laki-laki bukan? Aku benci mendengar nama itu. Selain karena aku cadel yang tak bisa menyebut Roko dengan sempurna yang terdengar malah Loko, Loco atau Lado, ah entahlah telinga orang-orang bermasalah atau lidahku yang terlupa disetel huruf R. Aku muak dengan nama itu. Bukan karena kecadelanku saja, tapi karena nama itu milik mantan Mamiku.
Ya, kau nggak salah dengar. Mami dan Papi dijodohkan oleh nenek-nenekku. Mereka menikah bukan karena cinta, tapi karena wasiat dari kakek. Dan sebagai bentuk keisengan (atau mungkin dendam tersembunyi), mereka malah menamai aku dengan gabungan nama mantan mereka masing-masing.
Saat dijodohkan dengan Papi, Mami punya pacar bernama Roko, sedangkan Papi mempunyai pacar bernama Tasya. Jadilah aku, makhluk hasil kompromi dua masa lalu, bernama Roko Tasya. Ironis, kan?
Kini aku sudah merantau. Aku dioper Mami ke rumah Nenek. Awalnya kami sudah punya kesepakatan: Aku hanya boleh kuliah di Medan atau Padang biar irit uang kos. Sebab, aku bisa ditampung oleh keluarga selama empat tahun menempuh gelar sarjana. Dan aku memilih tinggal bersama Nenek dari pihak Papi di Kota Padang.
Hari-hariku di sini lumayan melelahkan secara mental.
“Alah makan kau, Pik!” Teriak nenek dari balik pintu kamar.
Nenek memanggilku Pik, entah kenapa. Bertambah lagilah namaku, kan.
Sejak aku tinggal di rumahnya, hobinya cuma satu, yaitu membuka pintu kamarku.
Kadang cuma buat nanya,
“Alah makan?”
Lima menit kemudian,
“Alah makan kau, Pik?”
Dan setengah jam berikutnya,
“Pik, banun makan lah lai!”
Aduh! Aku mulai curiga, jangan-jangan Nenekku ini dulu waktu kecil sering nonton Dora the Explorer. Kerjanya nanya mulu. Nggak mungkin juga aku nahan lapar.
Tiap kali Nenek membuka pintu, aku jawab dengan nada malas, “Udah, Nek…”
Dan tiap kali juga dia nyengir sambil bilang, “Kalau udah, tambah lagi lah. Nenek masak gulai ayam, tuh!”
Muncungku rasanya pegal. Tiap jam harus menjawab pertanyaan yang sama. Tapi ya begitulah hidup di rumah Nenek.
Selain krisis nama, aku juga menderita krisis identitas.
Setiap kali orang bertanya, “Asalnya dari mana?” aku langsung ingin pura-pura nggak dengar.
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi bagiku seperti soal ujian yang jawabannya nggak ada di kunci jawaban mana pun.
Aku lahir di Medan, besar di Aceh, dan berdarah Minang.
Jadi aku ini siapa, sebenarnya? Anak Medan? Orang Aceh? Atau Minang tulen yang nyasar?
Semuanya berawal dari Mami dan Papi yang menikah di Medan. Setelah itu, Papi dipindahkan kerja ke Aceh, dan di sanalah mereka menetap.
Beberapa bulan kemudian, Mami hamil, mengandung aku, si Roko Tasya hasil kompromi dua mantan.
Tapi waktu hari kelahiran tiba, rumah sakit di Aceh tak mempunyai fasilitas lengkap, jadi Mami harus dirujuk ke Medan. Dan lahirlah aku di Medan, tapi cuma numpang lahir doang.
Sehari setelah keluar dari perut Mami, aku langsung dibawa balik lagi ke Aceh, karena ya… rumah kami di sana.
Jadi kalau ada yang nanya,
“Orang mana, Ca?”
Aku cuma bisa bengong.
Kalau kujawab “Medan”, nanti disangka aku bisa ngomong kasar dan ngerti maksud “tolong apakan dulu itu biar nggak apa kali.”
Kalau bilang “Aceh”, nanti dikira aku suka kopi pahit dan bisa bahasa Gayo.
Kalau ngaku “Minang”, aku malah ditanya, “pandai buek randang?”
Kadang aku iri sama orang-orang yang bisa tegas bilang, “Aku orang sini.”
Sementara aku? Aku bahkan nggak tahu “sini” itu di mana.
Pernah waktu ospek kampus, kakak panitia nanya dengan suara lantang,
“Yang dari luar Sumatra Barat mana suaranyaaa?”
Aku bengong.
Lalu dia lanjut,
“Yang dari Sumatra Barat coba, angkat tangan!”
Nah loh.
Aku lahir di Medan (Sumut), tapi besar di Aceh (beda provinsi). Akhirnya aku angkat tangan setengah-setengah, biar nggak kelihatan yakin-yakin amat.
“Yang dari Sumatra Utara, coba angkat tangan”
Aku angkat tangan lagi.
“Dari Aceh, mana nih coba angkat tangan”
Aku pun angkat tangan lagi.
Temanku di sebelah nanya, “Mu dari mana sebenarnya, sih?”
Aku jawab sejujurnya, “Aku sendiri pun bingung.”
Dan sejak hari itu, aku memutuskan kalau ada yang nanya “Orang mana?”, aku akan jawab dengan satu kalimat pamungkas:
“Aku orang Indonesia.”
Karena ya, apa lagi? Aku lahir di Medan, besar di Aceh, dan berdarah Minang. Campur aduk seperti nasi Padang yang ditumpah di piring plastik warna kuning lengkap dengan kuah rendang yang nyasar ke mana-mana.
Jadi biar adil, aku orang Indonesia aja lah.
Kalau nanti masih ada yang nanya, “Indonesia bagian mana?”
Tinggal aku jawab santai aja,
“Bagian OIB (Orang Indonesia bagian Barat).”
7 comments
Iya yaa masih menjadi misteri kenapa tasya, salsa, aisyah, nisa nama² itu di panggil ca akhirnya🤔
Yang krisis indentitas angkat tangan☝🏻
Wah akhirnya terbit juga. Ceritanya seru sekali, saya rasa banyak dari orang Indonesia yang senasib dengan Icha. Saya sendiri justru bingung kampung saya di mana. Apakah di Padang tempat saya lahir, atau kampung nenek dari Papa di Padang Pariaman, kampung Mama di Riau tapi orangtuanya orang Jawa. Karena mereka pisah (Ortu saya) Mama sekarang di Tangerang dan kalau libur saya ke sana. Jadi kalau ada yang nanya orang mana kadang saya jawab orang sini (org Padang) tapi lagi-lagi orang heran knp saya tidak pakai bahasa Minang (saya bisa tapi ga terbiasa krn Mama bukan org Minang). Jdi menurut saya pertanyaan “orang mana?” memang jawaban Icha mewakili sekali yaitu “Orang Indonesia”
Hehehe..
Orang manalagi jawaban yang tepat selain orang Indonesia. Biar adil dan dapat bagian semuanya ya jawab orang Indonesia saja yakan😬
Ceritanya mempunyai makna yang mendalam tentang identitas dan kebanggaan sebagai orang Indonesia. Di ceritanya kita juga dapat belajar bahwa menjadi orang Indonesia sudah cukup untuk menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.
Wahhhh😭😭, klo dipikir” Iyaa juga yaa
“Teks ini menggambarkan betapa kaya dan beragamnya identitas kita sebagai orang Indonesia. Saya suka bagaimana penulis menerima perbedaan dengan santai dan bangga.”